Assalamualaikum Sobat Nida.

February has come! The love seems spreading everywhere. But…

            Kalau sudah Februari, pasti bahasnya nggak jauh-jauh amat ya dari Valentine. Biar anti mainstream nih, aku punya sedikit oleh-oleh ilmu dari kuliahku selama ini di Fakultas Ilmu Budaya UNAIR. Izinkan aku cerita sedikit ya Sob.

            Dulu, pertama kali masuk kuliah, rasanya aneh karena lingkungan sekitar seolah memberikan “input” yang negatif tentang budaya. Bahwa budaya itu terlalu bebas, absurd, dan karenanya bisa jadi faktor pendegradasi kondisi yang dulu kubangun semasa SMA. Sempat timbul pertanyaan, bakalan jadi apa aku di sini? Maka aku diam, mengamati, dan memilih. Sungguh, syukurku kepadaNya, semakin ke sini, manfaatnya semakin terasa nyata. Ilmu-ilmu yang terserap dalam kelas, ternyata langsung diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.

            Berhubung sekarang bulan Februari; contoh nyata penerapan pemahaman ilmu budaya adalah kasus perayaan Valentine Day dalam konteks Muslim. Meninjaunya dari sisi agama jelas-jelas banyak yang bilang kaku-lah, apa-lah, kolot-lah. Karena aku mahasiswa ilmu budaya, jadi sebaiknya ya via budaya saja Sobat Nida. Yuk, check it out.

            Setelah diberi pencerahan dari Allah melalui buku dan dosen-dosen tentang apa sih budaya, gimana sih budaya, Alhamdulillah… pemahaman tentang perayaan Valentine Day yang memang nggak boleh dilakukan oleh orang Islam semakin tergambar jelas.

            Pantas Rasulullah berkata seperti ini

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, H.R. At-Tirmidzii

            Begini Sobat Nida yang dirahmati Allah, hadits di atas sebenernya bukan cuma buat Valentine Day; tapi juga buat budaya lainnya yang itu berpotensi menimbulkan mudharat atau kerusakan dalam umat Islam. Aku juga baru memahami kalau ternyata secara tersirat Rasulullah sudah menerangkan perihal ikut-mengikut melalui budaya ini. Yuk, sampaikan shalawat dulu kepada beliau yang memang menunjukkan kita semua ke jalan yang terang benderang. Allahumma shalli ‘alaa Muhammad.

            Baiklah, balik ke topik Valentine Day. Sekarang mari kita tinjau dari sisi ilmiahnya. Berdasarkan pengertian Pak Koentjaraningrat (Bapak Antropologi Indonesia), “budaya” atau culture sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan secara terus-menerus secara komunal dan itu terjadi karena proses belajar. Bayangkan Sobat Nida, budaya berasal dari proses belajar. Kalau kita mau menilik lebih jauh lagi, belajar itu kan proses mencari ilmu yang awalnya berasal dari meniru. Nah, bahasanya Rasulullah adalah menyerupai. Na’udzubillahi min dzalik jika sampai meniru dan lebih-lebih belajar budaya Valentine-an. Yang sudah terlanjur, maka bertaubatlah sebelum Allah memanggilmu.

Actually, no Val Day in Muslim’s Tradition

            Penerapan budaya juga lebih diperkuat oleh proses internalisasi dan sosialisasi. Tenang, jangan bingung Sob. Internalisasi adalah proses pengenalan yang berlangsung secara serta merta; sementara sosialisasi adalah proses pengenalan yang mempunyai tujuan spesifik terhadap orang tertentu. Menurut Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa (terlepas dari keburaman sejarah Valentine itu sendiri), internalisasi budaya Valentine (dan budaya western lainnya) sebenarnya sudah dilakukan ketika para penjajah singgah di Indonesia ratusan tahun yang lalu. Mereka datang ke sini walaupun tujuannya untuk mengeksploitasi kekayaan Indonesia, kan juga butuh relaksasi yang sesuai dengan budaya-budaya mereka. Maka mereka menciptakan yang namanya bar, tempat karaoke, hingga mall (pusat perbelanjaan modern)! Di zaman itu, tempat-tempat yang begini ini isinya hanya bule. Kalaupun ada orang pribumi, paling juga sopirnya atau pembantunya. Jadi dari para pribumi yang pernah bekerja dengan kumpeni itulah proses internalisasi ini berawal.

            Segera setelah Indonesia merdeka, mereka yang terbiasa bekerja dengan orang-orang Barat itu tentu saja juga ingin merasakan nikmatnya budaya hiburan. Akibatnya bisa ditebak, mereka mulai menyosialisasikan budaya-budaya tersebut agar diterima oleh masyarakat luas. Dengan dalih marketing dan branding product, mereka gigih mengetuk pintu hati masyarakat Indonesia yang khususnya Muslim ini untuk melegalisasi (jiah) atau membumikan budaya barat di Indonesia. Begini Sobat Nida, ini bukan tentang menyalah-nyalahkan para nenek moyang kita, tetapi menunjukkan bukti bahwa beliau-beliau itu juga punya andil dalam pembentukan budaya perayaan Valentine ini. Masalahnya, budaya Valentine yang disebarluaskan ini sepaket dengan budaya cinta lawan jenis yang belum halal dan minum minuman keras.

            Kalau Sobat Nida sering melihat kenyataan akhir-akhir ini, ternyata budaya Valentine juga cenderung diikuti kegiatan yang banyak menimbulkan mudharat bagi pemuda-pemudi Muslim. Apa artinya? Budaya Valentine ini masih stagnan, tetap dengan konsep awalnya yang terjadi pada puluhan tahun lalu. Tahun 2012 lalu, Tempo melansir peningkatan pembelian kondom mencapai 300%; sementara tahun 2014 ini, VoA Islam melansir pembeliannya mencapai 500%; di Indonesia. Data-data tersebut bisa dijadikan bukti konkritnya, betapa budaya Valentine Day merusak moral generasi muda.

            Masih yakin, kalau Valentine Day budaya bangsa dan perayaan masyarakat lokal? Layak disarankan buat membaca ulang buku sejarahnya tuh, Sobat Nida.

Valentine Day dan Virus Merah Jambu

             Menurutku, inilah masalah paling klasik jomblowan dan jomblowati Indonesia di Valentine Day. Semoga kita yang membaca artikel ini selalu diberikan hidayah biar nggak termasuk ya.

            Valentine Day, atau dengan mereka yang merayakan disebut Love Day, tetap ngotot kalau artinya adalah hari kasih sayang. Banyak dari mereka yang merayakan bahwa mereka hanya bertukar kado, makan malam bersama, atau bentuk-bentuk kegiatan spesial lainnya.  Sekali lagi, dalam konteks Islam, hari kasih sayang ya setiap hari. Dalam konteks Indonesia pun, yang masyarakatnya terkenal ramah tamah, sopan santun, dan suka menolong, hari kasih sayangnya juga setiap hari. Jadi aneh kalau misalnya banyak yang mengkhususkan konteks Valentine Day dengan hari kasih sayang yang hanya sehari.

            Lebih dari itu, tradisi perayaan Valentine Day dijadikan kesempatan bagi pemuda-pemudi yang masih labil untuk pembuktian cinta. Banyak sekali mereka yang dengan mudahnya menyerahkan kehormatannya kepada pasangannya yang belum halal demi perayaan yang sekali setahun ini. Apakah mereka nggak sadar, walaupun perayaannya cuma sekali setahun tapi menimbulkan sensasi ketagihan berkali-kali dalam setahun? Hiii, jadi merinding Sob.

            Padahal dalam Islam, pembuktian cinta yang sesungguhnya adalah melalui gerbang pernikahan. Sungguh, menikah adalah jalan yang paling baik karena ikatannya bisa jadi hingga akhirat, di mana saat itu para kekasih (yang tidak diberkahi) saling bermusuh-musuhan. Sebaiknya ya Sobat Nida, memang harus sabar menjalani ketentuan Allah. Percaya, semua itu akan indah pada waktunya.

Valentine Day dan Aqidah Islam

            Selain menerangkan tentang budaya Sob, hadits Rasulullah di atas juga sebenarnya adalah gambaran nyata dari ayat terakhir surat Al-Kafiruun yang berarti “Untukmulah agamamu, untukkulah agamaku.” Di banyak ceramah, ayat tersebut menerangkan konsep toleransi antar umat beragama. Tetapi, ayat tersebut menjelaskan dengan tegas dan lugas bahwa batasan toleransi adalah aqidah kita sebagai umat Islam.

            Aqidah yang kuat akan membimbing kepada akhlak yang kuat dan berlandaskan keridhaan Allah semata. Aqidah tersebut tentu dihiasi dengan iman, Islam, dan ihsan yang bagus dan pastinya berusaha menaati aturan yang ditetapkan Allah melalui Rasulullah dengan sebaik-baiknya. Kita –dengan hidayahNya– sadar bahwa tentu ada konsekuensi-konsekuensi dan pengorbanan yang harus dilakukan untuk menjadi hamba Allah yang dicintaiNya. Buktikan kalau kita adalah hambaNya yang bukan hamba abal-abal.

Is not that dangerous, is it? Do not try it anywhere!

            Lagi pula masa sih, kita yang mengaku hamba Allah mau melakukan ritual yang jelas-jelas diharamkan dan asal-usulnya kabur? Masa sih, kita yang masih menunaikan shalat masih mau melakukan budaya Valentine Day yang melanggar batasan-batasan tertentu? Masa sih, kita yang masih memohon-mohon pertolongan kepada Allah, tega ikut-ikutan orang-orang non-Muslim?

            Oh iya, Sobat Nida. Allah sendiri telah menjelaskan dalam surat Al-Baqarah: 120, bahwa Orang-orang Yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka.” Makna millah itu adalah keseluruhan pola pikir, budaya (lagi), agama, dan tradisi hidup. Lagi-lagi ayat tersebut bicara tentang budaya, tapi budaya orang kafir yang sengaja menyeret umat Muslim ke jurang kenistaan; termasuk budaya Valentine Day ini. Itulah bukti kasih sayang Allah kepada kita; dengan memperingatkan kita supaya kita lebih hati-hati dalam melangkah. Supaya kita tetap dalam keridhaanNya.

Lalu Apa Solusinya?

            Dalam perspektif ilmu budaya, menghapus suatu budaya yang telah berakar di masyarakat komunal seperti Indonesia dan negara-negara Timur lainnya; sangat susah. Kenapa susah? Masyarakat Indonesia adalah tipikal masyarakat yang majemuk, mengedepankan harmonisasi, dan kebersamaan. Karena itulah, cara-cara frontal sangat nggak disarankan demi menyelamatkan generasi muda Muslim negeri ini.

            Pernah dengar kampanye Hijab Solidarity Days atau Gerakan Menutup Aurat? Itu dia jawabannya: menciptakan budaya tandingan! Tentu saja, budaya tandingan ini dikemas sejelas, semenarik, dan seramah mungkin bagi masyarakat kita. Budaya tandingan tersebut berfungsi sebagai media penyalur informasi-informasi terkait Valentine Day, sejarah, fakta, dan apa yang diperintahkan Allah melalui Islam.

            Di bawah ini beberapa aktivitas gerakan tersebut yang bisa Sobat Nida lakukan:

  •  Menghimbau via media sosial tentang gerakan GeMaR
  • Mengikuti kampanye atau aksi damai bareng teman-teman kampus, komunitas, atau organisasi lainnya
  • Berbagi kerudung dan atau merchandise lainnya kepada para pengguna jalan
  • Menjadi inisiator di lingkungan sekitar untuk GeMaR
  • Menjadi ‘agen Muslim yang baik’ dengan menjadi konsultan bagi mereka yang menanyakan tentang Valentine Days dalam Islam
  • Tetaplah menjadi Muslimah dan Mukminah yang setia berada di jalanNya.
  • Berdoa semoga lebih banyak saudara dan saudari kita yang dihindarkan dari perayaaan tersebut.
  • Vote the International Hijab Solidarity Day! May Allah bless you, Sis and Bro.

            Cukup sekian dulu ya Sob yang bisa kusampaikan. Semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum warahmah.

Sumber Literatur:

Koentjaraningrat.2000.Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta: Gramedia Pustaka  Utama.

Lombard, Denys.1998.Nusa Jawa: Silang Budaya.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

http://www.tempo.co/read/news/2012/02/14/177383935/Kondom-Laris-Manis-Saat-Perayaan-Valentine

http://www.voa-islam.com/read/muslimah/2014/02/10/29000/valentine-day-dan-pesta-kondom/