Menyoal Rindu

Tetiba, terlintas pertanyaan seperti ini,

Gimana ya kalo Uti (nenek) kangen sama Kakek?

FYI, (alm) Kakek meninggal sejak 2002, dan itu berarti sudah 14 tahun yang lalu. Sementara Uti masih sehat wal afiat di sini bersama para anak dan cucunya, diberi kesempatan mengunjungi Baitullah, diberi kesempatan melihat dan berbagi hikmah, serta membagikan petuah kehidupan pada yang muda-muda begini.

Tapi, meski di sini ramai dan banyak anak-anak, suatu waktu bisa kulihat bahwa, Uti juga kangen Kakek. Terlihat mata beliau berbinar gembira tiap kali bahasan tentang Kakek muncul. Kakek dulu begini, Kakek dulu begitu, kadang meniru ucapan Kakek mulai dari yang jenaka sampai marah-marah. Tapi Uti mengenangnya dengan senyuman, selalu. Lantas bercerita panjang lebar seperti orang yang sedang jatuh cinta, menyoal kekasihnya. Siapa yang tak suka bercerita tentang belahan jiwanya? Mengenang setiap detik memoar indah bersama?

Ternyata, rindu itu masih menyala hangat. Meski mereka terpisah dunianya. Ingin kutanyakan langsung, tapi ah… Sudahlah, tak setiap penasaran harus terjawab, bukan?. Hanya saja, cara beliau untuk menenangkan debar hati itu, unik.

Selain cara-cara di atas, Uti juga tetap produktif berkarya. Padahal kami, keluarganya, sudah meminta Uti beristirahat di rumah. Tapi, beliau keukeuh saja dengan keputusan itu. Jadilah Uti masih setiap pagi bolak-balik ke koperasi suatu SMP yang waktu tempuhnya 45 menit dari rumah naik angkot, meneruskan usaha Kakek, berjualan untuk anak-anak sekolah. Bahkan tak jarang, Uti juga jadi tempat curhat para siswa. Pun, setelah pulang, Uti pergi ke rumah Tante di daerah Kenjeran untuk membantu mengasuh cucunya yang masih bayi. Kata Uti, “Mumpung masih diberikan kesehatan.” Maka niat membantu orang lain tak boleh pudar, meski usia tak lagi berpendar.

Namun, aku juga entah kenapa paham, sejak Kakek meninggal, Uti jadi lebih aktif, bahkan sampai kadang bersaing “siapa yang lebih sibuk” denganku. Hahaha…. Dan di titik itu aku mengerti, Uti hanya berusaha memanajemen rindu, mengontrol emosi yang bisa jadi menggelegak meminta dipertemukan segera dengan sang kekasih, memasrahkan pada Pemilik Hati tentang kapan waktu akan membersamakan mereka.

Uti berkarya, berderma, berbagi, dengan segala yang beliau miliki: tenaga, uang, waktu, apapun yang bisa dibagi. Karena Uti yakin, percaya bahwa ini cuma soal waktu, sekaligus paham bahwa hidup ini menunggu.

Lalu terbersit pertanyaan dalam diri,
Jika Uti saja bisa begitu percaya, maka masihkah kau ragukan tentang dia yang akan mendampingimu? Mungkin, aku masih perlu menata diri, juga hati. Bahwa ternyata, percaya ketentuanNya selalu lebih baik, selalu lebih menenangkan, meski rindu dalam jiwa terus bertanya, kapan hati akan bersua.

Lambat laun, kupahami bahwa cinta sejati, sehidup sesurga memang benar adanya.