Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Category

EKSISWorld

Galaunya Para SMP-ers

Seperti biasa, setelah pelajaran formal berlangsung; murid-muridku suka curhat soal teman-teman di sekolahnya. Apalagi hari ini jadwalnya Fisika; jadwal yang menurut mereka paling membosankan. Hahaha, padahal pas dikasih soal yang gampang dan cuma  aplikasi rumus tertulis, mereka bingungnya setengah mati. Deuh, anak-anak ini ya. *kibas jilbab *beda banget dari jamanku. Dari topik soal kerudung yang menceng-menceng (katanya mereka itu hardcore), model tas dan sepatu, sampai gebetan. Ya, jadi keluarlah istilah-istilah seperti mbois, hardcore, cabe-cabean, terong-terongan, reggae, qasidah, racing, terong dicabein, dan kordes. Aku terbengong-bengong mendengarnya, sambil kedip-kedip mata dan angguk-angguk doang. Well, it’s exciting; due to my status as cultural studies student and DK-er. Literally, I have to feel excited to something like this; youth and students culture. Yeah, I choose listening more. 😀

Haduh, istilah dari planet mana itu. Pas jamanku SMP, yang kutahu cuma dibagi dua kelas: menengah atas dan menengah bawah. Nggak ada istilah begituan. Menurutku, ini pengaruh dari ganasnya televisi dan dunia global yang sekarang menjangkiti kita. Pernah ada satu muridku kelas 9 keburu pulang gara-gara, “Mbak, aku mau nonton Jodha Akbar!” atau “Mbak, ada Arjuna di TV!” Akhir-akhirnya aku mesti bilang, “Emang acara TV bakal muncul di Unas-mu?” Seketika mereka pun kembali tenang.

Ini, menurut penjelasan mereka yang sehari-hari bergumul dengan para komunitas itu; bahkan ikut-ikutan meniru gaya mereka supaya dibilang tidak terasingkan. Yeah, remaja memang rentan dengan masalah identitas dirinya.

  1. Hardcore

Komunitas hardcore, ciri utamanya adalah tampil mbois; mewah dan klimis. Bajunya, celananya, sepatunya, aksesorisnya, hingga kaus kakinya; semuanya bermerk. Nggak ada yang harganya di bawah Rp 150.000. Bawaannya mobil atau motor sport yang keren. Ke mana-mana nenteng kamera DSLR, pake lensa-lensa gede *padahal belum butuh-butuh amat *padahal cuma buat selfie. Hapenya iPhone atau Galaxy Note dan layar jumbo lainnya. Anak-anak golongan bangsawan (read: orang kaya) yang biasanya menampilkan diri mereka seperti ini. Tapi, belakangan ini, anak-anak dari golongan yang kurang mampu (marjinal) juga mulai ikut-ikutan para anak gedongan dengan membeli yang versi KW super dari semua jenis barang. Kelihatannya sih asli, padahal palsu *aspal.  Kata si Ocha, “Mbak, tau nggak; kalo kita beli barang KW dan itu ketahuan sama anak-anak, sakitnya tuh di sini…” plus praktikin gayanya nunjuk dada.

Nongkrongnya di kafe atau mall-mall gede, suka banget ke gerai photobox atau buru film-film yang lagi populer. Di tempat-tempat itu, kalau ada cewek-cewek berkerudung paris tipis dan kelihatan poninya (kerudungnya nggak rapi) sedang bergerombol; bisa dipastikan, mereka lah para anggota hardcore. Pun, para cowoknya mungkin lagi nunggu di kafe sebelah mana gitu; terus mereka ketemuan. Kalau di Surabaya, tempat tongkrongannya mereka ada di Monkasel (monumen kapal selam), Delta, TP, atau Sutos.

Di sekolah, mereka harus bisa menunjukkan ke-hardcore-annya dengan cara membeli barang-barang bermerk dan dipamerkan ke seluruh temannya.Ini nih, catatan anak HC.

  1. Cabe-cabean/Terong-terongan

Komunitas ini sih sudah agak usang buat diomongin; karena sudah eksis sejak beberapa bulan lalu. Dikenal gara-gara nongkrong di sekitar jembatan layang sambil bawa pasangannya dan berpakaian serba mini dan ketat (ceweknya) atau bawa sepeda motor Satria atau motor protolan dan berpakaian gelap-gelap dengan celana sobek di bagian lutut, plus bertopi (cowoknya).

Cabe-cabean, adalah istilah untuk cewek-cewek yang “mudah” diajak ke mana-mana. Pulangnya tak pernah di bawah jam malam; bahkan pagi. Cabe-cabean berusia sekitar 12-18 tahun dan seringkali dimanfaatkan oleh para cowok kurang bertanggung jawab; dan mungkin juga berakhir di lahan PSK. Cabe-cabean, ternyata juga ada yang berkerudung; populer dengan sebutan “jilboobs” yang sempat mencuat beberapa minggu lalu. Mereka berpakaian ketat hingga memperlihatkan dada, dan berkerudung tapi dilipat ke belakang, nggak rapi.

Terong-terongan adalah istilah untuk cowok-cowok yang juga “mudah” diajak kencan. Tapi, terong-terongan bisa jadi dimanfaatkan para tante buat dijadikan brondong mereka.

  1. Reggae

Simbolnya merah-kuning-hijau. Kalau belakangan ini sering denger lagu “Why you gotta be so rude, I am also a human too… Marry that girl, marry her anyway. Marry that girl, marry her anyway” … di sinilah ranah para reggae berkumpul. Mereka adalah para remaja SMP yang selow dalam menjalani kehidupan. Penampilan cowoknya mirip-mirip Bob Marley; dengan celana lebar di ujung, kemeja kedodoran, dan sepatu yang kinclong. Nggak lupa sama kerpus warna-warninya plus gitar di tangan.

  1. Racing

Bawaannya motor Ninja atau Satria yang knalpotnya dimodifikasi. Suara motornya bikin telinga kita sakit dan annoying banget. Mereka nge-genk. Para cowok racing, suka berteman dengan anak-anak hardcore. Gayanya juga ikut-ikutan agak lux, yang penting macho; tapi ada juga yang penampilannya biasa-biasa saja bahkan cenderung nggak mau sedikit merawat tubuhnya. Banyak dari mereka yang juga jago balapan liar atau resmi.

  1. Kordes

Singkatan dari Korea Ndeso. Aslinya, pingin seperti artis-artis pujaannya di Korea; tapi begitu pakai style mereka, penampilannya malah jatuh dan jauh dari harapan. Fail. Anak-anak ini suka sekali memakai rok sekolah sebetis, kemeja kedodoran, tapi kaus kaki setinggi lutut. Rambut atau kerudungnya juga nggak rapi (poni keluar-keluar). Dari beberapa referensi di web sih, mereka kena predikat alay gara-gara salah nyampur-nyampur pakaian mereka. Oh iya… dan suka selfie dengan gaya yang ya seperti itulah.

  1. Terong dicabein

Pernah tau istilah cucok? Iya, agak melambai. Para cowok yang agak melambai (entah mungkin karena kesalahan genetik atau lingkungan atau dirinya yang mau seperti itu) biasanya diberi label seperti ini oleh para remaja SMP-ers. Secara penampilan mungkin menonjolkan kalau seksnya jantan; tapi kebiasaan mereka adalah ngomong dengan nada yang sedikit lemah-lembut, berlenggak lenggok seperti para perempuan. Bahkan nggak sedikit dari teman mereka yang mengira mereka maho (manusia homo). Rentan krisis percaya diri atau over PD.

  1. Qasidah

“Mbak, anak-anak kelompok ini tuh ya, adalah satu dari 50 anak,” kata Lala. Mereka dikenal alim dan rajin shalat. Biasanya suka nyetel lagu shalawatan di kelas. Shalawatan kesukaannya adalah lagu-lagu Habib Syech As-Segaf (pimpinan Majelis Rasulullah) atau Maher Zain. Para ceweknya berkerudung rapi; atau paling nggak tampil seadanya yang penting nggak neko-neko. Para cowoknya juga jaim, diem, dan rajin ngaji. Kebanyakan dari mereka pasti murid-murid berprestasi. Tapi, mungkin mereka nggak se-eksis temen-temennya di sekolah.

Baiklah, tulisan ini mungkin memang terkesan menjustifikasi dan memarjinalisasi mereka. Percayalah, aku sedang berusaha objektif dan menilai mereka dari sudut pandang mereka sendiri. Ternyata susah ya… Tapi nggak apa-apa; yaa ini sebagai bentuk latihan penelitian kecil-kecilan.

Mau tau, kenapa tercipta kelompok-kelompok seperti ini? Tunggu ulasan berikutnya. Ini sudah malam. Selamat beristirahat.

Kuping Tebel Aja, Kamu Pakai Jilbab Itu Niatnya Apa

Setelah jadwal mengajarku berakhir, biasanya aku membuka diskusi bebas dengan murid-muridku. Ya, mereka boleh curhat tentang masalah apa saja; termasuk soal lopek-lopek, teman-teman mereka, pengajian, bahkan sharing soal pengalaman hidup, ciyeh.

Ulfiyah, salah satu muridku berkata, “Mbak, aku beli kerudung ini lho cuma 15,000…”

Jawabku, “Eh sumpah? Beli di mana, kok murah banget?” sambil mengamati kerudung instannya yang nggak terawang, chest-covered, simpel, ringan, plus modelnya cucok banget buat anak muda. Warnanya cokelat kalem lagi. Aaaww… langsung ngefans aku sama kerudung itu…

“Beli di temenku, Mbak…”

“Nitip po’o…”

“Lho… tapi nunggu temenku pulang ke Jombang.”

“Lha… ya suruhen pulang gih, ke Jombang. Terus aku tak beli lusinan. Buat koleksi sekalian jualan. Hahaha.”

“Tapi, tau nggak Mbak. Aku pakai kerudung ini tuh, gimana ya… Aku ntar disangkain L*II (salah satu Ormas Islam). Soalnya ada temenku yang ortunya ikut itu dan dia pakai kerudung model gini juga, Mbak. Padahal, kan aku N*…” kulihat dia menyincing (duh, Bahasa Indonesia-nya menyingkap) bagian tepi kerudung yang seharusnya menutup kedua bahunya. Dengan cepat, bagian itu kuturunkan lagi dan akhirnya menutup kedua bahunya. Kelihatan sekali Ulfiyah risih.

“Ulfi, gimana kalo aku yang masuk sekolahmu? Kamu kan tahu kalo aku juga pake kerudung panjang, tebel, gak terawang, dan menutup tubuh bagian atas sampai tengah.”

“Nggak enak, Mbak. Bagusan kaya tadi,” tapi tangannya kutahan supaya mempertahankan bentuk kerudungnya yang sekarang.

“Sekarang gini aja, Ulfi. Tujuanmu pake kerudung itu apa? Menutup aurat kan? Auratnya Muslimah dari mana sampai mana?”

“Semuanya; kecuali muka dan telapak tangan.” jawabnya tegas.

“Yaweslah. Udah, kupingmu dibikin tebel aja ya… PD aja. Satu lagi, dengan berkerudung seperti ini, kelihatan banget rapi dan cantiknya. Percaya deh sama aku.”

“Iyo yo, Mbak.” Ulfiyah pun melangkah pulang dengan senyuman.

Up ↑