Kadang… Hidup ini sangat berarti. Apapun yang kita punyai, kadang belum kita syukuri sepenuhnya. Bukan berarti aku tak pernah di posisi paling atas, dan bukan berarti pula, aku tak pernah ada di posisi yang paling tertindas, sedih, dan mencekam.

Di suatu buku, aku baru sadar, hidup menjadi lebih dan sangat berarti ketika kita tahu bahwa ajal telah mendekati kita. Terserah, mau setuju atau tidak. Bahwa betapa bahagianya kita diciptakan Allah sebagai manusia yang berakal. Tapi, mungkin, hanya saat itulah kita merasakan nikmat-Nya dalam detik – detik terakhir hidup kita.

Sering kali kita mengeluh, ” Duh, kok gini, sih? Aku kan pingin yang seperti itu. . .”

BUKAN BERSYUKUR. Padahal, masih ada orang – orang yang jauh di bawah kita. Jauh lebih sengsara, jauh lebih susah, jauh lebih sengsara daripada kita. Bayangkan, ketika kita sudah memiliki semuanya, dan orang – orang di sekitar kita telah menilai kita mempunyai kemampuan lebih dari mereka. Apakah kita masih mau mengucapkan syukur pada-Nya?

Boleh kita merasa tidak puas dengan apa yang telah kita peroleh. mencari ilmu, apalagi. Tapi, setidaknya, masih ada rasa syukur kita pada-Nya, karena Allah telah memberikan sedikit ilmu-Nya pada kita. Jadi, sebisa mungkin, cobalah mengucapkan hamdalah, walau keadaan buruk menimpa kita.

Masihkah dia bertahan

Di antara puing globalisasi, yang menyapanya

Kutanyai dia… Dalam kebisuan,

Binar matanya, menenangkan…

Sekalipun ia tersisihkan, dari gemerlapnya peradaban,

Gemerlapnya peradaban

Sekalipun ia, hampir mati, karena mentari…

Satu hal yang diyakininya…

Semua yang digariskan oleh Tuhan…

Adalah yang terbaik untuk kita…

(Musikalisasi Puisi kel 1, X-9, SMALA)