Aku bersyukur karena blog ku tak dikunjugi banyak orang, akhirnya. Justru dengan tidak terkenalnya blog ini, aku bisa menjadikannya sebuah catatan pribadiku di dunia maya; jauh dari penghakiman orang-orang yang ada di media sosialku. Aku baru sadar, aku terlalu banyak memakai topeng di sana, sosok yang justru tidak aku kenal baik.

Kali ini, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Hanya aku. Baiklah, aku ingin menulis sebuah kalimat paling melankolis yang pernah kudengar.

“Kapan kau menjadi istriku?”

Suatu malam, seseorang dengan sangat berani mengatakannya padaku. Aku pura-pura tidak mendengarkannya, tapi karena jarak kami tidak terlalu jauh, tentu saja kalimat itu terdengar. Mau tidak mau, aku harus berkomentar bahwa ucapan itu lembut, tapi tegas, diiringi nada-nada penantian yang …tulus… dan pasti.

Dia dan aku sudah lama bertemu; sekitar 9 tahun ini. Kami juga sempat menjalin hubungan khusus, tapi karena berbagai hal, bubar juga. Aku ingin mempertegas ‘berbagai hal’ itu: terutama soal latar belakang kedua keluarga kami, yang menurut sebagian keluargaku, sangat berbeda jauh.

Waktu itu kami terlalu terburu-buru dan belum matang sebagai pribadi yang dewasa. Keluargaku jelas-jelas ingin aku memapankan diri dan melayakkan diri sebagai wanita dewasa yang bertanggung jawab, serta bermartabat. Lalu dia, mungkin mengalami sindrom kelabilan anak muda ya… dan mengingkari janji yang kami buat bersama. Sampai di sini, aku benar-benar meyakini bahwa dia bukan orang yang tepat.

Kami pun menjalani kehidupan kami masing-masing. Bertemu orang baru, mengembangkan diri, berproses menjadi dua orang yang mencoba saling memahami bagaimana kehidupan ini berjalan semestinya. Meskipun begitu, aku tetap merasakan ada bagian hatiku yang tetap bertahan dan tidak mencoba mencari penggantinya. Tenagaku hanya kuhabiskan untuk (mungkin) penyembuhan diri.

Suatu saat, dia menghubungiku lagi. Aku tahu, keadaan sedikit berubah, dia juga sedikit berubah. Dan entah bagaimana bisa, dia mati-matian menginginkan kami kembali. Tapi aku ragu dan menolaknya berkali-kali. Tidak, aku belum siap untuk masa sekarang ini. Meski begitu, kami sesekali berkirim kabar.

Lalu tibalah kami di malam itu di warung nasi padang dekat rumah kami, setibanya aku dari Jogja, untuk memberikan hadiah ulang tahunnya yang ke-22, usia ketika harusnya dia diwisuda. Ulang tahunnya bukan hari itu, tapi aku ingin memberikan kadonya lebih awal. Entah. Setelah membayar makanan kami, aku bersiap-siap pulang.

Aku terhenti karena dia mengatakannya. Aku hanya tersenyum, juga tak menyahuti dalam hati. Aku tidak tahu. Tapi, semoga yang terbaik yang akan diberikanNya padaku…

Jika ada orang yang membaca ini lalu ingin berkomentar apapun; menuduhku seburuk apapun, silakan. Aku memberikan kalian ruang sebebas-bebasnya. Silakan.