Masih inget ada kejadian soal pesepeda nyetop rombongan HDCI beberapa bulan lalu? Masih inget, kejadian di mana masyarakat berkomentar sangat negatif atas kelakuan arogan mereka hanya karena mereka orang-orang kaya yang bisa memanfaatkan kekuasaan mereka untuk membayar patwal? Dan masih ingetkah kalo aku ngambil mata kuliah Youth Culture gara-gara kelas Semiotika nggak dibuka? Hahaha, yang terakhir lupakan.
Tapi faktor terakhirlah yang menyebabkan aku melakukan riset tentang cultural practice and cultural ideology di salah satu komunitas pecinta moge di Surabaya ini. Ditambah lagi pertanyaan seputar apakah yang digambarkan masyarakat tentang moge itu benar? Karena tanggapan mereka tentang geng motor dari manapun kelasnya (kelas teri yang acak-acakan maupun kelas berat yang gagah-gagahan) tetap dianggap sama: arogan, pembuat onar, suka merampas hak jalan orang. Sama sekali tidak ada positif-positifnya.
Nah, aku sangat beruntung bisa ketemu salah satu anak racing yang ternyata dulu juga salah satu teman SMA-ku, sebut saja namanya H, yang artinya berpikiran baik. Kemudian mengungkapkan hasratku untuk meneliti komunitasnya (bukan HDCI), sekaligus menanyakan soal kejadian pesepeda itu.
“Ah, kamu kemakan media, Nis. Kena Massive Social Chaos kamu.”
Oke, aku mulai tertarik. Dulu, aku tidak mengenalnya seperti sekarang, selain faktor personal juga kami tidak ada di dalam kegiatan ekskul yang sama. Setelah browsing sana-sini, lalu tanya dosen ini-itu, proyek ini resmi dimulai seminggu yang lalu.
Tugasku adalah mewawancarainya, ketua komunitas, dan beberapa anggota lain, plus (sebenernya harus tau waktu mereka kopdaran) dan mendeskripsikan situasinya. Cuma, untuk yang terakhir, entah aku belum nyaman saja untuk ikut langsung kegiatan mereka. Jadi aku mengandalkan laporan, foto-foto dan video dari si H.
Ketua komunitasnya bilang, “Mbak, kapan-kapan ikut kopdar ya, biar tahu kami ini bagaimana. Kami jauh dari gambaran orang-orang yang di luar. Mereka itu hanya iri. Padahal, konsep kami adalah kebersamaan dan kedermawanan. Guyubnya di situ. Ya kami memang memilih moge karena kami suka moge.” *ada sedikit editan. Lalu beliau bilang ke H, untuk menunjukkan situasinya padaku.
Akhirnya, aku intens chatting dengan si H dan aku dicekoki soal video motor-motor sport yang sedang touring, balapan, atau sekedar cangkruk di tengah hutan, atau moge yang sedang manasi motor di jalan biasa. Belum lagi foto-fotonya ketika kopdar, plus cerita di balik foto-foto itu yang kadang membuatku terharu bahwa ternyata brotherhood mereka seperti itu. Belum lagi dengan usahanya untuk mendatangkan beberapa koleganya (yang sudah cukup senior — dan terkategorikan sangat aman untuk kuwawacarai) di mal dekat rumahku pada suatu hari Minggu pagi yang cerah.
“Biar risetmu gampang, Nis.”
Sesederhana itu dia untuk mau mengerti kondisiku yang katakanlah kontras dengan gadis-gadis yang biasa datang di kopdar mereka. Hahaha. Menurut si H, aku sering disebutnya,
“Dasar anak pesantren.”
Tahulah aku model gadis seperti apa.
Dari interaksiku dengan H saja, aku jadi ragu kalau semua komunitas moge itu arogan. Sikap H padaku yang notabene sangat awam tentang motor, yang selalu annoyed mendengar suara motor sport, sampai tidak tahu spesifikasi motor-motor itu; sangat terbuka, egaliter, ramah, dan menyenangkan. Terlalu subjektif? Baiklah, penelitianku membuktikan seperti itu.
Belum lagi interaksiku dengan teman-teman baru lainnya di komunitas itu; wah aku kagum dengan mereka yang ternyata punya nilai-nilai khusus yang menjadi core value mereka ketika mereka bersama para motor kesayangannya. Penasaran?
*to be continued*