Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

October 2015

Anak Racing yang Baik Hati

Masih inget ada kejadian soal pesepeda nyetop rombongan HDCI beberapa bulan lalu? Masih inget, kejadian di mana masyarakat berkomentar sangat negatif atas kelakuan arogan mereka hanya karena mereka orang-orang kaya yang bisa memanfaatkan kekuasaan mereka untuk membayar patwal? Dan masih ingetkah kalo aku ngambil mata kuliah Youth Culture gara-gara kelas Semiotika nggak dibuka? Hahaha, yang terakhir lupakan.

Tapi faktor terakhirlah yang menyebabkan aku melakukan riset tentang cultural practice and cultural ideology di salah satu komunitas pecinta moge di Surabaya ini. Ditambah lagi pertanyaan seputar apakah yang digambarkan masyarakat tentang moge itu benar? Karena tanggapan mereka tentang geng motor dari manapun kelasnya (kelas teri yang acak-acakan maupun kelas berat yang gagah-gagahan) tetap dianggap sama: arogan, pembuat onar, suka merampas hak jalan orang. Sama sekali tidak ada positif-positifnya.

Nah, aku sangat beruntung bisa ketemu salah satu anak racing yang ternyata dulu juga salah satu teman SMA-ku, sebut saja namanya H, yang artinya berpikiran baik. Kemudian mengungkapkan hasratku untuk meneliti komunitasnya (bukan HDCI), sekaligus menanyakan soal kejadian pesepeda itu.

“Ah, kamu kemakan media, Nis. Kena Massive Social Chaos kamu.”

Oke, aku mulai tertarik. Dulu, aku tidak mengenalnya seperti sekarang, selain faktor personal juga kami tidak ada di dalam kegiatan ekskul yang sama. Setelah browsing sana-sini, lalu tanya dosen ini-itu, proyek ini resmi dimulai seminggu yang lalu.

Tugasku adalah mewawancarainya, ketua komunitas, dan beberapa anggota lain, plus (sebenernya harus tau waktu mereka kopdaran) dan mendeskripsikan situasinya. Cuma, untuk yang terakhir, entah aku belum nyaman saja untuk ikut langsung kegiatan mereka. Jadi aku mengandalkan laporan, foto-foto dan video dari si H.

Ketua komunitasnya bilang, “Mbak, kapan-kapan ikut kopdar ya, biar tahu kami ini bagaimana. Kami jauh dari gambaran orang-orang yang di luar. Mereka itu hanya iri. Padahal, konsep kami adalah kebersamaan dan kedermawanan. Guyubnya di situ. Ya kami memang memilih moge karena kami suka moge.” *ada sedikit editan. Lalu beliau bilang ke H, untuk menunjukkan situasinya padaku.

Akhirnya, aku intens chatting dengan si H dan aku dicekoki soal video motor-motor sport yang sedang touring, balapan, atau sekedar cangkruk di tengah hutan, atau moge yang sedang manasi motor di jalan biasa. Belum lagi foto-fotonya ketika kopdar, plus cerita di balik foto-foto itu yang kadang membuatku terharu bahwa ternyata brotherhood mereka seperti itu. Belum lagi dengan usahanya untuk mendatangkan beberapa koleganya (yang sudah cukup senior — dan terkategorikan sangat aman untuk kuwawacarai) di mal dekat rumahku pada suatu hari Minggu pagi yang cerah.

“Biar risetmu gampang, Nis.”

Sesederhana itu dia untuk mau mengerti kondisiku yang katakanlah kontras dengan gadis-gadis yang biasa datang di kopdar mereka. Hahaha. Menurut si H, aku sering disebutnya,

“Dasar anak pesantren.”
Tahulah aku model gadis seperti apa.

Dari interaksiku dengan H saja, aku jadi ragu kalau semua komunitas moge itu arogan. Sikap H padaku yang notabene sangat awam tentang motor, yang selalu annoyed mendengar suara motor sport, sampai tidak tahu spesifikasi motor-motor itu; sangat terbuka, egaliter, ramah, dan menyenangkan. Terlalu subjektif? Baiklah, penelitianku membuktikan seperti itu.

Belum lagi interaksiku dengan teman-teman baru lainnya di komunitas itu; wah aku kagum dengan mereka yang ternyata punya nilai-nilai khusus yang menjadi core value mereka ketika mereka bersama para motor kesayangannya. Penasaran?

*to be continued*

Muesti Dikotomi

Aktivis dan pasivis,
Hayati lelah mendengarnya. Haha…
Yang di tengah selalu koar-koar, kalo yang mojok gak kerja dan gak berkontribusi. Yang di pojok juga gitu, nyibir-nyibir yang tengah sok eksis.

Nggak sadar, kalo dunia ini banyak masalah?
Nggak sadar kalo dunia ini lebih butuh aksimu daripada bacotmu soal pasivis vs aktivis, soal aktif vs pasif, soal kontribusi vs ‘keliatan nganggur’?
Nggak sadar kalo tiap orang punya kapasitasnya masing-masing?
Nggak sadar kalo tiap orang punya jalan masing-masing?
Terlalu dikotomi, kemakan teori strukturalis kali ya. Padahal semua juga tau, dunia manusia tak pernah sesederhana oposisi biner strukturalis.

Sebenernya, sejauh mana sih mahasiswa dikatakan pasivis atau aktivis? Kalo definisinya dalam konteks politik aja, duh, sempit banget hidup situ jadi mahasiswa.

Kapan mahasiswa Indonesia bisa sejajar dengan negara lain kalau diskursus dunia mahasiswanya seperti ini, terus saja mbulet, njelimet, serba definitif tapi minim aksi nyata. Jadi mendingan, kontribusilah sesuai bidang situ… Masyarakat bisa lihat kok dan pasti akan dukung situ kalau kegiatan yang situ lakukan memang manfaatnya langsung mereka rasakan.

Youth and Youth Culture

Setelah membaca esai-esai singkat Pak Ariel Heryanto dan menyimak perkuliahan matakuliah Youth Culture selama 4 minggu penuh, aku berkesimpulan,

“Jadi, youth culture adalah alasan yang dibalut kondisi nyaman seseorang untuk melepaskan diri dari kematian.”

Terlalu ekstrim?
Mungkin runtutannya begini…

Aku setuju dengan lirik yang ditulis Pak Joko Pinurbo di dalam puisinya, “…we are all afraid being old…“. Siapa yang tidak? Setiap hari sejatinya umur kita berkurang, tapi kita mengkamuflasenya menjadi “bertambahnya tahun”; ya tentu saja bertambah tahunnya kehidupan kita di dunia dan pada saat yang sama, semakin mendekatkan kita pada kematian.

Penuh paradoks memang manusia ini.

Banyak cara kita yang membuktikan pernyataan beliau. Di media-media saja bilangnya, “Belilah produk merk P, maka Anda akan terlihat 10 tahun lebih muda” atau “Produk Z akan meremajakan kulit Anda”. Dampak iklan begitu, ternyata tidak berhenti pada produk yang diiklankan saja; tetapi malah merambat ke produk-produk lainnya. Ketika kita beli baju, kita cenderung akan tersenyum bangga saat ada yang mengatakan, “Wah, Anda kelihatan lebih muda menggunakan bentuk ini atau warna itu ya!” Hayo, siapa yang mau menyangkalnya?

Youth Culture menurut beberapa scholars tak terbatas pada produk budaya fisik seperti baju, tas, fashion saja; tetapi meliputi aktivitas-aktivitas, ide-ide, dan segala hal yang mensyaratkan dinamika dan kekreativitasan yang tinggi. Dinamika dan kreativitas menjadi tolak ukur yang penting dalam youth culture karena hal ini adalah ciri dari sifat pemuda (secara fisik). Dan sifat yang paling utama dari para pemuda adalah tidak mau menjadi tua. Mereka terlalu nyaman dengan segala hal yang dialamatkan pada mereka; padahal ternyata mereka juga dikejar oleh waktu yang sama dengan orang-orang yang secara fisik lebih tua dibanding mereka. Mereka ingin kesenangan selamanya menjadi milik mereka, sedikit naif, tapi tetap berangan-angan. Belum lagi ada pemeo seperti ini, “Masa muda adalah masa terbaik yang kita punya. Nikmatilah.” Jadi, Youth Culture mengidentifikasi habis-habisan seperangkat ideologi para pemuda untuk dijadikan dasar bagi siapapun penganut budayanya (meski yang secara fisik sudah berumur).

Jika tidam terlalu ekstrem, mungkin aktivitas yang berkaitan dengan Youth Culture bisa dipandang sebagai aktivitas rekreasi atau refreshment for a while jika dilakukan sewajarnya. Tapi, kadar sewajarnya ini pun berbeda-beda untuk setiap orang kan? Jadi daripada mengambil parameternya ribet karena relativitasnya, menurutku lebih baik mengambil definisi secara general; sesuai pernyataan awal.

Bahwa aktivitas Youth Culture cenderung menolak konsep menjadi tua, lalu berujung pada kematian; setidaknya mengingkari konsep waktu yang berjalan ke depan. Aah, menariknya, konsep Youth Culture juga bisa dipandang lebih positif jika kita melihanya sebagai cara manusia bertahan hidup. Karena menurut strukuralisme, bukankah pasangan kematian adalah kehidupan? Bukankah menepis kematian sama dengan mempertahankan kehidupan seburuk apapun kematian itu?

Lantas apakah penulis yang masih terkategorikan pemudi ini juga tersangkut pada aktivitas Youth Culture? Tentu saja. Itu pasti, itu pasti. Akan tetapi, bayangan kematian yang semoga khusnul khotimah itu tetap terasa menyakitkan; dan nyata.

Up ↑