Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

November 2015

Dua Malaikat Tak Bersayap

Mari kita tengok album usang di pojok rak berdebu itu, Lihat, ada kita di situ; tersenyum menggemaskan. Digendong, dicubit-cubit, ditimang, diangkat tinggi-tinggi Oleh seorang malaikat yang tak bersayap, Oh ternyata ada satu di sampingnya!

Siapa mereka?

Adalah orang tua kita, mereka itu, Yang juga suatu saat bisa tiba-tiba terbang kembali ke langit, Kembali pada pemilikNya. Lalu kita hanya bisa meraba halus potretnya di ingatan kita. Menyesali sebagian ataupun seluruh perbuatan yang pernah kita lakukan.

Karena itu aku ingin bercerita, kepadamu, khususnya anak-anakku kelak.

14 tahun pertama, aku jarang bahkan hampir tidak pernah terikat secara emosional dengan kedua malaikatku. Aku diasuh nenekku, tidur dengan beliau, dibelikan ini itu, dan dimanjakan. Wajar, karena nenekku tidak menikah dan waktu beliau cukup banyak dihabiskan di rumah. Ayah dan mama sibuk bekerja, mencukupi kebutuhan finansial keluarga yang saat itu baru dimulai.

Mereka memang membelikanku susu, tetapi yang membuatkan aku, yang menidurkanku setelah minum susu bukan mereka; tapi nenekku. Mereka memang memberikan uang saku, tetapi yang mengantarku sekolah, menunggu dan menjemputku di sekolah bukan mereka; tapi nenekku. Mereka memang memberikan uang untuk baju baru ketika lebaran tiba, tetapi nenekku lebih sering menjahitkan baju-baju lucu sesuai keinginanku. Mereka membelikanku buku dan seragam, tapi yang menemani belajar, membelikanku bahan untuk tugas, mengatasi masalah di sekolahku adalah nenekku.

Dan mereka saat itu, tidak belajar soal ilmu parenting. Dan mereka saat itu, tidak tahu bahwa dampaknya akan terbawa hingga aku dewasa. Dan mereka saat itu, tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan akan membuatku sulit diatur karena minimnya ikatan emosional.

Hingga akhirnya, di usia yang ke 14, nenekku meninggal. Aku mengalami depresi yang tidak terlihat; jujur aku baru saja tahu ini setelah perlahan aku belajar ilmu psikologi sedikit-sedikit. Aku tidak punya sosok yang bisa kupercaya; bahkan kepada mereka aku bersikap dingin dan menjauh.

Tunggu, aku paham secara teori soal harus menghormati orang tua dari pelajaran agamaku di sekolah dan TPA. Tetapi aku tidak tahu caranya agar seorang anak bisa dekat dengan kedua orang tuanya. Hingga aku pun mencari sosok pengganti yang bisa kujadikan pelindung; sosok lelaki yang pernah kuceritakan di blog ini. Lalu akibatnya menyedihkan dan aku mulai berpikir ulang.

Sejak kematian nenekku, ada sinyal dari kedua orang tuaku untuk lebih memperhatikan aku. Karena aku berbeda dari kedua adikku. Aku memang lebih kuat dan tangguh, tapi aku jauh dari mereka.

Terutama soal melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Mereka masih tidak setuju dengan ideku ini. Awalnya kukira ini persoalan finansial dan kesempitan berpikir. Tapi lalu, mengapa mereka terus mengulanginya seakan-akan aku belum paham maksud mereka sebenarnya. Think, orang cenderung akan terus mengulangi apa yang dimaksud sampai orang lain tahu maksudnya dan menangkap pesannya, bukan?

Dan tadi pagi, debat itu terulang kembali. Posisiku masih cukup jauh, meskipun jarak kami sedikit lebih dekat dengan kuasaNya. Awalnya aku merasa mereka masih belum mengerti apa maksudku dan mempermasalahkan finansial kami. Tapi meski sudah kujelaskan berkali-kali, mereka tetap keukeuh menyuruhku kuliah lanjutan di Indonesia saja, bila perlu di UI. Baiklah, aku memilih keluar rumah untuk mendinginkan hati dan kontemplasi.

Malam, sebelum shalat Isya’, pikiran itu melintas. Bagaimana jika kedua malaikatku itu tiba-tiba terbang kembali? Akankah mereka melihatku di saat-saat terakhir mereka? Bagaimana perasaan mereka terhadapku di akhir hayatnya? Ridhokah, atau justru sedih karena mereka merasa gagal mendidikku? Siapa yang bisa menjamin usia seseorang, karena kematian tak pernah permisi.

Tiba-tiba aku mengerti apa sesungguhnya alasan di balik penolakan mereka. Sungguh, butuh 6 tahun untuk mencernanya. Saat ini, aku sedang diberi kesempatan untuk berbakti pada mereka, untuk memperoleh ridho mereka, untuk menghabiskan sisa waktu mereka. Mereka takut, di akhir hayatnya, mereka tidak akan melihatku; mereka takut kehilanganku lagi setelah nanti aku bertemu dengan pangeranku; mereka takut jika aku terluka dan meninggalkan mereka di sini untuk pergi lebih dulu.

Ide itu mungkin sangat sederhana; tetapi bisa melampaui motivasi apapun dalam psikologi yang terlalu canggih. Bahkan, untuk mengerti ide sesederhana ini, aku butuh 6 tahun. Betapa bodohnya aku. Bahwa mereka bukan ingin membatasi mimpiku, tetapi takut kehilangan anak-anaknya.

Seseorang pernah bilang bahwa impian terbesar setiap orang tua adalah melihat anak-anaknya terbangun tiap hari dengan wajah gembira dan tenang, hingga waktu mereka habis. Hanya itu. Apakah sulit? Tidak.

Setidaknya, jika aku yang pergi lebih dulu, semoga mereka ridho atas pemenuhan baktiku itu. Atau jika mereka pergi lebih dulu, mereka tenang karena mereka berhasil mendidikku agar mengutaman keberkahan setiap aktivitasku karena Allah. Dan dengan begitu, ridho mereka akan terus mengalir, bersama ridhoNya, membahagiakan kehidupan selanjutnya.

Maafkan aku, kedua malaikatku.

How a Motor can be Your Healing Tool

image

I just agree with this quote because whenever I get any feeling of anxiety, fear, dissappointment, or negative emotions; I go riding by myself. In other words, I ride alone; go as far as I want. But then, when I come back home, I will be better than before.

I have a standard female-type of motorcycle which I use in my daily activities. Kind of matic motor, blue, feminine sense, light, but strong and fast. Her name is Vario, from Honda. I always take her from and to campus, travel across Surabaya, and many places.

So, riding is one of the best therapies to heal your emotion. Why? *notice that these are not an academical answer, I am not a psychologist. It is based on my experiences.

1. You try to more open by watching people’s activities. And you can start to think, why they do so and so? When you realize, in some point, you really want to say thanks to God about everything in your life.

2. You can talk to yourself. I usually do this to clear up my mind, I need to spare some time for myself, to discuss what is happenin right now, and believe me. Your will have your stream of consciousness and make short stories by the time you end the conversation with yourself. Yes, it is like talking to the wind; but I am relieved. Some kind of meditation? Ya, if you have religion, just go to your prayer rooms and pray to God after your self-riding.

Of course, it is not the only choice; I still prefer sleeping or writing journal when I get my worst days to riding. In this stage, I am too weak even to lift my motorcycle out from the garage. Yeah, emotion affects your physical strength.

The Act of Killing, IPT 65, dan Peristiwa 65

Mungkin ini agak berat topiknya, soal kekacauan massal 65. Hanya saja, aku tidak mau terlalu terperangkap seputar masa lalu; dan mencoba bersikap untuk membuat wacana yang lebih ramah soal peristiwa 1965.

Peristiwa 65-66: Hegemoni Masa Kecil

Sebelum masuk kuliah, seluruh buku pelajaran Sejarah yang kupelajari selalu merujuk pada fakta bahwa pembunuhan para jenderal AD di Lubang Buaya dapat disahkan sebagai penyebab tragedi G30S/PKI. Hal ini membuatku dan teman-temanku, mungkin seluruh pelajar di Indonesia berpikir bahwa oh, ternyata PKI itu kejam sekali. Karena sudah berani mengeksekusi para jenderal AD tersebut. Banyaknya spanduk, poster, dan tulisan-tulisan bersifat resmi dari Pemerintah di jalan-jalan yang menegaskan bahwa adanya bahaya laten PKI semakin menambah keyakinan atas asumsi tersebut.

Dan setelah masuk kuliah, fakta-fakta ini terbalik. Setelah mengikuti beberapa diskusi soal ini, menonton film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer, mengikuti seminar soal IPT, sampai ketemu dengan Pak John Roosa secara langsung; peristiwa 65 tidak sesederhana yang pernah kupelajari di buku sejarah saat akhir SD hingga SMA. Kenapa? Alasannya di bawah ini.

Diskusi dengan Pak John Roosa tentang Dalih Pembunuhan Massal

Peristiwa 65 merupakan mekanisme global akibat perang dingin antara blok barat (liberal sekular) dan blok timur (komunis sosialis). Blok barat jelas menginginkan kepunahan komunis sosialis karena mengekang kemerdekaan pribadi seseorang untuk menguasai sesuatu. Demi melancarkan agenda tersebut, negara-negara blok barat yang diketuai (seperti biasa) oleh AS, menargetkan pemusnahan ideologi komunis sosialis di berbagai negara; tak terkecuali Indonesia. Saat itu, Soekarno mempunyai cita-cita untuk mewujudkan ideologi sosialisme di Indonesia melalui Nasakom nya. Nah, karena itulah narasi eksekusi jenderal AD (diduga) dirancang oleh pihak-pihak yang sejalan dengan agenda AS untuk menggulingkan Soekarno, ideologi sosialisme, plus PKI.

Satu hal yang perlu diingat, pada masa Soekarno, PKI adalah salah satu partai terbesar di Indonesia, mendampingi PNI dan partai Islam (duh, lupa namanya). Lantas, akibat narasi dengan agenda barat di dalamnya, penggulingan Soekarno dan serentetan aksi untuk menghilangkan PKI menjadi masalah HAM yang serius. Banyak propaganda yang dilakukan sehingga menciptakan kesan bahwa gerakan tersebut membahayakan Indonesia.

Tapi begini, peristiwa di atas sebenarnya hanya terjadi pada ranah para penguasa Indonesia di zaman awal kemerdekaan. Rakyat tidak tahu apa-apa soal ini, hanya para elit yang tahu kerumitan sejarahnya.  Untuk lebih jelasnya, download dan baca saja bukunya pak John Roosa.

The Act of Killing

Film dokumenter berdurasi 3 jam, yang meskipun membuatku mengantuk; tetapi ternyata cukup mencengangkan. Kaget dan kagum; karena ternyata, setelah pembantaian para jenderal AD hampir seluruh orang-orang yang tergabung dalam PKI dieksekusi tanpa ampun. Pada titik ini, konflik di antara penguasa menjalar ke akar rumput. Keadaan di Indonesia menjadi semakin mencekam dan menyeramkan.

Tokoh utama film ini yang merupakan salah satu jagal para komunis tahun 65-66 mengakui bahwa mereka mendapatkan mandat untuk membersihkan Indonesia dari ideologi komunis. Dimulailah konflik horizontal yang menewaskan jutaan nyawa dari ujung Sumatera hingga Bali.

Meskipun film ini cenderung subjektif serta parsial, dan mungkin ada kepentingan di balik pembuatan film ini; setidaknya perspektif baru telah dibuat. Dan, tentunya perlu pengkondisian mental melalui diskusi agar tidak timbul konflik baru. Sejauh ini, beberapa kampus sudah mulai memutarnya dan dijadikan bahan diskusi di forum-forum Badan Eksekutif Mahasiswa. Bagus sih, artinya mahasiswa mulai membuka diri terhadap fakta sejarahnya untuk belajar lebih bijak.

Diskusi International People Tribunal untuk Peristiwa 1965

Tanggal 10-14 November tahun ini, diselenggarakanlah IPT di Den Haag, Belanda. Memang tidak berkekuatan hukum, tetapi membuka fakta sejarah itu perlu agar di masa depan tidak diulangi lagi oleh generasi muda yang memimpin pemerintahan kita.

Dalam pengadilan ini, para korban 1965 didatangkan dari Indonesia untuk memberikan kesaksian terhadap apa yang terjadi dengan mereka saat itu. Banyak yang bercerita bahwa mereka disiksa, diperlakukan tidak beradab, hingga dibunuh hanya karena mewarisi dosa komunis. Setidaknya, dari pengakuan para korban ini; akan sedikit membuka mata kita soal betapa keterlaluannya stigma yang mereka dapatkan bahkan setelah setengah abad.

Dan, menurutku, IPT justru hal yang baik untuk memulai rekonsiliasi. Karena jika negara langsung minta maaf terhadap para korban, mungkin menimbulkan kekacauan akibat tidak ada wacana awal pada pihak-pihak yang sangat tidak pro dan memiliki trauma di masa lalu.

Baiklah, tulisan ini tidak berujung membela siapa-siapa. Hanya saja, apa yang kita terima dari buku sejarah selama ini adalah pandangan yang tidak adil, bahkan terlepas dari kebenarannya. Memang sejarah diciptakan oleh pemenang; tetapi jika hal itu sudah melanggar kemanusiaan, bukankah sepatutnya diluruskan?

Depending on Others

image

*to be continued*
*Dr. Frost*

Mawapres: Menggeser Batas Diri

Instagram media annisa3081 - Allah always has a plan to make us as a better person. Perceive more, listen more, be positive. Meeting these people from Marine and Aquaculture Faculty and Law Faculty in Mawapres Selection batch Unair brought me into such a positive circumstances. Though we are yet to be the ideal students but with this kind of "title" as Mawapres, we try to contribute and give more to the society. #college #unair #achievement #scholars #figure

Kalo boleh memutar waktu, di semester-semester awal kuliah aku masih senang dan berhasrat menulis soal cita-cita paling mulia yang mungkin dicapai oleh seorang mahasiswa versiku: menjadi Mahasiswa Berprestasi.

Alasanku sederhana sih; aku pingin berdakwah melalui jalur akademis. Dan supaya lebih afdhal, dakwah yang paling baik memang melalui teladan. Dengan jadi Mawapres, paling tidak aku berusaha menjadi teladan yang baik. Jujur, bukan berarti aku ingin merasa seperti sok-sok an atau apa. Tetapi, menjadi Mawapres berarti kau punya beban moral yang lebih dari mahasiswa lain yang dituntut untuk mempertahankan prestasi dan kontribusi di masyarakat.

Mawapres itu amanah; sama seperti menjadi ketua organisasi apapun di kampus. Menjadi sorotan, menjadi rujukan, menjadi panutan, dan menjadi public figure. Tetapi, apakah mudah? Tentu saja banyak tantangannya. Apakah tidak lelah? Tentu saja aku sering terengah-engah di tengah perjalanan. Tetapi justru dengan begini, aku merasa Allah sangat sayang padaku.

Allah menjaga track ku agar aku terus melakukan hal-hal positif di lingkungan orang-orang positif pula. Entah, aku tidak tahu apa yang Allah rencanakan di masa depan; tetapi dengan amanah ini, aku berusaha sebaik mungkin menjalankan apa yang bisa kulakukan.

Lucu, karena dosenku lah yang ‘memaksaku’ menjadi kandidat Mawapres fakultas di tengah gempuran tugas, ujian tengah semester, dan amanahku yang lain di kepanitiaan HIMA yang cukup menguras tenaga dan pikiran juga. Meskipun terseok-seok, saat itu aku cuma berniat menjalankan kepercayaan dari dosenku dengan sebaik-baiknya yang bisa kulakukan. Itu saja, perkara menang atau tidak; itu urusan belakang.

Dan Allah memenangkanku.

Maka, Dia ingin aku berjuang lebih keras lagi, pelan-pelan menggeser batas diri. Aku pun mengikuti seleksi tingkat Universitas; bertemu kembali dengan orang-orang positif dari berbagai fakultas. Bersyukur ketemu mereka, setidaknya bisa men-charge kembali semangat yang telah meredup. Bersyukur.

Maka, jika langkah ini tetap melaju, moga Allah izinkan aku berkontribusi lebih banyak untuk umatNya. Dan jika langkah ini terhenti, moga Allah izinkan aku teguh di atas agamaNya.

Klapertaart No Bake

Nemu aja di Line. Buat percobaan kalo udah sedikit lowong, setelah sukses dengan roti tawar isi vla green tea.

♡No Bake Kiiroitori Klappetaart♡

Kalo ga salah klappetaart makanan org Menado. Semacam dessert dr kelapa muda…
Bahan:
450ml air kelapa
30gr susu bubuk
50gr tepung custard/tepung maizena
35gr tepung terigu protein rendah
1butir telur
2butir kuning telur
150ml susu cair
daging kelapa muda dr 3 butir kelapa
sedikit garam
70gr gula
1/2sdt vanilli
100gr butter/mentega
6buah wadah alluminium

Cara:
1. Campur semua bahan kecuali mentega di panci. Kemudian masak dengan api kecil hingga meletup letup, terus diaduk perlahan searah agar tidakpecah.
2. Masukan mentega dan aduk rata.
3. Bagi adonan.
4. Hias sesuai video (tips menghias ada di video brown bear mug cake).
5. Dinginkan di kulkas selama +/-3jam dan hidangkan
dingin.

#resepyummy_berbagiresep
Selamat mencoba:)

Kebanyakan di-PHP

“Duh Deek, kok kamu kerjain semuanya sendiri seh?”
Dia yang kutegur hanya menoleh ringan. Tersenyum, lalu menyahut,
“Kebanyakan di-PHP Mbak.”
“Sama siapa?”
“Cowok.”

Okay, urusan perasaan memang fatal sekali akibatnya. Bisa jadi kepercayaan sekarang sulit didapat bukan soal apa-apa, tapi berasal dari perkara remeh temeh seperti ini. Memori yang kita bangun dengan seseorang akan selalu membekas dan terbawa dalam alam bawah sadar kita. Memori itu seringkali menjadi pre-judgement kita atas orang lain di saat kita hendak bekerja sama dengannya.

Kadang, pertanyaan-pertanyaan seperti,
“Aku bisa percaya dia nggak ya?”
“Dia bisa nyelesaikan ini sesuatu dengan tepat waktu nggak ya?”
“Dia bisa nyelesaikan target kah?”
“Dia bisa memenuhi standar kah?”
Sangat mungkin terjadi.

Keragu-raguan kita terhadap seseorang yang sangat berarti di masa lalu bisa sangat mempengaruhi pola hidup, sikap, dan karakter kita sekarang. Tetapi, bukankah seseorang dianggap dewasa jika kita mampu manajemen emosi dan diri; sehingga apa yang terjadi di masa lalu tidak akan begitu signifikan mengambil hidup kita yang bahagia di masa sekarang dan di masa depan.

Istilah kerennya, move on dengan totalitas.

Ya, mengembalikan rasa percaya terhadap orang lain salah satu bagian dari move on itu sendiri. Memang sulit, apalagi jika diselingi dengan cerita patah hati #duh. Tetapi, bukan berarti tak bisa, kan?

Hidup ke depan, akan penuh dengan kolaborasi. Kalau kita kita masih terkungkung dengan nostalgia dan segala rupa kenangan pahit di-PHP, ah berarti kita belum sepenuhnya beranjak dewasa.

Tahap penyembuhan dan akselerasi diri selalu sama kok;
Terima. Maafkan. Lakukan perubahan.
Selalu sesederhana itu, kan?

Sehari Setelah Hari Ayah Nasional

Nemu postingan ini di Line.

image

image

image

image

image

image

image

image

image

image

image

image

image

image

image

Ayah,
Daughter’s first love
Son’s first hero.

Ayah,
Yang selalu ingin anak-anaknya kuat menghadapi tantangan zaman dengan caranya sendiri,
Yang kadang membuat kita sedih, marah, benci, gusar, atau bahkan kelelahan.
Yang kadang membuat kita bertanya
“Kenapa aku harus seperti ini dan itu?”
Yang biasanya hanya dijawab dengan alasan-alasan normatif
Bahkan tidak dikatakannya
Entah tak tega atau dia ingin kita mencari sendiri jawabannya.
Karena baginya, pencarian dan penemuan pribadi adalah inti dari pelajaran itu sendiri.

Ayah,
Yang kadang membiarkan kita bersusah,
Tapi di baliknya selalu menitipkan doa,
Saat mata kita terpejam,
Saat kita kelelahan lalu ketiduran di sofa depan dan kemudian diangkatnya ke kamar,
Saat kita terlalu jenuh belajar,
Saat kita larut bekerja,
Dia hanya ingin menitip pesan,
Bahwa hidup hanya bisa diraih melalui perjuangan,
Di samping kesetiaan, cinta, dan kesabaran.

Ayahku,
Yang jarang memelukku,
Yang jarang menanyakan hidupku,
Tapi dia selalu tahu apa yang aku butuhkan
Tapi dia selalu mendukung cita-cita tergila ku
Tapi dia selalu tahu apa yang aku tidak yakin terhadapnya.

Aku tahu
Ayah hanya ingin aku menjadi sosok ibu yang kuat di masa depan
Ayah hanya ingin aku menjadi sosok wanita bermartabat
Ayah hanya ingin aku menjadi sosok muslimah yang taat
Ayah hanya ingin aku menjadi sosok istri shalihah
Tapi Ayah hanya meminta hal-hal sederhana sebagai balasannya
Berbuat baiklah kepada siapapun,
Dan doakan kami, ayah dan ibumu.

Ah, Ayah.
Terlalu banyak hal yang tak bisa kukatakan di sini.
Tapi doaku dan baktiku tak akan berhenti mengiringi.

Pun dalam Urusan Hati

Menyambung post sebelumnya, alasan untuk setiap jalan hidup yang kita pilih, kita lakukan.
Setiap orang digariskan untuk berjalan di jalur-jalur tertentu untuk mendampingi orang-orang yang digariskan bersamanya.

Aku hanya berusaha jujur, pada diri yang kadang terlalu banyak berharap dan menaruh simpati. Lebih menakutkan lagi jika hingga melampaui batasannya.

Aku berbicara untuk menasihati diri, menasihatimu juga yang masih ragu. Bahwa kita tercipta untuk orang-orang yang sanggup menjadi alasan kita ada di dunia ini. Masa depan memang selalu misterius, tetapi selalu menggoda untuk terus dibicarakan. Terlebih soal dengan siapa kita akan menghabiskan waktu bersama.

Pasti ada alasan, kenapa kita menjalani aktivitas kita sekarang,
Pasti ada alasan kenapa Allah mempertemukan dengan orang-orang yang salah sebelum kita bertemu orang yang tepat,
Pasti ada alasan, kenapa kita diberikan ujian yang bgitu rupa,

Itu karena kita dirancang untuk menjadi sesuai dengan orang yang akan mendampingi dan kita dampingi kelak. Sekali lagi, orang yang baik akan mendapatkan orang yang baik.

Itu karena kita ditakdirkan untuk menjadi sepadan dengan orang yang tepat. Agar saling membantu dalam kesulitan, saling mengisi dalam kebersamaan, saling bebagi dalam kekurangan, saling melengkapi dalam ketidaksempurnaan.

Jika itu yang terjadi, seharusnya kita cukup tenang soal seperti apa orang yang akan mendampingi kita. Karena namanya, sampai kapanpun akan tetap, hanya saja jika kita ingin mengubah sifatnya, jadilah orang yang berbeda. Maka dia, insyaAllah dengan sendirinya akan menyesuaikan diri menjadi orang yang sebelas duabelas dengan kita.

Maka, tenanglah wahai hati. Tetaplah berjalan lurus, di atas agamaNya, nantikan dia dengan tenang dan semoga Allah meliputimu dengan taat, kesabaran, kesyukuran, dan keberkahan. Yang berujung pada sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Amiin, insyaAllah.

Up ↑