Aku dan ibuku baru saja berbeda pendapat semalam; baiklah ini memang bukan yang pertama kalinya. Sebagai seorang gadis penyuka jalan-jalan dan baru lulus sarjana Strata 1, ide menikah setelah wisuda belum terlalu menarik bagiku. Rasanya aku masih ingin menaklukkan puncak-puncak diri yang belum kucapai, menghabiskan masa-masa mudaku, atau bahkan sekedar menjejakkan kaki di benua lain sendirian saja. Tidak, bukannya aku tak ingin menikah.

Tentu saja aku ingin menikah; tapi setidaknya, belum ada keinginan di umur ini atau satu dan dua tahun lagi. Menikah itu sebuah konsep untuk menyempurnakan separuh agama; yang susah-susah mudah dijalankan. Tapi sekali lagi, aku berkaca ke dalam diriku sendiri. Kira-kira, mampukah aku menghabiskan sisa waktu hidupku bersama dia yang ditakdirkan untukku? Kira-kira, siapkah aku untuk selalu mengalah agar rumah tangga kami tak pecah? Kira-kira, siapkah aku untuk selalu bersabar menghadapi keluhannya, kantuknya, lelahnya di malam hari sementara aku juga butuh untuk didengarkan? Kira-kira, siapkah aku selalu bangun pagi, menyiapkan diri, seisi rumah, juga pakainnya? Kira-kira, siapkah aku selalu mendengarkan curhatannya tentang keluarganya yang jauh di sana jika ada masalah?

Jujur. Aku belum siap.

Menikah bukan hanya persoalan tempat tidur, dapur, dan sumur. Banyak tanggung jawab lain yang menuntut kesigapan dengan fleksibilitas dan kesabaran tinggi. Tidak tanggung-tanggung, bahkan saking dahsyatnya pernikahan, arsy Allah berguncang kala janji suci kedua mempelai ditunaikan. Pantaslah, Allah menyebutnya penyempurna separuh agama; karena menikah bukan soal yang main-main. Menikah tidak hanya mempersatukan dua insan, tapi dua keluarga yang berbeda latar belakang budaya, pendidikan, dan lingkungan. Perkara menyatukan dua kepala di dalam satu rumah, sama dengan belajar sekaligus ujian setiap hari. Menurut beberapa pakar pernikahan Islami, di masa awal-awal menikah, selalu ada hal baru yang kadang-kadang membuat geleng-geleng kepala sampai sakit, atau menghela nafas panjang, atau menangis, bahkan hingga tertawa terpingkal-pingkal. Di lima tahun kedua, akan mulai menghadapi masalah yang agak serius; terutama tentang anak-anak dan riak-riak berumah tangga. Lima tahun ketiga, kebosanan pada pasangan mulai muncul, masalah yang awalnya sedikit rumit menjadi tambah rumit seiring anak-anak yang mulai menginjak masa remaja dengan kompleksitas emosi dan diri mereka.

Dan aku membutuhkan seseorang yang bisa membantuku melewati semua fase itu dengan sederhana.

Siapakah gerangan? Aku belum tahu di mana dia, siapa dia, sedang apa dia. Padahal, kau tahu, tidak sesederhana itu urusannya. Kuharap, ibuku mengerti, kenapa aku bersikap seperti ini.