Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

October 2016

Sebuah Kemewahan

Apakah semua wanita suka belanja? Absolutely yes.

Apakah semua wanita suka belanja make up dan dress cantik? Belum tentu!

Bagiku, sebuah kemewahan adalah ketika aku bisa membeli dan membaca buku-buku yang dibaca para pemimpin dunia. Ketika aku bisa terlarut dalam cerita yang mampu mengubah dan menggerakkan seseorang untuk menjadi lebih baik. Ketika aku bisa mendengarkan pidato inspiratif dari orang yang melakukan sesuatu untuk orang lain.

Bahkan, di suatu masa, aku pernah didistraksi agar lebih “meng-upgrade” penampilan, daripada isi pikiran. Sempat tergoda, tapi rupanya cinta sejatiku yang selalu jatuh pada buku-buku berkelas tak bisa dikhianati begitu saja. Buku-buku itu tetap memanggil dengan sendirinya, dan aku patuh dengan panggilannya.

Well, bukan berarti kemudian aku acuh dengan penampilan. Tapi, setelah penampilan cukup kusesuaikan dengan “standar”, buku-buku itu terus saja menjadi sebuah kemewahan yang terus kukejar. Ya, ilmu di dalamnyalah yang membuatku terkesima.

Karena ini yang kupercaya: wanita yang hanya cantik, tidak akan mampu untuk menciptakan generasi tangguh berikutnya. 

Ke Manakah Perginya?

Dulu sekali, aku pernah bertemu dengan seorang anak perempuan yang cerdas, baik hati, dan shalihah. Hingga orang tua teman-teman lelakinya ingin menjadikannya calon menantu mereka di masa depan. 

Kenapa bisa begitu?

Dia adalah gadis yang manis; jawaban tegas dengan pandangan yang luas membuat banyak orang terkagum. Saat itu, memang belum ada internet, tapi ia adalah seorang kutu buku kelas wahid. Dari biografi Rasulullah, ilmuwan dunia, hingga novel Harry Potter serta DaVinci Code tandas dibacanya. Karena itu, dia menjadi gadis yang tak malu bertanya dan menjawab pertanyaan, atau mengusulkan jawaban yang benar dengan bukti saat ia tahu orang lain melakukan hal yang salah.

Ia suka bernyanyi dan bermain musik. Lagu favoritnya adalah lagu-lagu Siti Nurhaliza dan Rossa. Warna suara mereka mewarnai hari-hari gadis itu. Ternyata, dia dulu pandai menari; dari tari tradisional hingga tari modern. Ia pandai sekali, hingga ia pernah berpikir bahwa kelak, ia akan menjadi penari saja. Tentang menari, suatu saat dia cerita bahwa hanya dialah yang bisa melakukan gerakan kepala sesuai instruksi guru tari di sekolahnya, hingga ia didapuk sebagai asisten tari untuk mengajari teman-temannya. Senyumnya mengembang dan matanya bersinar-sinar saat ia menceritakannya padaku. Ah, ia juga suka mengkombinasikan nada dari tuts-tuts keyboard dengan jemari pendeknya. Jadi, selagi ada kesempatan, dia mengiringiku dengan melodinya saat aku tiba-tiba mendendangkan sebuah lagu. Hebat kan, dia… Bisa membaca nada suaraku. 

Tapi, jangan salah. Meski begitu, gadis ini juga pandai melantunkan shalawat dan ayat suci Al-Quran. Shalatnya selalu tepat waktu, di masjid pula. Ustadz dan ustadzahnya sering terkesima dengan bacaan tajwidnya yang mendekati sempurna. Karena itulah, dia diminta menjadi lead vocal shalawat di TPA nya. Ia selalu di peringkat teratas kelas mendaras Quran, dan duduk paling depan saat kelas Ta’lim. Di sekolah, saat teman-temannya masih belajar Iqro’, dia sudah lancar membaca Quran dengan tilawah dan tajwid.

Ah ya, dia adalah sang ketua kelas yang selalu juara kelas. Dia sering jadi juara olimpiade mata pelajaran matematika, sains, dan bahasa Inggris. Dia agak komplain soal guru-gurunya sering usul kepada orang tuanya untuk mengadakan “selamatan” setiap pasca lomba. “Uang hadiahku kan akan berkurang…”, katanya. Aku tertawa, kubilang “Tidak. Itu namanya sedekah, dan itu akan membuat hartamu semakin berkah”.  Dia juga percaya, bahwa kemampuan berbahasa asing itu akan membawanya pergi ke tempat-tempat di buku yang dibacanya. Suatu hari.

Untuk itu, dia harus mempersiapkan ketrampilan hidup yang diasah lewat Pramuka. Dia adalah ketua regu Anggrek 3. Ia selalu memastikan bahwa setiap anggota bekerja sesuai kemampuannya untuk mencapai tujuan bersama; tak jarang, regunya acapkali unggul dibanding yang lain. Tapi, jika ada seseorang yang kesulitan, ia tak ragu membantunya.

Lalu, karena suatu dan lain hal; aku harus pergi meninggalkannya sendirian. Tapi aku berjanji padanya untuk kembali dan mendengar kisah lengkapnya. Dia pun berkata, “Kalau kau kembali, aku ingin kau mendengar kisah cintaku.” Ya, gadis seusianya sudah bisa merasakan perasaan itu. Baiklah. Aku pun mengucapkan salam perpisahan padanya. Dia melambaikan tangan padaku.

Sekarang, waktuku sudah agak longgar, dan aku rindu sekali padanya. Aku ingin mendengar ceritanya lagi. Kuhampiri ia. Tapi, ke mana perginya? Mungkinkah dia sembunyi?

Sungguh, aku ingin bertemu dengannya.

Penyakit Mahasiswa (yang sudah lama di) Jawa: Katak dalam Tempurung

Hari ini aku cukup lama berbincang dengan salah satu temanku, Icha, setelah dia pulang dari kegiatan PPAN di China. Icha, anak kuliahan asal Gresik yang selalu bersemangat dan berambisi tapi realistis ini sedang aktif-aktifnya membina kelompok masyarakat di bantaran kali Jagir, di bawah payung organisasi Urban Care Community.

Obrolan kami berdua awalnya karena aku ingin mencoba “melakukan pengabdian yang benar-benar memanfaatkan ilmuku” di bidang media dan studi budaya bekerja sama dengan komunitasnya; tapi ternyata hal ini melebar hingga kami membahas soal pengalamannya di China dan ceritaku soal KKN Kebangsaan. 

Satu kesamaan kami terhadap dua program yang menyatukan para mahasiswa Indonesia itu adalah, “Ternyata Indonesia tak hanya berisi orang Jawa dan Bali.”

Wajar saja, ketika program itu berlangsung, kami ‘dikumpulkan’ dalam satu wadah dan diberi suatu proyek untuk dikerjakan bersama. Kami ini; sudah orang Jawa tulen, sekolah tak pernah pindah dari Pulau Jawa, tiap hari berbahasa Jawa, menikmati hiburan-hiburan urban di Jawa, dan terkena efek dari pemerintahan zaman Soeharto yang Jawa banget dari orang tua-orang tua kami; hanya bisa meratapi rasa malu dan cupet karena belum pernah merasakan asyik serta serunya berkumpul dengan saudara-saudara dari Sabang sampai Merauke. 

Sebenarnya, sudah sejak pulang KKN Kebangsaan aku memendam topik ini untuk ditulis, tapi sekarang baru menemukan waktu yang tepat untuk menuliskannya (di antara deadline paper dan ppt diskusi besok). 

Oke, balik lagi. Icha bercerita dengan sangat antusias bahwa dia tak pernah bosan menyanyikan dan mendengarkan lagu daerah dari seluruh Nusantara, plus menari kalau bisa. “Musik mereka itu juga seru lho, Mik…“. Dan bahkan dia bilang tak ada lagi lagu bernuansa barat selama ia berada di bus yang membelah daratan China. 

“Aku sampai merinding waktu kita nyanyi lagu Gemufamire dan Indonesia Tanah Air Beta di depan Pemerintah China,” lanjutnya.

Percayalah, aku pun merasakannya dari caranya bercerita. Dia sampai menggoyang-goyangkan badannya demi mengingat ritme lagu yang dimainkannya. 

Begitupun denganku. Selama ini, aku hanya menyaksikan orang suku Melayu, Batak, Dayak, Bugis, NTT, atau Papua hanya melalui buku dan internet. Tak pernah bergaul dan berinteraksi secara langsung dengan mereka. Kalaupun ada, paling keluarga dari Bude yang asli Bugis, dan itupun hanya kulakukan 4 tahun sekali ketika aku berkunjung ke Kalimantan atau Bude yang ke Surabaya. Di luar itu, hidupku penuh drama produksi Barat, Korea, dan kadang film apik Indonesia (re: Jawa Urban).

Lalu, tiba-tiba saja pengumuman KKN Kebangsaan datang dan memanggilku untuk mengabdi ke pelosok negeri di ujung barat laut Indonesia, dekat dengan Malaysia dan Singapura. Di sinilah aku bertemu dengan para mahasiswa hebat dari daerah yang tak kenal lelah berjuang demi kesetaraan sosial di banyak bidang. Tidak meratanya pembangunan infrastruktur dan suprastruktur di daerah mereka justru menjadikan mereka pejuang tangguh, yang kerap menyuarakan tuntutan dan teguran keras kepada pemerintah Indonesia di pusat (Jawa), tapi beritanya seringkali dibungkam dan (mayoritas) mahasiswa di Jawa acuh terhadap mereka ini. 

Mungkin memang karena para mahasiswa di Jawa sudah sangat nyaman dengan zonanya, dengan gadget, internet, dan segala kemewahan hidup yang ditawarkan di sini; mereka kadang lupa soal perjuangan saudara-saudara mereka di luar Jawa. Dan seperti kata Ben Anderson, menjadi katak dalam tempurung yang sengaja memenjarakan pikiran-pikirannya, dan berhenti peduli pada sesama.

Duh, separah itukah para mahasiswa di Jawa? Duh! Kelak, setelah ini, aku paham bahwa untuk mengisi kemerdekaan, tak cukup kita melihat Indonesia dari kacamata sempit dari Pulau Jawa saja. Karena sudah seharusnya kita melihat dari sudut pandang saudara kita yang lain; kan katanya Bhinneka Tunggal Ika. Kok masih ogah mengenal negaranya sendiri?

Up ↑