Hari ini aku cukup lama berbincang dengan salah satu temanku, Icha, setelah dia pulang dari kegiatan PPAN di China. Icha, anak kuliahan asal Gresik yang selalu bersemangat dan berambisi tapi realistis ini sedang aktif-aktifnya membina kelompok masyarakat di bantaran kali Jagir, di bawah payung organisasi Urban Care Community.
Obrolan kami berdua awalnya karena aku ingin mencoba “melakukan pengabdian yang benar-benar memanfaatkan ilmuku” di bidang media dan studi budaya bekerja sama dengan komunitasnya; tapi ternyata hal ini melebar hingga kami membahas soal pengalamannya di China dan ceritaku soal KKN Kebangsaan.
Satu kesamaan kami terhadap dua program yang menyatukan para mahasiswa Indonesia itu adalah, “Ternyata Indonesia tak hanya berisi orang Jawa dan Bali.”
Wajar saja, ketika program itu berlangsung, kami ‘dikumpulkan’ dalam satu wadah dan diberi suatu proyek untuk dikerjakan bersama. Kami ini; sudah orang Jawa tulen, sekolah tak pernah pindah dari Pulau Jawa, tiap hari berbahasa Jawa, menikmati hiburan-hiburan urban di Jawa, dan terkena efek dari pemerintahan zaman Soeharto yang Jawa banget dari orang tua-orang tua kami; hanya bisa meratapi rasa malu dan cupet karena belum pernah merasakan asyik serta serunya berkumpul dengan saudara-saudara dari Sabang sampai Merauke.
Sebenarnya, sudah sejak pulang KKN Kebangsaan aku memendam topik ini untuk ditulis, tapi sekarang baru menemukan waktu yang tepat untuk menuliskannya (di antara deadline paper dan ppt diskusi besok).
Oke, balik lagi. Icha bercerita dengan sangat antusias bahwa dia tak pernah bosan menyanyikan dan mendengarkan lagu daerah dari seluruh Nusantara, plus menari kalau bisa. “Musik mereka itu juga seru lho, Mik…“. Dan bahkan dia bilang tak ada lagi lagu bernuansa barat selama ia berada di bus yang membelah daratan China.
“Aku sampai merinding waktu kita nyanyi lagu Gemufamire dan Indonesia Tanah Air Beta di depan Pemerintah China,” lanjutnya.
Percayalah, aku pun merasakannya dari caranya bercerita. Dia sampai menggoyang-goyangkan badannya demi mengingat ritme lagu yang dimainkannya.
Begitupun denganku. Selama ini, aku hanya menyaksikan orang suku Melayu, Batak, Dayak, Bugis, NTT, atau Papua hanya melalui buku dan internet. Tak pernah bergaul dan berinteraksi secara langsung dengan mereka. Kalaupun ada, paling keluarga dari Bude yang asli Bugis, dan itupun hanya kulakukan 4 tahun sekali ketika aku berkunjung ke Kalimantan atau Bude yang ke Surabaya. Di luar itu, hidupku penuh drama produksi Barat, Korea, dan kadang film apik Indonesia (re: Jawa Urban).
Lalu, tiba-tiba saja pengumuman KKN Kebangsaan datang dan memanggilku untuk mengabdi ke pelosok negeri di ujung barat laut Indonesia, dekat dengan Malaysia dan Singapura. Di sinilah aku bertemu dengan para mahasiswa hebat dari daerah yang tak kenal lelah berjuang demi kesetaraan sosial di banyak bidang. Tidak meratanya pembangunan infrastruktur dan suprastruktur di daerah mereka justru menjadikan mereka pejuang tangguh, yang kerap menyuarakan tuntutan dan teguran keras kepada pemerintah Indonesia di pusat (Jawa), tapi beritanya seringkali dibungkam dan (mayoritas) mahasiswa di Jawa acuh terhadap mereka ini.
Mungkin memang karena para mahasiswa di Jawa sudah sangat nyaman dengan zonanya, dengan gadget, internet, dan segala kemewahan hidup yang ditawarkan di sini; mereka kadang lupa soal perjuangan saudara-saudara mereka di luar Jawa. Dan seperti kata Ben Anderson, menjadi katak dalam tempurung yang sengaja memenjarakan pikiran-pikirannya, dan berhenti peduli pada sesama.
Duh, separah itukah para mahasiswa di Jawa? Duh! Kelak, setelah ini, aku paham bahwa untuk mengisi kemerdekaan, tak cukup kita melihat Indonesia dari kacamata sempit dari Pulau Jawa saja. Karena sudah seharusnya kita melihat dari sudut pandang saudara kita yang lain; kan katanya Bhinneka Tunggal Ika. Kok masih ogah mengenal negaranya sendiri?