Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

November 2016

Yummy Perkedel Ayam

This is it! My extra favorite bites!

Yo, selain cokelat, aku juga hobi banget ngabisin perkedel kentang ala Mbah Uti. Perkedelnya beda dari yang lain, dan sampai sekarang, cuma Uti yang bisa membuat perkedel jenis ini. Selalu, dan selalu, mbah uti membuat perkedel dalam jumlah besar untuk memuaskan hasrat cucunya yang tak pernah puas makan perkedel. Hahahaha… *evil laugh*

Karena ternyata, penggemar perkedel di rumah bertambah; apalagi kalau bukan adikku yang paling kecil dan sepupuku #duh bikin persaingan tambah berat buat rebutan.

Tapi, untunglah Uti mau menyisakan bagian terbanyak untukku. Tau karena apa? Jelas karena aku membantu beliau dalam proses pembuatannya yang ekstra panjang nan melelahkan itu. Bayarannya setimpal, lah. Ekekeke. Okay langsung saja ke resepnya.

Bahan:

1. Ayam 1,5 kg

2. Kentang 3 kg

3. Bawang putih 1 ons

4. Bawang merah 1 ons

5. Garam secukupnya

6. Merica sebutuhnya

7. Pala sebutuhnya

8. Daun pisang

9. Telur ayam

Cara membuat:

1. Cuci ayam hingga bersih, rebus hingga matang. Pisahkan kulit dari dagingnya. Suwir-suwir dagingnya, lalu haluskan dengan ditumbuk.

2. Uleg bawang putih, bawang merah, pala, garam, dan merica. Biarkan sejenak.

3. Kupas kentang, iris menjadi empat atau lima bagian. Lalu goreng kentangnya. Setelah matang dan selagi panas, haluskan kentang. Campur dengan daging ayam.

4. Campurkan dengan bumbu hingga merata.

5. Bentuk sesuai ukuran perkedel yang kita inginkan dan bungkus dengan daun pisang.

6. Kukus perkedel selama 30 menit.

7. Goreng perkedel dengan baluran telur agar mengembang.

Siap disajikan!

Sambal Bilis

Ngomong-ngomong soal #KKN, satu hal yang perlu dibahas! Apa itu? Bagi-bagi resep makanan! Ini akibat (positif) dari jadwal piket rutinan dua kali seminggu, bareng anak-anak dari Seluruh Indonesia itu. Beberapa gadis di kelompokku sangat mahir mengolah berbagai bahan makanan bak koki profesional. Jadi, aku pun belajar dari mereka. Dari yang sebelumnya cuma terampil bikin camilan biasa, aku jadi tahu beberapa resep makanan berat dan kudapan dari luar Jawa. 

Sesuai daerah KKN yang kutempati, masakan yang seringkali dinikmati adalah masakan Melayu, dengan bahan-bahan yang hanya ada di tanah Melayu. Salah satunya yakni sambal goreng bilis. FYI, masakan tersebut adalah menu favorit baruku selain rendang. Oh ya, bilis itu istilah lain dari ikan teri. Teri yang mana? Teri khas Melayu, variasinya ada teri Medan yang ekstra mini sampai teri yang ukurannya sebesar jari. Kata Silpi, salah seorang koki Melayu totok di kelompokku, masakan sambal bilis ini andalan para mahasiswa Melayu di tanah rantau. Biasanya, mahasiswa asal tanah Melayu yang baru pulkam rata-rata akan dipasok dengan setoples penuh sambal bilis plus salah satu jenis Indomie (aku lupa rasa apa). Eh iya, langsung aja lah ke resepnya.

Bahan-bahan:

Bilis (sesuai kebutuhan dan keinginan), Cabe merah, Cabe rawit (sesuai kebutuhan dan keinginan), Bawang merah, Bawang putih, Terasi, Garam, Gula, Kecap, dan Minyak goreng. Bahan lain selain teri, seperti kacang tanah boleh juga ditambahkan.

Cara Memasak:

1. Haluskan bumbu sambal goreng (bawang merah, bawang putih, garam, gula, cabai rawit, cabai merah)

2. Bakar terasi hingga agak gosong. Masukkan ke dalam bumbu yang sudah dihaluskan

3. Tumis bumbu sampai baunya agak harum. Angkat dari penggorengan.

4. Jika ukuran bilis agak besar, pisahkan kepala dan tubuhnya. Setelah itu cuci yang bersih dan goreng bilis hingga matang dan agak kering (tingkat kekeringan terserah, yang penting matang). Kalau ada bahan lain selain bilis, pastikan digoreng sebelum bilis agar bau dan rasanya tak tercampur dengan bilis.

5. Masukkan bumbu yang sudah ditumis dan aduk rata dengan bilis yang sudah matang. Masak hingga aromanya harum dan bumbunya meresap. Tambahkan kecap. Waktu yang dibutuhkan tak terlalu lama, karena tumisan terakhir ini agar bumbunya meresap sempurna.

6. Sajikan dengan nasi putih pulen hangat. Tambah nikmat jika disajikan dengan nasi uduk (nasi dicampur santan). Di Jawa, sambal goreng bilis (teri) biasanya lauk khas untuk nasi kuning bersama kering tempe, tapi entah kenapa aku tak terlalu suka kombinasi ini.

Jujur saja, nasi dan sambal bilis ala Melayu ini masakan andalan selain tumis sayur dan telur dadar saat uang kas menipis dan sindrom malas masak melanda para petugas piket 😀

Tapi yang jelas, masakan ini masih tetap yahud sampai sekarang. Tiap kali kangen dengan squad KKN, aku selalu memasak sambal bilis untuk menggenapkan rindu pada mereka. Hmm… Mau mencobanya?

Kepo Soal KKN Kebangsaan #3

Hari pemberangkatan tiba. Upacara pelepasan mahasiswa KKN Kebangsaan telah selesai dilaksanakan. Kami bersiap untuk diberangkatkan menjadi beberapa gelombang. Peserta dibagi menjadi 4 gelombang keberangkatan; grup Lingga, grup Karimun, grup Batam, dan grup Bintan. Di empat kepulauan itulah kami akan ditempatkan.

Kami adalah gelombang kedua. Tiket PP menuju dan dari tempat KKN sudah ditanggung oleh universitas penyelenggara. Tetapi kalau ingin wisata sendiri di tengah-tengah waktu KKN, tentu saja menggunakan biaya sendiri.

Sekali lagi aku masih merasa takjub karena aku harus menempuh jalur udara, darat, dan laut untuk mencapai tempat KKN. Dari pulau Bintan ke Kabupaten Karimun di kepulauan Karimun saja butuh waktu 3 jam perjalanan laut. Lalu, kami perlu meneruskan perjalanan ke Desa Lebuh selama satu jam dengan kapal ferry yang sudah disiapkan. Kami kira, kami akan turun di desa tersebut, tapi ternyata kami turun dari ferry di dermaga desa tetangga dan harus naik mobil pick up ber-14 berikut dengan seluruh barang bawaan kami selama sekitar 15 menit. Setelah agak lama tinggal di sana, kami baru tahu jika akses ke Desa lebuh hanya 3 kali sehari di jam-jam tertentu saja dan dengan kapal-kapal tertentu pula.

Nah setelah diterima oleh para pemangku desa, kami terharu karena sudah disiapkan tempat tinggal yang layak dan diberi perkakas rumah tangga layaknya pengantin baru. Kami tinggal di sebuah bekas puskesmas desa yang meskipun kata masyarakat setempat seram, tapi nyaman ditinggali. Well, kami berusaha sebisa mungkin menjaga tempat itu agar terjaga kebersihannya dan kerapihannya. Di desa lain, ada kelompok yang bahkan belum dapat tempat tinggal atau malah kena ribut dengan masyarakatnya. Kami bersyukur desa yang akan kami tempati menyambut kami dengan hangat, layaknya saudara jauh yang baru pulang setelah sekian lama.

Sekali lagi, karena desa ini ada di pulau terpencil yang hanya berjarak 45 menit dari Malaysia, soal transportasi, listrik, sinyal, dan teknologi masih sangat sulit. Listrik, bisa dibilang hany 9 jam per dua hari sekali. Itupun kalau obor di pembangkit listrik sedang mati, bisa tiga hari sekali. Sinyal, asalkan bisa internetan dengan jaringan Edge saja sudah beruntung. Sementara teknologi tercanggih adalah komputer di kantor desa, genset, dan beberapa televisi ber-parabola di rumah-rumah warga. Kulkas, mesin cuci, dan pompa air masih jadi barang mewah. Di desa lain, ada beberapa kelompok yang mendapat fasilitas lengkap layaknya hotel, karena memang mereka ditempatkan di daerah wisata. Tapi kami bersyukur karena bisa menikmati sensasi KKN yang sesungguhnya.

Inilah Indonesia yang masih membutuhkan perhatian dan sentuhan tangan-tangan mereka yang katanya akademisi canggih lulusan kampus ternama. Inilah lahan yang seharusnya digarap para pemuda Indonesia dan tak boleh sampai jatuh ke tangan bangsa asing hanya karena pemuda Indonesia kurang kepedulian terhadap nasib mereka. Biarlah pemerintah sibuk dengan kebijakan mereka, tapi harus ada orang yang juga memperhatikan kehidupan mereka yang ada di pelosok negeri.

Setelah berkenalan dengan warga dan mengamati daerah sekitar, kami mulai merapikan agenda program kerja dengan briefing setiap malam dan menyusun jadwal piket. Karena tema wajib proker kami adalah ekowisata bahari, kami mulai merancang jadwal jalan-jalan sekaligus proyek dokumentasi kelompok. Proker lain yang tak kalah penting adalah pengajaran di sekolah, perayaan 17 Agustus, dan sosialisasi nilai-nilai kebangsaan. Proker ini harus dimanajemen begitu rupa karena akan menjadi konten website sebagai salah satu bentuk laporan kami.

Jangan tanya soal tantangan hidup bersama 13 orang dengan 13 budaya berbeda. Kami seringkali terlibat konflik, tapi layaknya keluarga; akan kami selesaikan secara dewasa. Ada perubahan dalam hidup yang mulai terasa dari masing-masing pribadi kami. Rupanya hukuman push up 20 menit berdampak nyata menjaga kami tetap bersatu di tengah-tengah konflik yang mendera. Selain itu, kami juga saling berbagi resep, tradisi, dan cerita dari rumah masing-masing. Rasanya menyenangkan ketika kamu tahu kamu tidak menanggung beban hidup sendirian di negara ini. Ternyata ada mereka di luar sana yang juga ikut merasakan penderitaan itu tetapi tetap semangat menjalani hidup.

Menjelang akhir kegiatan, kelompok kami mendapatkan kunjungan dari dosen pembimbing kami dan dosen Univ. Negeri Lampung (dosennya Saroh). Selain itu, tentu saja kami menyempatkan liburan sejenak sebelum masa penarikan. Kami jalan-jalan dua kali; sekali bersama pak Kades dan pak Sekdes, sekali bersama kelompok kami sendiri. Fixed, I really miss those moments.

Setelah tepat 30 hari, kami ditarik kembali dari daerah penempatan. Ada beberapa siswa yang sengaja berpamitan sebelum mereka berangkat sekolah, ada beberapa yang meliburkan diri, dan tentunya para warga yang menjadi keluarga kami selagi kami jauh dari rumah masing-masing. Situasinya sangat emosional dan tentunya kami akan sangat rindu dengan kehidupan di sana. Sesampainya kami di Tanjung Pinang, kami mempersiapkan presentasi laporan kegiatan serta penutupan. Tidak banyak yang dilakukan selain menjalani waktu lambat-lambat, karena kemungkinan kami akan berjumpa sedikit saja dan dalam waktu yang lama. Ini pula yang jadi perbedaan besar dengan KKN reguler. Di mana mereka akan berjumpa kelompoknya dengan mudah; sementara kami harus punya waktu khusus untuk sekadar bersua.

Tapi bukankah dengan jarak kita akan saling menjaga kenangan? Dan bukankah dengan rindu kita akan menjaga hubungan?

KKN Kebangsaan, bagaimanapun bentuknya, adalah menemukan Indonesia. Seutuh-utuhnya. Pastikan namamu ada dalam daftar peserta KKN Kebangsaan tahun berikutnya!

Kepo Soal KKN Kebangsaan #2

Setelah terpilih melalui seleksi universitas, apa yang harus dilakukan? Apa yang perlu disiapkan? Bagaimana skema kegiatan KKNK? Di mana kita akan ditempatkan? Bagaimana kita akan mengenal kawan-kawan sekelompok? 

Kita wajib berkoordinasi dengan teman satu universitas dan pihak LP3M atau LP4M di universitas masing-masing. Mereka akan memberitahu prosedur standar meliputi pendanaan hingga pembuatan laporan KKN. Dalam hal ini, Unair memberikan fasilitas pendampingan dari staf untuk perwakilan mahasiswa, tiket pesawat pulang-pergi, dan sejumlah uang saku. Sementara ketika pelaksanaan KKN, universitas penyelenggara dan DIKTI (serta mungkin sponsor) akan membiayai seluruh dana pelatihan, dana program kerja, hingga akomodasi peserta. Kami juga mencari sponsor dan mempersiapkan uang pribadi untuk persiapan dalam kondisi darurat. Berdoa sajalah semoga semua aman terkendali.

Pihak LP4M juga akan mendaftarkan kita ke website resmi KKNK. Di sinilah nanti para mahasiswa universitas penyelenggara akan menghubungi teman-teman sekelompoknya melalui nomor yang tertera di website.

Ajaibnya, seluruh peserta KKNK 2016 sudah terhubung via grup Line beranggotakan 400 lebih mahasiswa. Kami pun saling berbagi informasi, berkenalan, dan beruluk dalam di grup tersebut. Berharap-harap cemas dan menebak-nebak keseruan yang akan terjadi saat saling bertatap muka.

Kelompokku di’satu’kan oleh Saroh, mahasiswa Universitas Negeri Lampung yang sudah lebih dulu di-invite lewat Line oleh mahasiswa UMRAH, universitas penyelenggara KKNK 2016. I was totally excited to meet them in person, knowing that they would live with me for 30 days! Mereka adalah orang-orang ini: Randa dari Univ. Riau; Saroh dari Univ. Negeri Lampung; Resti dari UIN Suska Riau; Ani dari Univ. Negeri Makassar; Rizky dari Univ. Sriwijaya, Palembang; Bang Tasim dari Univ. Syiah Kuala, Aceh; Ranci, Adel, Silpi dari UMRAH, Tanjung Pinang; Rio dari Univ. Negeri Bengkulu; Dea dari Univ. Negeri Jambi; Pebri dari Univ. Negeri Tanjungpura, Pontianak; dan Bang Ian dari Unhas, Makassar. Setelah lengkap dan saling terhubung dalam grup khusus, kami berbagi tugas dan melengkapi keperluan apa saja yang dibutuhkan selama KKNK.

Rata-rata teman-temanku yang mengikuti KKN reguler akan membawa perlengkapan seperti pindah kos-kosan. Rasanya tak mungkin juga membawa barang-barang sebanyak mereka; apalagi bagasi pesawat juga membatasi kuota barang bawaan. Diputuskanlah para mahasiswa dari UMRAH yang membawa sebagian besar perkakas yang agak berat dan sebagian akan meminjam dari warga. Semua ini karena medan yang akan kami lewati lebih berat dan menuntut kami untuk lebih fleksibel. Karena itu banyak dari kami yang membawa tas carrier daripada koper. 

Di tengah keseruan kelompok menyiapkan barang bawaan dan kenalan, datanglah informasi di mana kami akan ditempatkan. Kami paham bahwa daerah 3T memang agak sulit dijangkau dan membutuhkan waktu tempuh yang lama untuk mencapainya. Akhirnya, setelah kami tahu akan ditempatkan di Desa Lebuh, kami segera mencari tahu via internet tentang lokasi, budaya, masyarakat, hingga laporan berita desa itu. Kami belum pernah ke sana dan kami sendiri baru akan bertemu ketika di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Aku merasa aneh karena baru kali ini melakukan pengabdian tanpa survei terlebih dulu. Kami mengumpulkan segal informasi yang bisa dikumpulkan dan mulai menyiapkan diri, saling mengingatkan, saling menyemangati. 

Hingga tibalah kami di Hotel Sunrise City, Tanjung Pinang. Tak terlalu mewah, tapi cukup bagus meski kami harus tidur bertumpuk, berjajar, bersempit-sempitan mengingat seharusnya kami tidur di barak tentara. Awalnya, kami masih berkumpul dengan teman satu universitas, tapi kemudian para TNI membariskan kami untuk apel dan mengelompokkan kami berdasar peleton sesuai kelompok KKN.

Kami akan ditempa secara fisik dan mental selama 3 hari sebelum pemberangkatan KKN. Dijaga dan diawasi oleh TNI. Pagi hari sebelum materi, kami diharuskan mengikuti apel pagi, senam, dan sarapan. Setelahnya kami harus mengikuti pembekalan mental berupa materi-materi kebangsaan dan materi terkait tema KKN. Selama tiga hari itu pula kami akan mengenal, menyusun proker khusus di luar proker wajib, berinteraksi, dan menyesuaikan diri dengan kelompok KKN. Mereka yang akan menemani selama 30 hari.

Saat itu, peletonku termasuk peleton yang paling lelet karena cowoknya pemalas tapi pesolek. Kami sering kena hukum, hingga puncaknya kami harus push up selama 20 menit saat jam 2 pagi karena satu orang terlambat mengumpulkan tugas. Para cewek tak kurang-kurang cerewetnya mengingatkan dan memarahi para cowok yang nyantai setiap saat. Tapi karena kami tak ingin mengorbankan kekompakan kami, hukuman jam 2 pagi itu menjadi bukti solidaritas sekaligus pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Terbukti, kelompok kami mampu mengatasi konflik apapun dengan kepala dingin dan terkondisikan selama di lapangan. Kami saling berbagi sekaligus menjaga rahasia, saling menjaga satu sama lain. Saling mengisi dan saling berkorban. Hingga kami tetap menjadi saudara sepulang KKN.

Meski ada beberapa masalah yang terjadi, and shit always happens, kami tetap optimis bahwa kami mampu melewatinya. Menurutku itu penting mengingat kami hidup bersama dengan 13 kepribadian dan pikiran yang berbeda.

Kepo Soal KKN Kebangsaan #1

Seperti KKN biasanya, tapi yang luar biasa adalah kita akan bertemu dengan rekan-rekan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Ini, kesan pertama yang kudapatkan begitu tau bahwa aku akan mengikuti KKN Kebangsaan 2016.

Ah, tapi baiknya aku bercerita dulu, apa itu KKN Kebangsaan. Inisiator program KKNK adalah para dosen dari Universitas Hassanuddin, Makassar; Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; dan Universitas Andalas, Padang; lalu berkoordinasi di bawah naungan Dirjen DIKTI. Dimulai pada tahun 2014, para inisiator ini mengumpulkan mahasiswa dari berbagai pulau dan suku di Indonesia untuk mengabdi di wilayah-wilayah perbatasan negeri. Agar mahasiswa tak angkuh dengan arogansi kedaerahan, agar mahasiswa mengerti bahwa bangsa Indonesia bukan hanya sekelumit orang di daerahnya saja, agar mahasiswa belajar menghadapi kenyataan yang dirasakan di tengah-tengah masyarakatnya. Buat apa jadi mahasiswa kalau cuma berdiam diri di dalam menara gading yang disebut kampus? Kampus itu salah satu tempat belajar, tapi masyarakat adalah tempat mempraktikkan ilmu yang sudah didapatkan.

Sejak 2016, KKNK diputuskan untuk diadakan sekali setahun setiap bulan Juli-Agustus. Wilayah yang dijadikan target KKN adalah wilayah 3T (Terdepan, Tertinggal, dan Terisolir), di mana pembangunan masih sangat minim dan seringkali tak terjamah pemerintah pusat. Ada pola unik yang diterapkan panitera inti KKNK, jika tahun ini di wilayah barat Indonesia, tahun berikutnya di wilayah timur; begitu seterusnya. Kapan wilayah tengah (Jawa)? Hm, sepertinya Jawa sudah terlalu mainstream dan sudah terlalu banyak kampus yang memperhatikan daerah lokalnya.

Lalu, bagaimana kampus-kampus menyeleksi mahasiswanya? Ada beberapa yang menerapkan sistem pengumpulan berkas dan wawancara. Untuk Unair, biasanya tergantung fakultasnya; dan tetap saja ada persyaratan yang harus dipenuhi. Yakni, harus memiliki IPK di atas 3 dan pengalaman berorganisasi di internal atau eksternal kampus yang dibuktikan dengan sertifikat atau SK. Sedikit bocoran, setiap bulan Mei-Juni, tanyalah ke pihak dekanat. Adakah lowongan untuk KKN Kebangsaan tahun ini? Siapa tahu kamu yang beruntung untuk mendapatkan satu tempat mewakili Unair di KKNK.

Tentang kuota mahasiswa, biasanya memang disesuaikan dengan kemampuan universitas penyelenggara dan tema yang diusung KKNK tahun tersebut. Tahun 2016, Unair memberangkatkan 14 mahasiswa dari FISIP, FEB, FIB, FKM, FST, dan FH dengan tema Ekowisata Bahari. Tahun 2017, rencana temanya belum dibahas, tapi akan dilaksanakan di Universitas Negeri Gorontalo. Bersiaplah menyambutnya! 

How do We Listen?

Stephen R. Covey, dalam bukunya the 7th Habits of Effective People menyatakan bahwa

“We listen to reply, not to understand”

Kita mendengar untuk membalas, bukan untuk mengerti maksud orang lain.

Akhirnya aku paham dari kasus berikut. Suatu hari, beberapa teman dan juniorku sedang membahas salah satu kegiatan rutinan kampus yang cukup krusial. Aku sudah tak mau diundang karena merasa tak berhubungan dan punya sentimen yang cukup negatif atas acara itu. Aku tak mau menciptakan konflik kedua nanti. Tapi, kedua temanku memohon hingga aku segan menolaknya.

Di waktu yang ditentukan, kami berkumpul. Dari awal, aku berusaha tak terlalu ikut campur karena karakter juniorku, entah, memang sangat berinisiatif dan agak sulit menerima pendapat senior. Pun, begitu dengan kedua temanku. Toh, semester depan kami sudah wisuda, terlalu campur tangan akan dilihat sebagai bentuk meremehkan mereka, bukan? Tibalah membahas sesuatu yang sensitif: pelayanan pada senior saat kegiatan tersebut berlangsung.

Aku menyampaikan beberapa kekurangan juniorku dari kacamata senior angkatanku. Aku mendeskripsikan cara mereka menghubungi senior, melakukan briefing senior, hingga menyambut senior ketika hari H; dan itu banyak menimbulkan salah paham dan kekecewaan pada senior. Aku menjelaskan kenapa itu terjadi menurut sudut pandang senior.

Tapi, kemudian salah seorang juniorku membalas dengan melakukan pembelaan atas dasar efekfivitas tindakan mereka. Berdasarkan masalah yang mereka alami, tekanan yang mereka rasakan, dan sudut pandang mereka. Tak kusangka, aku juga langsung menyahut begitu saja dengan membandingkan apa yang dulu dikerjakan angkatanku dengan apa yang mereka kerjakan. Nada dan volume suaraku naik tanpa kusadari. Aku mulai bersikap emosional dan defensif. Aku mengungkapkan itu supaya para juniorku mendapatkan referensi yang lebih efektif ketimbang apa yang mereka lakukan; tapi alih-alih ditangkap sebagai acuan solusi, perbandingan itu malah memicu debat antara kami. Debat mengalir begitu saja antara aku dan beberapa junior, sementara dua temanku yang lain diam, mungkin mereka sudah paham pola pikir mereka dan sudah terlibat debat sebelumnya.

Hingga akhirnya, junior lain mengatakan ini dengan nada yang masih emosional, “Jangan membandingkan. Pilih saja yang paling efektif.” Aku tiba-tiba sadar bahwa kami tidak satu frekuensi dan kami hanya mendengar untuk membalas berdasarkan sudut pandang kami masing-masing, bukan berusaha mengerti dari sudut pandang orang lain. Jika begini terus, tentu tak akan ketemu solusinya. Begitu sadar, aku segera mengakui kesalahan yang kubuat dan menarik diri dari perdebatan itu. Lalu, moderator mengambil alih situasi dan mulai membahas solusi dengan lebih tenang dan adil.

Rupanya Covey benar, hanya sedikit manusia yang berani mendengar untuk mengerti. Listen to understand is much more difficult because we push our ego to let one’s ego intervene us. But, that’s what the real leaders and effective people do to make a solution.

JJM 6/11

Salah satu kebiasaan unikku saat ini adalah jalan-jalan malam mengitari beberapa ruas jalan utama di Surabaya bersama Mbak Dee. Tentu saja ini bukan jalan-jalan biasa yang hampa; tapi adalah sesi belajarku di luar kelas tentang apapun. Mulai soal dunia pasca kampus, dunia dewasa, dunia percintaan, hingga sedikit ke dunia relijius. Bersama Mbak Dee, aku menemukan sosok yang bisa kuajak berdiskusi dengan sudut pandang yang lebih luas. Dia telah bertemu dengan bermacam wajah orang dari seluruh nusantara dan luar negeri. Bisa dikatakan, Mbak Dee adalah mentorku, selain Pak Riyo, atau Mbak Euis, atau Mbak Dian.

Jalan-jalan malam pun merupakan agenda yang mengasyikkan karena aku bisa bertukar pikiran, meski kaki lumayan capek.

Start dari Rumah Bahasa setelah Maghrib, kami menapaki trotoar sambil mengamati, kadang juga mengambil foto di beberapa sudut Kota Surabaya. Menjadi turis di kota sendiri rupanya lumayan mengasyikkan, mencoba mengeja kehidupan urban yang berlalu terlalu dinamis. Kesamaan kami soal ketertarikan pada media dan segala kompleksitasnya, serta aktivitas pendampingan masyarakat membuat kami betah ngobrol, bertukar pikiran selama perjalanan. Inilah barangkali yang disebut sebagai belajar sambil jalan.

Malam ini temanya adalah cerita soal bangunan tua yang telah beralih fungsi, kerja di media, dan perspektif masing-masing soal demo 4/11. Rutenya adalah dari Jalan Urip Sumoharjo kemudian putar balik ke Jalan Basuki Rahmat, lalu memotong ke arah Coffee Toffee Taman Prestasi. Sudah biasa kulewati memang, tapi tak pernah dalam langkah yang lambat dan penuh perhatian mengenai gedung-gedung di sebelah kanan atau kiri jalan. Cerita tentang gedung-gedung kuno di pusat kota Surabaya memang penuh kisah mistis dan Mbak Dee cukup tau gedung mana saja, as always. Yang kami lakukan hanyalah melewatinya sambil kasak-kusuk soal nasib gedung yang kadang dibiarkan atau malah dibeli investor untuk dirombak menjadi tempat usaha, tak berani mengambil fotonya.

Dari sini, menyambunglah kami dengan cerita soal kehidupan pasca kampus yang terhubung pada topik proyek kerja di media. Mau tak mau, Mbak Dee membeberkan saat dia menjadi wartawan salah satu koran dengan oplah terbesar di negeri ini. Yang, tentu saja, ritme kerjanya sesuai dengan ideologi serta idealisme tempat kerjanya, tapi sayangnya tak selaras dengan idealisme dirinya. Lalu, tak ingin aku tahu secara parsial, Mbak Dee memaparkan cerita soal seniornya yang kerja di salah satu harian yang “lebih serius” dan “lebih akademik”, sebagai alternatif jika aku ingin meneruskan karir di industri media. 

“Masuklah di media yang tepat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang idealis. Karena dengan begitu, kamu akan punya sudut pandang yang lebih luas, daripada sekedar mengamini agenda mediamu,” begitulah kata Mbak Dee. Atau dengan kata lain, jangan ulangi kesalahanku untuk masuk di media yang salah. 

Tetap saja, aku merasa bahwa aku khawatir jika harus bekerja di media yang cukup kritis, karena itu mungkin akan melawan dogma agama yang sudah kupercayai. Tapi kemudian, Mbak Dee menyuruhku untuk membaca ulang Al Quran, hadits, dengan lebih teliti dan berkonsultasi pada para ahli agama (ustadz/ah) yang berpandangan “kontekstual”, Cak Nun atau al-Ghazali misalnya.

Dari situlah, kemudian kami sepakat jika agama Islam menyuruh kami agar lebih kritis dalam memaknai narasi Quran, yakni jalan orang-orang yang telah diberikan nikmat pada mereka. Sepakat bahwa bahasa Quran adalah bahasa “kasih” seperti arti kata Islam sendiri, “selamat”. Ah, ini mengingatkanku akan tujuan para tokoh dalam kisah 99 Cahaya di Langit Eropa; untuk menjadi agen Muslim yang baik.

Termasuk tentang peristiwa 4/11 di Jakarta; Mbak Dee berpendapat bahwa sebenarnya masalah penuntutan itu bisa dimediasi. Karena demo kemarin toh ternyata ditunggangi oleh kepentingan politik. Ya, meskipun banyak Muslim yang memang berniat melakukan aksi damai lillahi ta’ala tetapi mereka tak sadar bahwa mereka juga dimanfaatkan para tokoh yang butuh panggung.

Menurutku, para pendemo memang tak sepenuhnya salah; karena mereka belajar ‘bersuara’ dengan aksi damai untuk membela nilai-nilau Islam. Tapi mungkin, jika mereka sadar bahwa momen seperti itu rawan ditunggangi kepentingan politik dan oknum, mereka akan lebih waspada untuk mengorganisasi aksinya.

Lalu, jalan-jalan malam ini akan bersambung ke agenda berikutnya, pulang ke rumah.

Up ↑