Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

September 2014

There’s another Secret from Allah

Hari ini adalah hari Sabtu, dan seperti biasanya… Aku halaqah. Halaqah adalah model tarbiyah (salah satu sistem untuk menuntut ilmu Islam) secara berkelompok kepada seorang ustadzah di daerah Semolowaru. Sudah 3 tahun ini, aku ikut halaqah. Maka, agenda pekanan itu seakan jadi pengisi jiwa yang sewaktu-waktu rentan dan rapuh ini, bersama-sama mengingat Allah, akan kebesaranNya, akan segala nikmatNya.

Sebenarnya, aku ingin memfokuskan ke materinya saja. Dan, materi hari ini adalah tentang, hal-hal yang menghalangi kita dari mengenal Allah. Kemudian berlanjut pada sudah sejauh apa kita mengenal Allah? Apakah parameternya jika kita sudah mengenal Allah? Percayakah kita pada Allah?

Tiga pertanyaan yang langsung menjawab segala gundahku hari-hari terakhir ini.

Sudah sejauh apa kita mengenal Allah? Aku menjawab, selama aku kuliah -karena aku mendapatkan matkul filsafat-, aku mencoba mengenalnya melalui hal-hal akademis, yang memerlukan logika, berpikir, dan akal. Maka aku menemukan Allah. Stop.

Apakah parameternya jika kita sudah mengenal Allah? Aku menjawab, ketika ada sesuatu yang tidak pasti dan absurd, aku pun mulai mengafirmasi diriku, bahwa Allah telah melihat segala usahaku. Allah tak akan mungkin menyia-nyiakan kerja hamba yang beriman. Stop.

Percayakah kita pada Allah? Inilah sebenarnya, pertanyaan inti yang ditanyakan Murabbiyah (ustadzah). Di mana kita meletakkan Allah pada kehidupan kita? Sebatas otakkah? Di hatikah? Di perutkah? Di mulutkah? Atau pada setiap langkah, kita pasrahkan hidup kita padaNya? Dari sini, aku akhirnya mengerti. Allah belum ada di hati dan setiap langkahku. Aku masih menjabarkanNya dalam alam konsep. Padahal Dia nyata dan ada.

Dan kini, sebuah ujian langsung datang, ketika aku akan mengupload PKM. Websitenya error dan pending berkali-kali. Aku menebak-nebak berbagai sebab; tapi di ujung ini ketika aku menulis ini, aku berpikir, Allah sedang menyiapkan rencanaNya yang lain untukku. Sungguh, aku hanya perlu yakin bahwa Dia tak akan menyia-nyiakan usaha dan doa seseorang yang beriman. Pasti, Allah punya rencana itu. :’)

The Huge Wave is Coming!

Banyaaak, banyaaak banget yang pingin kuceritain.

Yak, ini sedang menata diri ke arah sisi positif dari kehidupan kompleks seorang mahasiswi yang mencapai kepala 2. Crowded things are coming! Storm, wave, typhoon, and things like that are actually exist. Yeah, what was my seniors said are true and happening. Alhamdulillah, ternyata aku masih dipegang erat-erat oleh Allah sejauh ini. Entah apa jadinya aku jika badai ini semakin kencang dan aku tak punya tempat berpegang dan berteduh. Innalillahi…

Tapi, ada sebuah hikmah kecil di balik itu semua. Sebuah obrolan siang antar para calon ummahat di Rumah Prestasi Indonesia, di daerah Ngagel. Siang itu, empat orang (2 psikolog, 1 teknisi, dan 1 budayawati) sedang asyik diskusi soal kuliah S2 di luar negeri. Semua pada heboh, baiklah 3 di antaranya, buat pergi ke Turki dalam rangka melanjutkan studi. Kecuali seorang, sang budayawati –iya itu aku–, yang bersikukuh untuk menjelajah Negeri Matahari yang Tak Pernah Tenggelam.

“Ya soalnya, di Turki itu sudah mulai bagus pemerintahnya.”

“Lihat aja, aturan-aturan Islam ditegakkan di sana. Wuuh, Inshaa Allah mantap untuk belajar psikologi Islam!”

“Di sana juga lebih mendukung Dek, suasananya. Misalkan kalau mau belajar sejarah Islam, di Turki lebih cocok atmosfernya, ketimbang di Amerika.”

“Hahaha, entahlah, nggak minat ke US, Mbak. Tujuanku masih berkutat di UK aja. Inshaa Allah di Oxford atau Birmingham. Kalau nggak ada di Oxford ya, pindah ke Birmingham, ngng… bisa aja Cambridge.”

Tapi lama-lama, obrolan ini mempersoalkan pertanyaan mau lulus kapan; ya, karena S2 hanya mungkin dilakukan kalau sudah lulus S1 kan?

“Makanya Mbak, kalau mau cepet lulus, ya bikin jadwal belajar regular gitu lho… Jangan SKS… Kapan pahamnya kalau SKS?” kataku.

“Lhoo, jangan salah, aku justru mulai SKS sejak kuliah, Dek…” kata Mbak Teknisi, tapi sudah mau wisuda.

“Nggak bisa belajar kalau nggak SKS…” kata Mbak Psikolog yang udah semester 7.

“Aku yakin kok, kita akan lulus di waktu yang tepat…” kata Mbak Psikolog yang masih semester 5.

“Eh, eh, kan ini (nunjuk Mbak-Mbak Psikolog), ini, aku pada SKS. Kamu doang yang nggak mau SKS dan pingin lulus cepet. Hahaha. Berarti kamu abnormal, Dek!” kata Mbak Teknisi.

Habislah aku dengan guyonan itu. Tapi, akhirnya juga ikutan ketawa. Oke, aku sukses membuat lelucon yang berbau akademis. Sepertinya topik SKS dan kapan lulus adalah hal-hal yang bisa sangat menghibur di kala tekanan-tekanan tugas. Jujur, aku senang jika diizinkan lulus 3,5 tahun dan langsung S2. Aku lebih senang tak berlama-lama di bangku S1, entah itu mencari waktu yang tepat untuk lulus atau lulus di waktu yang tepat.

Yang aku tahu, di sini aku mencari ilmu; melalui ceramah dosen, kegiatan organisasi, kepanitiaan, pengabdian masyarakat, semuanya. Intinya cuma 1, mencari ilmu, melalui berbagai macam guru yang kutemui di Universitas Kehidupan. Bangku-bangku S1 hanyalah batu lompatan sebagai cara berpikir kritis dan ilmiah, ada dunia yang lebih besar di sana.

Seperti yang dikatakan dosen filsafatku (yang kali ini ada benarnya), bahwa kata-kata membakukan pengalaman, mengurangi makna paling esensial yang bisa diciptakan pengalaman. Ada dunia yang harus ditengok dengan ilmu dan hidayah dariNya; untuk menemukan bahwa Allah telah begitu dengan sempurnanya menciptakan semua hal dengan berpasang-pasangan, membolak-balikkan hati manusia, dan bahkan memberi makan serta kehidupan kepada seluruh makhluk, tanpa pandang bulu.

Edu-Socio Preneur

Technically, I have been teaching for 5 years, but not in a formal school. I just give additional course to some students in my neighborhood. I’d like to tell you that I live in a poor neighborhood, yet I also have so many luck. As my contribution, I give low-cost courses to help the students pass their exams and do their homework. Luckily, I have attended popular and high-rank school in Surabaya; and my neighborhoods had some attention to me to teach their children. They agree to pay me IDR 125,000 or $10/months for 2-hour-course in 4 days a week.

For some reasons, I think, what I am doing is helping others. However, there’s still such a “education business” inside. My activity brings a predicament to my life, now. When more and more students want to be taught, yet I still have so many activities in my uni-life, I ask myself many times too. What is my purpose by giving them courses? Is it only helping my neighborhood or raising the money from them?

I am a kind of “strict and idealist” person; so the conflict grows bigger and bigger. Raising money is important to my uni-life because my father doesn’t give extra money beside my tuition fee per semester. In the other hands, I like helping others to solve their problem and I like to give charity to people (for this attitude, my father often complains me so much). Hm… I still have other ideas; such as writing articles, being student’s trainer, and following academical competitions. Ya.. I must be creative and improve my skills. I believe that the God gives me problem with its solution.

Okay, I will keep teaching my neighborhood and then keep helping them. Ya, I don’t know why is teacher becoming a popular job. Hahaha, maybe it’s the effect of the government’s remuneration; who knows? The teacher, especially those who are being civil servant, will have bright future, subsidy, high assurance, and all special facilities from the government. I’d love to hear that. However, being a teacher is not only teaching the material but also the mind and the heart.

Up ↑