Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

October 2014

Penilaian Jurnal Ilmiah dalam Karir Dosen

To be a lecturer…

abdulhamid.id

Menerbitkan artikel ilmiah merupakan ujung dari sebuah penelitian. Artinya, hasil sebuah penelitian bisa dibaca, dirujuk, didukung atau disanggah oleh peneliti yang lain. Penelitian terapan selanjutnya malah bisa diimplementasikan, baik sebagai produk atau kebijakan.

Menerbitkan di jurnal ilmiah merupakan salah satu pilihan yang baik. Dalam aspek karier, jurnal ilmiah merupakan komponen yang amat berharga, menentukan laju atau mandeknya karier seorang dosen. Setiap tahapan kenaikan jabatan akademik dosen mensyaratkan dimilikinya artikel di jurnal ilmiah. Semakin tinggi karier dituju, semakin sukar.

Untuk menjadi Profesor misalnya, jurnal internasional bereputasi menjadi syarat mutlak. Perhatikan pasal 10 ayat 3 Permenpan 46 2013 yang menyempurnakan permenpan 17 2013:

c. Profesor harus memiliki:

1) ijazah Doktor (S3) atau yang sederajat;

2) paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah Doktor (S3);

3) karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi; dan

    4) memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

4) Dosen yang berprestasi luar biasa dan…

View original post 621 more words

When It is Locked Deep Inside

hidden letters

“I can’t even write anymore…”

The Road Not Taken

by Robert Frost

Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both,
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;

Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim
Because it was grassy and wanted wear
THough as for that the passing there
Had worn them really about the same

And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I keot the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way
I doubted if I should ever come back.

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I,
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

—————————————-

One day, my lecturer gave my class this poem. Funny, that actually I came very very late (the class almost dismissed); but my lecturer didn’t come to class. What a happy hour! Then, I joint onto one group and I read this.

Hm, simply but deep. You know, I start loving Frost’s poems!!!

The signal word “road” symbolize a choice. Phrases “not taken” means not a common choice, strange. It shows that life is like a puzzle, isn’t it? You always have choices to put your step and enjoy the process.

In the first stanza, the writer shows you that he really knows where those ways will go. It means that he know what is his obstacles, risks, and jackpot based on his observation through his and other’s lives. It is clearly stated in “…looked down one as far as I could to where it bent in the undergrowth”.

Ah, before I forget to give the clue; someone who realizes what he/she does is going to be an adult soon.

In the following stanza, the writer thinks about what people said about the better one. He says, “And having perhaps the better claim”. But he also hesitates with this, “had worn them really about the same.” He feels he won’t be get a new thing.

The writer then considers his future in the third and forth stanzas; painting his dream, believe, and thruth in his mind. It blends together; and finally he says, “I took the one less traveled by, and that has made all the difference.”

He has a reason to be different, unique, and authentic. His reason is logic because people will know him for his contribution as an adult.

Simply, I thought it was about someone’s process to more mature. However, it was deep enough to think; the diction were very beautiful (symbolizes the choices and risks with the nature). Indirectly, I felt calm when I read this poem. I don’t know, maybe it was because the rhymes and words; so I was like being lost in the jungle. But I loved it. 🙂

SKIPPER

Apakah itu semacam pinguin?

>> Bukan

Apakah itu sejenis makhluk hidup yang ada di film MADAGASCAR?

>> Bukaaan…

Apakah itu sejenis OS?

>> Bukan juga.

Terus?

>> SKIPPER itu, Sentra Kepemimpinan dan Prestasi Pelajar

Ngapain aja kegiatannya?

>> Kegiatan komersil dan non-komersil

Kalo yang komersil?

>> Kita melayani jasa training kepemimpinan dan prestasi untuk pelajar. Kegiatannya seru-seru, paket lengkap deh. Bahkan, Dinas Pendidikan Surabaya pun pernah menggunakan jasa kita untuk training Konselor Sebaya dan LOS tiap tahun ajaran baru (2012-2013)

Kalo yang non-komersil?

>> Oh, kami juga mempunyai komunitas. Seperti GPS (Generasi Pelajar Sukses). Yang jelas, komunitas ini membuka kesempatan kepada tiap pelajar untuk mengembangkan diri jadi pelajar sukses nan inspiratif.

Tempatnya di mana?

>> Markasnya di Jalan Ngagel Mulyo IX no. 18 Surabaya; yang disebut RAPID (Rumah Pelajar Indonesia).

Yuk, capcus aja ke sana 🙂

Kuping Tebel Aja, Kamu Pakai Jilbab Itu Niatnya Apa

Setelah jadwal mengajarku berakhir, biasanya aku membuka diskusi bebas dengan murid-muridku. Ya, mereka boleh curhat tentang masalah apa saja; termasuk soal lopek-lopek, teman-teman mereka, pengajian, bahkan sharing soal pengalaman hidup, ciyeh.

Ulfiyah, salah satu muridku berkata, “Mbak, aku beli kerudung ini lho cuma 15,000…”

Jawabku, “Eh sumpah? Beli di mana, kok murah banget?” sambil mengamati kerudung instannya yang nggak terawang, chest-covered, simpel, ringan, plus modelnya cucok banget buat anak muda. Warnanya cokelat kalem lagi. Aaaww… langsung ngefans aku sama kerudung itu…

“Beli di temenku, Mbak…”

“Nitip po’o…”

“Lho… tapi nunggu temenku pulang ke Jombang.”

“Lha… ya suruhen pulang gih, ke Jombang. Terus aku tak beli lusinan. Buat koleksi sekalian jualan. Hahaha.”

“Tapi, tau nggak Mbak. Aku pakai kerudung ini tuh, gimana ya… Aku ntar disangkain L*II (salah satu Ormas Islam). Soalnya ada temenku yang ortunya ikut itu dan dia pakai kerudung model gini juga, Mbak. Padahal, kan aku N*…” kulihat dia menyincing (duh, Bahasa Indonesia-nya menyingkap) bagian tepi kerudung yang seharusnya menutup kedua bahunya. Dengan cepat, bagian itu kuturunkan lagi dan akhirnya menutup kedua bahunya. Kelihatan sekali Ulfiyah risih.

“Ulfi, gimana kalo aku yang masuk sekolahmu? Kamu kan tahu kalo aku juga pake kerudung panjang, tebel, gak terawang, dan menutup tubuh bagian atas sampai tengah.”

“Nggak enak, Mbak. Bagusan kaya tadi,” tapi tangannya kutahan supaya mempertahankan bentuk kerudungnya yang sekarang.

“Sekarang gini aja, Ulfi. Tujuanmu pake kerudung itu apa? Menutup aurat kan? Auratnya Muslimah dari mana sampai mana?”

“Semuanya; kecuali muka dan telapak tangan.” jawabnya tegas.

“Yaweslah. Udah, kupingmu dibikin tebel aja ya… PD aja. Satu lagi, dengan berkerudung seperti ini, kelihatan banget rapi dan cantiknya. Percaya deh sama aku.”

“Iyo yo, Mbak.” Ulfiyah pun melangkah pulang dengan senyuman.

Tentang Ayah

Beberapa hari yang lalu, ayah dari seorang teman dekatku meninggal. Bertebaranlah ucapan “Innalillahi wa inna ilaihi Rajiiun”; tak terkecuali dariku. Selain itu, ada beberapa teman yang ikut sedih, bahkan menangis; berempati pada temanku atas kepergian ayahnya. Aku? Biasa saja.

Kenapa? Karena aku merasa ayahku hilang.

Ayahku hanyalah seorang kurir di sebuah toko komputer di daerah Manyar, Surabaya. Tugasnya, mengantar komputer dan perangkatnya ke alamat para pemesan. Setiap hari, ia berangkat pukul 8 pagi, dengan sedikit omelan gara-gara kelamaan nulis catetan dagangannya, kunci motornya hilang, atau kucing kami yang mengeong-ngeong manja, atau bekal yang belum sepenuhnya tersedia karena Mama sibuk dengan murid-murid lesnya.

Setelah itu ia akan pulang jam 6 sore, membunyikan klakson motornya dan seseorang dari anak-anaknya (entah aku, Wahyu, atau Dila) akan mengambil tasnya dan membukakan pintu garasi yang berwarna hijau. Ketika Ayah sudah duduk di kursi di ruang tamu kami, dengan berbagai alasan, kami bertiga pasti sebisa mungkin menghindar dengan omelannya sepulang kerja.

Sebenarnya, bukan omelan. Tapi wejangan. Wejangan yang disampaikan dengan nada omelan, begitulah. Itulah sebabnya kami selalu nggak suka drama pulang kerja ini. Karena pasti isinya adalah ceramah tentang kami yang disalah-salahkan atau kelakuan kami yang belum bisa beradab. Lanjutannya pasti soal azab dan siksaan. Bahkan, sedikit sekali Ayah cerita tentang surga dan segala kenikmatannya. Aku heran, kenapa yang diingatnya selalu neraka tanpa perimbangan yang ideal dengan kenikmatan surga.

Ini adalah kata-kata khasnya, “Manusia itu ya, harus ditunjukkan yang buruknya, bejatnya dulu. Supaya dia ngerti, kalau itu dia melakukan itu, buruklah dirinya. Lek wes bejatkon mene gak dadi opo-opo!

Nah, terhadap prinsipnya yang begini ini aku paling nggak setuju dan membuat kupingku panas. Ya Allah… aku pingin lari aja dari rumah kalo gini terus tiap hari.

Ayah, adalah sosok yang koleris (tak mau dibantah) dan plegmatis (suka kesepian). Ya, dia adalah seorang yang penyendiri, kaku, saklek, tapi teguh dengan prinsipnya. Bagusnya, Ayah selalu memberikan ceramah pada seluruh anggota rumah; bahkan Uti pun kadang tak luput dari ceramahnya.

Meski begitu, aku kadang merasa nggak punya ayah. Karena Ayah selalu sibuk dengan dunianya sendiri; berdagang, setel musik dangdut keras-keras (tapi kadang kalo insyaf nyetel murottal sih), suka ngoleksi barang elektronik (karena terobsesi, sampe kardusnya numpuk di loteng kamar), cuek, dan sedikit materialistis.

Ayahku nggak pernah tau; apakah aku sedang sedih atau senang, sedang tertekan atau kesulitan, sedang sakit atau sehat-sehatnya, sedang punya utang atau nggak, sedang jatuh cinta atau jatuh dari tangga. Ayah nggak pernah tau hal seremeh itu. Ayah memang berusaha menjagaku -dengan ceramahnya- agar terhindar dari zina dan hal-hal buruk lainnya (termasuk ngotot menentukan jurusanku atau memilihkan baju untukku atau ngomel ketika aku pulang malam dan nggak telepon); tapi nggak pernah lebih dari itu. Hingga aku nggak tau, bentuk cinta seperti apa yang sebenarnya ia berikan padaku. Ketika aku jauh darinya pun, aku nggak pernah kangen padanya. Nggak pernah.

Hingga hari ini.

Aku berangkat jam 9.30, untuk mengajukan proposal ke beberapa perusahaan yang letaknya cukup berjauhan. Perjalanan hari ini, cuaca sangat panas, dan aku nggak bawa minum. Setelah berhenti di salah satu toko roti rekanan sponsorship di daerah Dharmahusada; aku pun membeli beberapa snack dan mampir juga di Indomaret untuk beli air mineral dan susu cokelat.

Setelah itu, aku harus muter lagi ke salah satu LBB yang ada di dekat SMA ku dulu, SMA kompleks. Alhamdulillah, ada kemudahan dan kemajuan di sini. Aku masih belum menyentuh snack-ku dan memutuskan untuk melaju ke daerah Bratang; dekat Manyar, dekat kantor ayahku. Sungguh, aku sudah nggak kuat melanjutkan perjalanan dan istirahat sementara di RAPID (Rumah Prestasi Pelajar Indonesia) di daerah Ngagel. Perjalanan yang cukup jauh itu membuatku dehidrasi dan kepanasan. Ya Allah… capek, ngantuk, kudu ambruk aja bawaannya.

Dua jam aku di sana; membaca buku, makan, dan ketiduran beberapa menit. Setelah kurasa istirahatku cukup; aku memutuskan pulang ke rumah. Mama baru datang dari toko besar langganannya buat kulakan buku; dan aku pun makan siang. Sengaja kuhemat uang hari ini.

Di tengah-tengah itu, tiba-tiba air mataku mengalir. Beginikah, rasanya menjadi seperti Ayah? Mengingat aku tadi muter-muter nyari alamat kantor, panas-panas, penuh debu, belum lagi dehidrasi, macet, dan ya begitulah. Balada jalanan ya…. Jelas, jika Ayah mungkin penat, lelah, dan segala keruwetan bercampur jadi satu dalam pikiran beliau.

Lalu kuingat, beberapa bulan yang lalu, Ayah pernah ditipu orang. Orang itu nggak membayar pesanannya seharga 8 juta. Akibatnya, Ayahlah yang harus mengganti itu semua. Alhamdulillah, Ayah nggak dipecat dari pekerjaannya. Aku sempat meledek beliau, “Ayah kurang sedekah tuh,” sambil ketawa-tawa. Ayah hanya diam saja dan tersenyum mendengar kritikanku. Tapi esoknya, di hari Minggu yang cerah, Ayah mengajakku ke suatu tempat. Beliau nggak bilang dari awal, ke mana kami akan pergi. Pada akhirnya, beliau pergi ke suatu masjid di Jalan Bogowonto; di dekat tempat kerja beliau pertama kali sebagai guru SMP. Ayah bersedekah satu juta rupiah. Aku terdiam seribu bahasa.

Dan kuingat lagi, momen di mana Ayah yang menggebu-gebu di siang bolong ketika pulang untuk istirahat, bilang padaku bahwa, “Kamu harus kuliah 3,5 tahun langsung lanjut S2. Ayah sudah sediakan dana buat kamu sampai kamu berhasil jadi dosen. Berapapun biayanya, sudah, jangan khawatir. Kamu fokus belajar. Bila perlu, kamu nggak usah ngelesi lagi.” Lagi-lagi aku hanya mengangguk takzim.

Atau, waktu Ayah bilang, “Besok-besok, kalo cari suami, yang pinter ya. Yang bisa ngayomi kamu, yang bisa melindungi kamu, bukan yang nginjek-nginjek orang perempuan. Kamu juga gitu, kalo jadi istri yang bener, jangan ngerepotin suami. Ngerti, Nisa?” dan esoknya mesti bilang, “Nisaaaa…. ayo Nduk, sini bantu-bantu Mama masak, kamu kan sebentar lagi mau jadi nganu…”

Dan anehnya, kata-kata “istri” nggak diucapkan Ayah. Aku juga nggak tau kenapa. Mungkinkah, Ayah selalu takut kehilangan putri pertamanya ini? Mungkinkah, Ayah belum siap melepaskan putrinya ini kepada lelaki yang akan menjadi suaminya? Mungkinkah Ayah khawatir? Ah, Ayah memang orang yang nggak bisa ditebak. Beda dengan Mama yang selalu tegas dan ngomel panjang lebar mengungkapkan perasaannya kalau aku nggak boleh a,b,c,d sampai z.

Beda dengan Ayah. Aslinya Ayah nggak tega. Aslinya, Ayah hanya berpura-pura menguatkan diri untuk membiarkan aku menjadi anak yang tegar, padahal Ayah nggak mampu melihat aku bersusah payah.

Begitu kan Yah?

Maafkan aku yang masih juga belum bisa memahami dirimu. Aku sayang Ayah. :’)

Nisa.

Tadabbur Surat Al-Baqarah Ayat 246-252: Thalut, Dawud, Jalut; Anugerah Kepemimpinan, Seleksi Ketaatan dan Runtuhnya Mitos Kezhaliman

Reblog dari sini, ditulis oleh Dr. Saiful Bahri, MA.

Nabi Musa As telah wafat. Tugas risalahnya telah purna dan pengorbanannya untuk Bani Israil juga berakhir. Ajal yang ditetapkan Allah tak dapat diundur atau diajukan. Meski malaikat maut yang akan menjemputnya sempat mengadu kepada Allah ketika penyamarannya sebagai manusia berujung reaksi keras Nabi Musa As yang mencolok matanya. Malaikat mengadu pada Tuhannya, “Ya Rabb, Engkau utus aku kepada hamba-Mu yang tak menginginkan kematian”.

Ternyata, penggalan kisah tersebut hanya salah paham yang disebabkan minimnya informasi yang sampai kepada Nabi Musa dan sang malaikat. Terbukti, ketika Allah menitahkan kembali untuk menawarkan kepada Nabi Musa supaya beliau meletakkan telapak tangannya di perut sapi liar (tsaur) dan setiap bulu akan dihitung satu tahun kehidupan. Namun, Sang Nabi menolak. Karena jika ajal sudah tiba, berarti perjumpaannya dengan kekasihnya akan menjadi nyata. Nabi Musa memilih berdoa agar dimatikan di tempat yang semakin dekat dengan tanah suci yang –dulu- pernah dijanjikan kepada Bani Israil, Palestina[1].

Sepeninggal Musa As, risalah kenabian tidaklah terhenti atau putus. Estafet tersebut berlanjut dengan diutusnya para nabi setelahnya. Ada yang berpendapat, Yusya’lah penerus pertama beliau, kemudian dilanjutkan oleh Samuel. Demikian tutur sebagian pakar tafsir. Termasuk di antaranya Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm yang juga menuangkan pendapatnya dalam bukunya Qashash al-Anbiyâ’.

Rupanya, penyesalan Bani Israil sangat mendalam karena penolakan mereka atas tanah Palestina yang pernah dijanjikan Allah kepada mereka. Hukuman Allah yang membuat mereka terkatung-katung pada akhirnya menjadikan sebagian mereka tersadar akan kelalaian berjihad dan keengganan berkorban untuk menjemput kemenangan yang sudah dipastikan Allah melalui janji-Nya sebagaimana disampaikan Musa As.

Hal inilah –mungkin- diantara sekian sebab yang menjadikan beberapa tokoh Bani Israil memberanikan diri menghadap Sang Nabi Penerus[2]untuk membicarakan mimpi-mimpi tanah suci dan perjuangan menuju ke sana. Keluar dari kehinaan, kenistaan dan keterpurukan yang Allah timpakan akibat maksiat dan penolakan berjihad di masa lampau.

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.” Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?” Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling. Kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zhalim.(QS. al-Baqarah [2]: 246)

Cerita singkat ini menggambarkan bahwa sifat pengecut tidak benar-benar hilang di tengah-tengah mereka. Ada kepribadian ganda menyelinap di antara rasa sesal sebagian mereka. Sebagian lagi sudah mulai nyaman dengan kondisi yang sebenarnya pun tak bisa disebut ideal. Terkatung-katung di tengah ketidakpastian dan berada di padang tîh dalam keadaan yang jauh dari nyaman.

Prediksi Sang Nabi menjadi kenyataan. Kedatangan sebagian tokoh Bani Israil tidaklah mewakili keseluruhan Bani Israil yang ada atau bahkan yang telah insaf sekali pun.  Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Dan benar! Meski kekhawatiran ini mereka jawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Nantinya, hanya sedikit saja di antara mereka yang memenuhi panggilan jihad dan perlawanan terhadap rezim jabbârin di Palestina, Jalut yang zhalim.

Pada ayat berikutnya, Allah menuturkan proses turunnya pertolongan-Nya dengan sangat meyakinkan dan alur yang menegangkan. Dimulai dari pemilihan Thalut sebagai raja mereka.

Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.(QS. al-Baqarah [2]: 247)

Sang Nabi Penerus menjelaskan bahwa Allah telah mengutus Thalut dan mengangkatnya sebagai raja bagi Bani Israil. Para tokoh tersebut terkejut. Sebagian di antara mereka mengira bahwa yang akan terpilih adalah salah seorang di antara mereka yang dibahasakan al-Quran dengan al-Mala’. Tapi, nyatanya yang muncul adalah figur yang unpredictable. Sosok yang sama sekali tidak diperkirakan oleh mereka sebelumnya. Bahkan nantinya, muncul resistensi yang cukup kuat.

Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”

Mereka mengira bahwa otoritas kekuasaan dan pemerintahan akan berada di antara mereka. Tapi, ternyata tidak. Penolakan mereka menurut ayat di atas berdasarkan dua hal:

  1. Kekuasaan dan pemerintahan lebih berhak dipegang oleh salah satu di antara mereka. Karena mereka merasa mewakili Bani Israi.l
  2. Thalut bukan figur yang menonjol kekayaan materinya yang mereka tuturkan dengan “al-Mâl

Dua hal tersebut dijawab langsung oleh Sang Nabi, “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”.

Kelebihan Thalut:

  1. al-Mushthafâ (pilihan Allah).
  2. Diberikan keluasan ilmu.
  3. Dianugerahi fisik yang kuat dan perkasa.

Kemudian standar materi sama sekali tidak dipakai oleh Allah. Di dalam ayat ini, Allah menggunakan dua redaksi yang berbeda yang saling menguatkan eksistensi kedua maknanya.

  1. Pertama, ba’atsa yang berarti mengutus/mengangkat (sebagai raja)
  2. Kedua, isthafâ yang berarti memilih (di antara akar katanya shafâ’– ishthifâ yang bermakna kemurnian)

Yang pertama menunjukkan al-Mab’uts adalah otoritas pengangkatan sebagai raja berasal dari Allah. Dia adalah anugerah Allah yang tak terbantahkan. Harus diterima dengan taat dan penuh ketundukan. Raja Thalut bukan dipilih manusia. Tidak pula direkomendasikan para malaikat. Bahkan tidak juga diusulkan oleh Nabi mereka. Atau muncul dari kalangan yang menonjol di Bani Israil. Tapi Thalut adalah pilihan Allah. Titah langit untuk bumi.

Yang kedua menunjukkan al-mushthafâ sebagai proses pemilihan dan kemurnian yang dihasilkan dari proses tersebut. Terbaik di antara orang-orang baik. Bagaikan madu yang disarikan melalui lebah dari saripati bunga-bunga. Maka pengangkatan Thalut oleh Allah sebagai raja tidak seperti menghadirkan makhluk lain –superpower– di tengah-tengah Bani Israil. Tetapi, ia adalah manusia biasa dan berada di tengah-tengah mereka. Allah justru ingin menegaskan proses pemilihan tersebut berjalan natural dengan bimbingan-Nya. Dia adalah yang terbaik di antara yang ada. Dan nantinya menjadi pembuka dan sebagai pendahuluan untuk memunculkan figur lainnya yang lebih baik lagi, yaitu Dawud muda yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai raja sekaligus Nabi bagi Bani Israil.

Sungguh lembut rekayasa Allah dalam memunculkan tokoh dan menganugerahi pemimpin yang diperlukan Bani Israil. Pemimpin yang diperlukan untuk mengeluarkan mereka dari kepengecutan. Mengangkat mereka dari kemalasan dan keengganan berkorban. Menarik kuat mereka dari kehinaan dan kenistaan akibat melanggar titah Tuhan. Pemimpin yang berwawasan dan berbadan kuat.

Sang Nabi Penerus melanjutkan kompetensi dan karakteristik kepemimpinan Thalut.

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya Tabut kepadamu. Di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. Tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.(QS. al-Baqarah [2]: 248)

Thalut diyakini sebagai figur yang dijanjikan mampu mengembalikan Tabut yang hilang dan dirampas dari mereka. Atau penafsiran kedua secara zhahir, Allah akan mengembalikan Tabut tersebut melalui malaikat yang membawanya.

Ibnu Katsir, juga para pakar tafsir klasik lainnya memuat beberapa riwayat mengenai bentuk fisik Tabut tersebut. Sebagian besar mendiskripsikannya berupa peti berbentuk kotak empat persegi panjang. Tapi, penulis –sengaja- tidak menghadirkan riwayat-riwayat tersebut atau analisa dari riwayat tersebut demi ringkasnya tadabbur.

Yang menarik justru kalimat setelah Tabut yang dituturkan dengan redaksi “فِيهِ سَكِينَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ” (di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu). Seolah Allah ingin menekankan makna Tabut tersebut benar-benar menjadi “pusaka” spirit dan pasokan mental bagi Bani Israil. Secara fisik, Tabut memuat peninggalan Musa dan Harun ‘Alaihimassalam.

Banyak pendapat mengungkapkan apa sesungguhnya Tabut tersebut. Sebagian menyatakan berisi Alwâh, lembaran-lembaran Kitab Taurat. Tetapi kata sakinah” lebih berdimensi ruh dan sipiritual. Bahwa Tabut tersebut adalah salah satu sumber spirit bagi Bani Israil. Ia ibarat sang saka merah putih di era perlawanan gerilyawan dan pejuang Indonesia melawan penjajahan Belanda atau Jepang.

Ia bagaikan seonggok besi tua berwujud becak di salah satu sudut rumah mewah di pelataran rumah megah seorang kaya raya. Ketika sang pemilik rumah bepergian, sang anak mencoba merapikan halaman dan menjual besi tua tersebut dengan tujuan merapikan taman dan pekarangan rumah. Ketika sang ayah kembali, ia terkejut karena besi tua tersebut telah hilang. Lalu ia memerintahkan anaknya untuk mencari becak tua sampai berhasil mendapatkannya kembali.

Sang anak pun terheran-heran, mengapa besi tua itu sangat berarti bagi ayahnya yang sangat kaya raya. Sang ayah dengan penuh penekanan bertutur bahwa ia dulunya adalah seorang tukang becak. Ia ingin menjelmakan becak tersebut sebagai Tabut bagi anak-anaknya yang akan memutar kembali kisah perjuangannya. Sebagai teladan dan buah tutur kekuasaan Allah terhadapnya.

Kira-kira demikianlah visualisasi Tabut. Agar terhadirkan di tengah Bani Israil kegigihan perjuangan Musa yang harus rela jauh dari keluarga aslinya. Besar di tengah rezim kezhaliman. Lalu melawan kezhaliman yang sumbernya juga adalah ayah angkatnya, Fir’aun. Setelah itu pun, Musa dengan sabarnya menyertai kaumnya dengan berbagai permintaan yang melampaui batas. Musa menyertai mereka saat Allah menghukum mereka di padang Tih.

Umat Islam pun saat ini bisa menghadirkan Tabut-tabut baru yang menjadi sarana datangnya sakinah. Tabut peninggalan Nabi Muhammad Saw itu bisa berupa mushaf-mushaf yang ada dalam genggaman kita. Dengan melihat mushaf yang kita pegang, memutar memori kita pada perjuangan Nabi Muhammad Saw saat menerima dan menyampaikan risalah kenabian-Nya.

Bagi sepasang suami istri, Tabut keluarga mereka bisa berupa cincin pernikahan yang disimpan. Saat usia pernikahan emas mereka, kotak kecil berisi cincin tersebut akan memutar kembali memori indah saat-saat mereka memadu cinta dan harmoni dalam ikatan suci yang dicatat malaikat-Nya.

Lalu, Allah mengisahkan kepemimpinan Thalut.

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 249)

Thalut meninggalkan Bani Israil yang enggan memenuhi panggilan jihad dan kewajiban yang Allah turunkan untuk mereka. Thalut pun penuh percaya diri dan menyampaikan ujian atau seleksi pertama berupa sungai. Thalut mengatakan, “Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali mengambil seciduk tangan, maka dia adalah pengikutku.” Kenyataan mengungkapkan bahwa mereka yang lolos ujian ini sangat sedikit.

Imam Qatadah menyebutkan jumlah mereka hanya empat ribu dari enam puluh atau tujuh puluh ribu pasukan. Dari pasukan yang sedikit itu muncul keraguan sebagian di antara mereka, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Tapi sebagian mereka menguatkan lagi, mengukuhkan kembali iman dan keyakinan mereka, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Golongan kecil itu disebut Allah sebagai “Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah.” Orang yang berkeyakinan akan berjumpa dengan Allah bukanlah mereka yang frustasi dengan kehidupan. Mereka tidaklah orang yang menyia-nyiakan anugerah kehidupan ini. Justru, mereka menegaskan pentingnya usaha untuk menjemput kemenangan yang dijanjikan Allah:

  1. Mengesampingkan apapun hasil perjuangan mereka. Jika menang di dunia, maka tugas mereka akan terus berlanjut untuk merekayasa kebaikan supaya tersebar dengan luas dan mudah. Jika mereka gugur sebagai syahid, maka takkan sia-sia. Justru Allah akan menanti mereka dengan derajat dan kedudukan mulia di sisi-Nya.
  2. Dalam perjuangan kuantitas memang perlu. Tapi, di atas semuanya yang menentukan adalah Allah. Maka saat ini, yang lebih diperlukan adalah kualitas dan meledakkan potensi kemenangan melalui ikhtiar dan usaha maksimal.

Alur cerita ini seolah menjadi tenang dengan penegasan, “Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” Tapi cerita berlanjut dengan ketegangan berikutnya.

Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa, “Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 250)

Doa tulus ini muncul dari kekuatan iman di saat kondisi realitas seolah mereka akan segera dikalahkan Jalut dengan segala mitos dan kuantitas tentaranya ataupun perlengkapan fisik mereka yang melebihi Bani Israil yang dibawa Thalut. Maka mereka pun dengan segala ketundukan memohon kesabaran, kekuatan pertahanan dan pertolongan atas orang-orang kafir.

Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan Daud membunuh Jalut. Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.(QS. al-Baqarah [2]: 251)

Dengan segala keangkuhan dan kesombongan, Jalut menantang Bani Israil untuk mengirim orang terbaiknya, tanding dengannya. Jalut pun menjanjikan pasukan dan kerajaan bagi siapa saja yang bisa mengalahkannya.

Jalut terpedaya oleh mitos yang dibuat-buat para penjilatnya. Benar, ia perkasa dan kuat dengan prestasi-prestasinya. Tetapi, ia lupa bahwa saat ia merendahkan orang lain dan menganggap dirinya paling kuasa, sejatinya pelan-pelan ia telah menggali kuburnya. Ia terlalu silau dengan popularitasnya. Ia terbius oleh angin puji-puji yang tak sekalipun menyinggung kekurangannya. Tak ada yang berani mengkritiknya. Tak ada yang berani melawan titahnya. Ia terbiasa mendengar paduan kata ketundukan. Telinganya selalu mendengar ketundukan padanya tanpa tahu apa motif ketundukan tersebut; loyalitas atau kemunafikan.

Tanpa diduga, seorang remaja muncul dari barisan Bani Israil yang barangkali berpikir berkali-kali untuk maju menandingi Jalut dengan segala mitosnya. Dawud muda maju dengan sebuah ketapel mungil di tangannya.

Ribuan pasang mata memandanginya tak percaya. Bocah inikah yang maju? Waraskah akal sehatnya? Ia akan menyerahkan nyawanya di tangan sang zhalim durjana. Sejenak suasana hening penuh tanda tanya.

Mari, visualisasikan kesombongan Jalut dengan tawa terbahak-bahak yang meledak sekaligus meremehkan Dawud kecil yang menurutnya bukan tandingannya. Bahkan jagoan mereka pun diragukan bisa menandingi Jalut. Apalagi Dawud. Apalagi bocah kecil itu tak bersenjata kecuali ketapel kecil di tangannya.

Tawa sombong dan angkuh itu segera terhenti. Kembali semua mata memandang. Mitos yang dibesar-besarkan itu tersungkur oleh sebiji batu kecil yang diayunkan Dawud muda.

Sang Zhalim itu lupa akhir kisah para pendahulunya. Namrud si angkuh terbunuh dengan seekor lalat yang Allah kirim memasuki tenggorokannya melalui hidungnya. Fir’aun si sombong lain yang mengaku tuhan tak berdaya diombang-ambingkan ombak Laut Merah. Ia mati tenggelam. Keduanya mati terhina. Bukan mati di tangan pendekar atau orang hebat. Tetapi mereka mati dengan cara terhinakan.

Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.

Dawud muda pun tidak instan menjelma raja. Tapi Allah menempanya untuk dijadikan pewaris kerajaan Thalut setelah ia wafat. Benar, setelah mengalahkan Jalut, ia menjelma sebagai pahlawan yang Allah angkat dari posisi sebelumnya yang tak dikenal kaumnya. Dawud muda sang penggembala kambing, seorang pemuda biasa.

Yang menarik dari redaksi ayat di atas adalah, “فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللَّهِ” (mereka mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah). Dan bisa jadi, kekalahan tersebut tanpa didahului pertumpahan darah. Karena Allah segera menjelaskan proses kekalahan mereka yaitu dengan “وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ” (dan Daud membunuh Jalut). Dawud membunuhnya dalam tanding dengan Jalut yang menantang Bani Israil dengan penuh keangkuhan dan kesombongan.

Allah meruntuhkan simbol kezhaliman dan keangkuhan tersebut. Allah memupuskan semua mitos yang dipalsukan. Dengan satu kematian saja, Jalut. Meskipun, tidak menutup kemungkinan proses itu terjadi di tengah kecamuk perang dan korban jiwa yang berjatuhan.

Tetapi penulis memilih penafsiran pertama. Bahwa Allah cukup mematikan simbol dan ruh kezhaliman tersebut melalui seorang anak muda dengan senjata seadanya. Itulah kekalahan yang baik. Kemenangan yang berkah. Kemenangan dengan mengalahkan yang bukan berarti membunuh dan menghancurkan. Kemenangan yang diraih dengan sportifitas yang tinggi meski diremehkan lawan. Kemenangan yang diraih dengan keberanian yang penuh optimisme meski sangat tidak diunggulkan. Kemenangan yang berpijak pada keyakinan akan janji dari Sang Pemberi kemenangan.

Dan itulah sunnah Allah. Akan selalu Dia kirimkan tokoh protagonis yang akan hentikan kezhaliman, pupuskan mimpi angkuh sang durjana, robohkan mitos yang dibesar-besarkan dengan omong kosong dan rekayasa yang didengung-dengungkan untuk menakut-nakuti hamba Allah yang menebar kebaikan. Karena jika tidak demikian, kerusakan akan meluas. Dan Allah tidak menyukai kerusakan di bumi-Nya.

Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus.(QS. al-Baqarah [2]: 252)

Kisah di atas bukanlah dongeng atau cerita fiksi buatan manusia. Tetapi kisah nyata yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai tanda kerasulan dan membuktikan kekuasaan Allah yang tiada batas. Beliau sampaikan kisah tersebut kepada kita untuk dipercayai sebagai spirit menjemput kemenangan yang dijanjikan Allah, di depan mata. Kemenangan itu dekat. Raihlah dengan ikhtiar dan taat.

Catatan Kaki:

[1] Lihat hadits Bukhari nomer 3407, riwayat Abu Hurairah. Imam Muslim dengan riwayat mirip dari Abu Hurairah (nomer 2372). Hadits yang sejenis juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya.

[2] Menurut kebanyakan pakar tafsir nabi yang dimaksud di sini adalah Samuel bin Bali bin Alqamah. (lihat dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Qashash al-Anbiya’ Ibnu Katsir)

Dr. Saiful Bahri, MA

Tentang Dr. Saiful Bahri, MA

Alumni Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir.

Pejuang Hari Ini

Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!— Umar bin Khattab RA

Wanita Tulang Punggung Keluarga

Ini repost dari blogku yang satunya. Jadi terharu bacanya.

Jadi, pas GN 2K13 lalu itu… para peserta disuruh buat bikin sobekan kertas kecil-kecil ukuran 4×6. Eh, yaa nggak kecil-kecil amat laah :3 Sebanyak 800 lembar, tapi dimasukin dalam 4 amplop yang berbeda. Awalnya sih udah dapet bocoran, itu kertas mau diapain.

>>EVALUASI DIRI<<

Kalo bicara evaluasi, jadi inget pertama kali jaman SMA kelas X -aku masih inget banget, nget, nget, pada hari ke-30, gimana aku dievaluasi sama anak-anak sekelas- jadi nangis-nangisan. Gak pake malu-maluan, well, somehow, itu caranya yang kurang tepat.

Okay, back to present. Entah kenapa, aku menunggu-nunggu saat sesi evaluasi diri ini. Tentunya, dengan mempergilirkan amplop-amplop yang sudah kita buat dan diisi kertas itu. Justru, itulah fungsi kertas. Kita bisa ngasih pesan apa saja (curhat, kritik, cerita, bahkan nembak! dan opini pedes sekalipun) tanpa nama. Yah, tujuannya memang menjaga objektivitas diri ya. Maklum, di kuliah ini, aku membuat diriku sedikit terbuka dengan berbagai penyesuaian. Yah, makna “sedikit” yang akhirnya bersamaan juga dengan “berbagai” ini memang nyata. Plis, aku besok-besok juga akan menghadapi banyak orang dan aku nggak mungkin kan menutup diri terus? Impossible -dibaca mirip tulisannya-!

Sayangnya, waktu itu gerimis datang menyapa -cieh- dan sesi lingkaran besar di lapangan pun batal dengan alasan keamanan dan keimanan. Padahal kalo dapet komen dari senior kan asyik-seru gimanaa gitu. Nope, nope, ini bukan modus. Ya, sok terkenal lah ya. Dapet komen dari senior. Itu berarti ngeksis. Akhirnya, kami terpecah, terbelah, dan terpisah! Aku dan beberapa kelompok dan beberapa senior mendapat tempat di mushala deket kamar cowok.

Kami mengular, membentuk ular-ularan duduknya *jadi ketularan gaya bahasa seorang temen*. Kemudian, amplop itu tergilir begitu saja. Begitu pula aku. Tiba-tiba di depanku berkeliaran amplop-amplop yang beberapa wajahnya kukenal dan beberapa wajahnya kulupa(kan). Kepada mereka yang kulupa(kan), aku hanya ingin sebisa mungkin memberikan pesan baik: Keep positive thinking. Yaa, biar yang baca adem, gitu kan? Biar yang baca itu ngerti, kalo masih ada yang peduli sama dia. Iyalah, katanya “We’re family”. Ya harus diterapkan dalam kenyataan dong.

Akhirnya, amplopku kembali. Aku mengudari apa isinya. Sebagian sudah kubaca, tapi gara-gara “Heee mbacanya di rumah aja. Lebih seru tauuk,” Trainerku berkata dan bersungut-sungut memintanya. Pasrah. Alhamdulillah, ternyata mereka juga berpesan yang baik padaku. Dan, tadaaa… 50% aku berhasil mengubah sejarah hidupku: pendiam. Hanya satu kertas yang mengatakan “Kamu pendiam ya?”. Hahaha, yeah, aku berhasil jadi anak cerewet. Jadi inget kata Trainer, “Nis, maaf ya. Aku telah mengubahmu dari sosok alim menjadi alay…” sambil mukanya nahan ketawa.

I think, it’s not a problem. As long as I keep my faith, Mbak.

Dan satu lagi komentar yang berbunyi begini, “Wanita tangguh tulang punggung keluarga…”. Komentarku: ini nih yang agak lebay. Ya, aku memang kerja part-time, ngelesi anak SMP sama SMA. Bagi anak kuliahan, yaa mungkin itu sesuatu yang amazing. Padahal aku yo biasa ae. Cari duit sendiri, mbiayai apa-apa sendiri, dan ujungnya dianggap mandiri. Walaupun aku sebenernya bersyukur dapat stigma yang seperti itu. Tapinya lagi, entahlah aku kok justru merasa terlalu mengeluh dengan keadaan.

Kalo boleh jujur, aku memang berusaha mandiri. Terlepas dari otomasi dan doktrin ayahku yang dengan ajaibnya memberikanku kekuatan lebih. Secara pemikiran positif, apa yang dilakukan ayahku adalah mendorongku untuk berperilaku mandiri. Meskipun harus membuatku lelah, tapi intinya adalah aku tahu gimana rasanya kerja. Gimana rasanya nerima gaji hasil jerih payah tangan dan pikiran kita. Gimana susahnya membangun komunikasi serta bermasyarakat. Sementara ini, hasilnya memang untuk diriku sendiri. Paling nggak, aku bisa beli buku-buku tanpa diomeli ayah, atau ngerepotin mama. Bisa beli kerudung warna-warni, rok, girl stuffs lainnya tanpa dikomentari ini itu. Bisa ikut kegiatan ini itu yang juga perlu uang. Dan yang paling penting: beli buku semau gue. Well, it’s truly amazing! Bolehlah, aku memandang dengan hal-hal positif. Karena semuanya akan menjadi lebih indah.

Di sini, aku hanya merefleksi diriku sendiri. Mungkin juga mengklarifikasi bahwa, aku memang kerja. Tapi, kalau untuk predikat tulang punggung keluarga, itu belum. Bagiku, predikat tersebut sangat agung. Hanya orang-orang yang sangar lah yang bisa melakukannya. Seperti kedua orang tuaku. Beliau berdua adalah tulang punggung keluarga dan sampai sekarang belum tergantikan. Tapi, terima kasih kawan -siapapun yang telah menulisnya- karena telah mendoakanku menjadi wanita tangguh yang akan menjadi tulang punggung keluarga, di posisi terhormat itu.

Up ↑