Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

April 2016

I want to go as far as I can,
Because I want to prove that I will always come back to you after the farthest journey I had.

And How Those Two Unite

Once upon a time…

begitulah cerita ala-ala princess dimulai. Tetapi beberapa hari terakhir, banyak cerita princess di sekitarku; entah via sosmed atau di dunia maya. Yap, pernikahan; di mana seorang wanita menyamar sehari menjadi seorang princess nan cantik jelita, didampingi oleh pangeran berkuda putihnya. *keliatan banget kebanyakan nonton film Disney dan masih termakan ideologi latennya*

nah, daripada #baper doang karena masih belum waktunya, aku memilih untuk (lagi-lagi) penasaran bagaimana para pasangan ini “menyatu”. Ada tiga cerita; dan ketiganya membuatku kagum sekaligus takjub menyaksikan Allah menyatukan ketiga mempelai ini.

cerita pertama; tentang pernikahan yang tidak direncanakan sama sekali; tapi tiba-tiba terlaksana dengan penuh barakah dan hikmat karena didasarkan atas keyakinan mutlak akan takdirNya. Ia adalah sepupu salah satu temanku; kami pernah menjalin kontak, tapi tidak lama. Si akhwat ini “tiba-tiba” saja di-SMS oleh seseorang yang ternyata sudah lama stalking ; meminangnya; dan mempertimbangkan matang-matang keputusannya. Setelah shalat istikhoroh dan berkonsultasi dengan keluarga, si akhwat setuju dan mereka pun menikah.

cerita kedua; ini tentang pernikahan kakak sahabatku. Dulunya, sang kakak pernah beberapa mengalami kisah getir soal hubungan dekatnya dengan seseorang. Tetapi, setelah ia fokuskan untuk melakukan hal baik, ridho, dan bersabar atas apa yang digariskan; akhirnya,  ia menemukan seorang bidadari jelita, hafidzhah, dan putri salah seorang ulama. Santun dan halus akhlaknya; cerdas; dan berpendidikan tinggi. Keluarganya pun terhormat. Lantas mereka menikah dengan penuh keharuan, penuh kejutan, serta barakah.

cerita ketiga; tentang pernikahan yang diidam-idamkan. Mereka berdua adalah teman sekelasku ketika SD. Entah bagaimana, mereka dekat semenjak satu tahun yang lalu. Keduanya bertemu setiap hari, saling berkabar, chatting, dan dating. Kali ini, terkesan agak sedikit terpaksa; meskipun mereka mengidamkannya. Tetapi, sepertinya ada yang kurang.

cerita yang pertama dan kedua; mungkin terasa sakit di awal; tetapi manis di akhirnya. kedua pasangan itu saling menemukan setelah perjalanan panjang mereka dengan dirinya masing-masing yang mungkin penuh luka, penuh tangis, tapi juga tawa. Lantas mereka belajar; dan memahami bahwa hati akan kembali pada pemiliknya; sejauh apapun ia pergi; sejauh apapun ia dipisahkan. Maka bagi mereka, lebih baik menyendiri hingga gilirannya terpenuhi; datang sebagai kejutan yang indah, saat Allah menilai mereka siap.

cerita yang ketiga; mungkin terasa indah di awal; tetapi agak hambar di akhirnya. Pernikahan idaman itu terlaksana; hanya saja tidak semua orang berbahagia. Dari mana aku tahu? Kupikir itu tidak perlu diceritakan, tetapi begitulah. Keduanya bertemu; tetapi akhirnya tidak menjadi kejutan yang ditunggu-tunggu.

Ah, begitulah, kenapa Disney tidak memberikan jangka waktu yang terlalu lama bagi sang pangeran dan putri untuk menikah; sejak perkenalannya. Karena waktu perkenalan yang terlalu lama, justru membuat kisah setelah happy forever ever after menjadi sedikit hambar dan tidak menarik. Dan, Disney tidak pernah sengaja menampilkan sang pangeran dan putri berada terlalu lama dalam ketidakpastian sesi perkenalan. Karena hidup justru lebih tampak indah dengan hadirnya kejutan spontan.

Protected: Untitled #2111

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Can I?

Can I say to the wind that…
Somehow, I miss the time we were laughing on the same table
While we were also sharing pizza,
And iced tea?
Can I say to the star that…
Somehow, I miss the time we were watching Dicaprio’s movie
While we were also sharing potato chips,
And random talks?
Can I say to the moon that…
Somehow, I miss the time we were doing our assignments
While we were also sharing a cup of hot meatballs,
And mindless jokes?

Can I say that to you?
Or can I say that you already knew?
Or can I just…
Blow them all out at once?

Power Rangers

Nope, ini bukan tentang power ranger yang di tipi-tipi itu… bukan, tapi ini adalah tentang para sahabat yang telah menemukanku di tengah belantara kesepian dan ke-jembek-an hidup. Somehow, aku bersyukur ketemu dengan mereka; karena toh dengan mereka aku juga semakin dekat dengan mimpi-mimpiku… praise to Allah.

There they are! ^_^

Sudah banyak momen yang kita lewati bersama. Yuk, kenalan dulu.
Yang pake baju merah itu Riska. Anak ini mengajarkan padaku kalo apapun bisa dihadapi dengan tertawa. Dia mengajariku bagaimana menertawakan hidup. Tentu, ada saat-saat kita perlu menangis; tapi ternyata menyeimbangkan tangis dan tawa adalah obat paling manjur untuk melatih dan mengontrol kepekaan emosi. I learned a lot about this with her. Dia seorang guru les privat group di rumahnya, punya banyak mantan plus cerita-cerita lucu sampe tragisnya, plus punya banyak teman.

Yang pake kerudung ungu itu Fitria. Paling sering dibully karena kedodollannya plus kepikunannya (short-term memory). Kupanggil pitli. Tapi prestasinya soal debat dan organisasi, jangan ditanyakan lagi. Kecerdasan emosi dan sosialnya bikin anak ini susah dicari soalnya sering jadi amoeba di berbagai tempat (maksudku aktif berorganisasi). Penyuka warna hijau. Aku belajar cara ngomong yang baik juga darinya. Kita pernah pergi bareng ke luar negeri  (for the first time) karena keterima di program beasiswa yang sama tahun 2015 lalu.

Yang pake kerudung hitam itu Nella. Keliatannya aja polos, pendiem. Kalo udah kenal Nella, aduh… dia cocok jadi komikus, itu lho yang tampil di stand up comedy. Nella punya cerita keluarga yang sering banget bikin aku sadar. Membuatku berpikir ulang soal apa sih pentingnya keluarga, gimana sih caranya berkomunikasi dengan keluarga. Ceritanya sering membuatku terharu dan menemukan momen “oh iya ya, bener juga”. Meskipun akademiknya tidak terlalu menonjol, tapi aku tahu dia adalah orang yang paling siap kalau harus menikah duluan. #eh #baper.

Yak, yang kerudung biru, itu Annisa. Itu aku. Cewek single yang belakangan ini suka traveling ke dalam negeri untuk senang-senang dan luar negeri untuk bertugas (presentasi paper, pelatihan kepemimpinan). Aku sebenarnya pendiem dan cuek; tapi pertemuan dengan mereka membuatku sadar bahwa hidupku ternyata bisa lebih indah dan berwarna. Banyak hal yang bisa kudapat dengan mendengarkan cerita orang lain, banyak pelajaran juga yang bisa aku pelajari; mulai dari cara berkomunikasi sampai cara menjadi istri. Intinya, aku menemukan katarsis yang tepat untuk mengembangkan diriku. Thanks to them. Love you dearie…. ♥♥♥

Keisengan Mahasiswa Cultural Studies

Jadi ini merupakan bentuk implikasi dari keruwetanku dalam mengerjakan proposal skripsi yang padahal cuma 3 – 4 halaman itu.

Jika kau tanya apa bidangku, konsentrasiku adalah cultural studies. Terdengar baru? Ya. Sangat baru di Indonesia. Tapi mungkin kalau aku bilang Sastra Inggris, jawaban itu mungkin terlalu mainstream dan kau akan jatuh meremehkanku, menganggapku berkuliah “pada tempat kuliah yang mengajariku seperti tempat kursus bahasa Inggris biasa”. Tepat sekali, aku memilih jawaban Cultural Studies karena ku ingin kau tak meremehkanku.

Lalu, apa yang aku pelajari? Secara umum, aku hanya belajar 3 hal; identitas, ideologi, dan budaya. Selalu berputar-putar dalam kerangka itu. Tapi entah mengapa para akademisi cultural studies macam Rousseau, Hall, Foucault, atau Heidegger, atau bahkan Marx terlalu meruwetkannya lewat berbagai macam cara. Mereka adalah para konseptor handal. Kami sangat pandai mempersoalkan hal-hal yang bahkan sangat sederhana dan pragmatis menjadi sangat kompleks.

Jadi jangan heran jika kita sedang asyik-asyiknya nonton film Civil War, aku akan iseng bertanya, kok bisa sih cuma si Natasya masuk tim superheronya si Cap? Sutradaranya pingin mengklaim isu feminisme kah? Atau, eh ada gak ya superhero yang gay? Dan mungkin kau akan menganggapku berisik atau bahkan menoleh dengan tatapan tak paham nan kosong; lalu memintaku untuk diam saja sepanjang film diputar.

Atau, misalnya kita sedang santai di kafe langganan kita yang interiornya, atmosfirnya, masakannya, namanya, hingga lokasinya sangat “instagram”-able, macam Arung Senja (contoh aja sih, bukan promosi merk, tapi kafe ini contoh yang sempurna). Ng, maksudku, kalau kita foto di tempat itu dan kemudian diunggah di instagram, banyak yang akan memencet tombol ♥ di foto kita. Jelas, aku akan bertanya, apakah gaya hidup kelas menengah sekarang pindah ke kafe? Apa filosofi kopi untuk kaum kelas menengah ini? Benarkah di era postmodern ini kelas-kelas sosial memang sudah tidak lagi tersekat-sekat hanya karena kaum kaya dan papa berkumpul di satu tempat?

Atau bahkan bagaimana pilihan tempat toilet yang bisa mengekspresikan bentuk nasionalismemu; melalui discourse analysis dan dekonstruksi kata. Ya, isu toilet di Jepang menjadi bahasanku dalam tugas mata kuliah CCCS (contemporary critical and cultural studies). Tapi kurasa aku tidak membawa bukti dan bahasan yang cukup dalam, ah tapi biarlah dosenku yang menilai.

Begitulah; setelah kuamati, dan kupikir dengan kritis, segala bentuk keisengan ini sebenarnya bersumber dari pemikiran Derrida yang dekonstruktif. Apa itu? Segalanya adalah ketidakstabilan. Dan ketidakstabilan ini juga berlaku pada setiap argumen serta interpretasi atau meaning-making process yang kita lakukan. Jadi, jika aku menginterpretasi A adalah A, aku benar. Jika kau mengartikan A adalah B, kau juga benar. Atau jika si Z menginterpretasikan A adalah dirinya, dia juga benar. Kau setuju? Tidak juga tidak apa-apa.

Tapi, keburukan dari pemikiran Derrida ini (yang menjadi pangkal dari posmodernisme) adalah relativitas yang tidak terbatas; yang bisa saja membenarkan semua pendapat serta interpretasi sehingga tidak ada satu pijakan pasti atau kebenaran mutlak. Siapa saja bisa benar, asal didukung dengan argumentasi logis yang kuat dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Tapi, sejauh mana kita bisa mengukur bahwa argumentasi itu logis dan kuat? Sejauh mana itu bisa dipertanggungjawabkan? Sejujurnya, belum ada alat ukur yang pas; sementara ini hermeneutik masih sahih digunakan untuk mengukur kekuatan akal ini.

Hm, aku tak bisa membayangkan bagaimana jika mahasiswa-mahasiswa jurusan hukum mempelajari ini; bisa-bisa jurusan mereka ditutup karena menganut paham yang terlalu relatif ini. Ah iya, besok-besok aku ingin mengkritik Derrida saja kalau sudah Ph.D. Dia tidak melihat akibatnya di masa kini, orang-orang jadi gampang curiga dengan yang lain; isu-isu rasialisme, xenofobia, dan terkait identitas lainnya justru semakin berkembang. Memang benar jika ratusan tahun yang lalu Derrida mengusulkan ini untuk melakukan kritik sosial karena media belum secanggih sekarang. Tapi semenjak teknologi berkembang dengan sangat cepat, dan segalanya menjadi transparan, teori ini justru bisa memicu perang; karena setiap orang bisa bersikeras dengan interpretasi dan argumennya. Mereka yang berambisi kuat menguasai dunia (kupikir ini hanya terjadi di film Power Ranger), menggunakan pola pikir seperti ini untuk mengacak-acak berbagai negara melalui pembenaran tindakannya melakukan penyerangan di negara-negara itu.

Contohnya, tragedi bom di Hiroshima. Itu sebenarnya tindak lanjut dari sebuah proyek akademisi untuk mengetahui efektivitas dan kekuatan bom. Konyol bukan? Dengan memanfaatkan konteks kondisi AS dan Jepang yang sedang perang, tindakan pengeboman itu bisa jadi benar. Ah, si Derrida ini.

Rupanya, keisengan ini dampaknya serius juga ya? Sudahlah, aku akan melanjutkan menulis proposal skripsiku yang temanya belum sedahsyat skripsinya Derrida. Doakan aku lulus semester depan dengan segala keisengan yang kuciptakan ini.

Up ↑