Seorang senior yang cukup jauh angkatannya dariku pernah berkata, ada beberapa lembar kertas dalam hidup kita yang ditulis oleh selain diri kita.
Berawal dari sebuah acara reuni kecil-kecilan yang tiba-tiba berubah menjadi sebuah masalah pelik para pemilik hati yang sudah dewasa; aku mulai mempelajari liku takdir dariNya. Aku (dan dua orang temanku), dihadapkan pada model, konsep, dan praktik yang berbeda dari sebuah wahana hidup. Maaf kalau bahasanya metaforis, karena niatnya memang disamarkan. Tapi yang jelas, kami -khususnya aku- belajar banyak hal dari para senior ini.
Mulai dari konsep hidup yang sepertinya hanya hitam putih (dari sudut pandang duniaku). Apakah ada konsep hidup yang abu-abu, warna-warni, bahkan sewarna saja? Ada! Kadang, para seniorku ini mengolok-olokku sebagai bocah polos yang belum mengenal dunia sesungguhnya. Mungkin dia pikir aku masih berada dalam dunia percaturan yang papannya saja hitam putih. Hei, apakah mereka lupa, bahwa dunia remaja dan dewasa muda adalah dunia yang paling penuh warna? Ah, para kakak ini. Konsep hidupku benar-benar diuji secara valid dengan kehadiran mereka.
Aku merasa, Allah mendatangkan mereka untuk mendapatkan cerita-cerita soal ekonomi, politik, sosial, dan lebih-lebih masalah hati, cinta, pernikahan, proses untuk menjalin sebuah keluarga. Lucunya, kadang-kadang mereka sendiri koleng dengan pembenaran-pembenaran yang terjadi dan duarr! timbullah turbulensi dalam diri mereka. Lalu semuanya kelabakan cari solusinya. Owalah, kakak-kakakku! Kesimpulanku; orang dewasa lebih aneh daripada anak-anak. 🙂
Tentang itulah, mereka mulai menuliskan kisahnya di hatiku. Ada seorang kakak yang benar-benar akhirnya menjadi ujian hati (dan ujian prinsip–oke, besok aku benar-benar ada ujian akhir semester 3). Prinsipku tentang pernikahan dipertanyakan; dibandingkan dengan prinsipnya. Kita diskusi secara terbuka dan saling memberikan argumentasi. Tidak, bukan mencari siapa yang benar dan salah; tetapi kuniatkan agar aku bisa menguatkan prinsip pribadi yang nantinya akan mewarnai langkahku ke depan. Pegang prinsip itu bukan suatu hal yang mudah; tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. 🙂
Menariknya; kenapa pernikahan? Konsep cinta adalah hal yang tak pernah selesai dibicarakan; sama dengan manusia itu sendiri. Apa yang dikatakan Om Pramoedya Ananta Toer itu benar; pembahasan manusia adalah yang paling kompleks, runyam, mendebarkan, dan indah pada akhirnya entah bagaimanapun caranya. Sama dengan konsep hati. Begitu dahsyat kuasaNya untuk mengatur urusan ini. Oh, sebentar, izinkan aku berdoa, Yaa muqollibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diiniik.
Allah, tetapkanlah hati ini pada agamamu.
Jadi, Dia menghadirkan masalah yang sama seperti dua tahun lalu (masih tentang hati); hanya saja templatenya berbeda. Ada perbedaan kondisi dan aku, aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Di sinilah pelajarannya. Tidak terjatuh ke lubang yang sama dua kali kadang kala terasa berat; tetapi jika kita tidak berusaha menghindari lubang itu, kita tidak akan pernah bertumbuh. Aku -berusaha sekuat mungkin- untuk menghindarinya. Perang dengan perasaan sendiri adalah hal yang sementara ini tersulit yang kulakukan. Kontrol emosi dan diri itu adalah nilai penting yang kudapat kali ini. Semoga aku lulus ujian dengan baik.
Tapi di balik semua itu, ada takdirNya yang bekerja. Dia tak pernah tidur dan akan selalu menjadi pengawas aku dan kita semua. Dia melihat, bagaimana aku harus menghindari terjatuh lagi dan ber-azzam untuk menguatkan hati dengan namaNya.
Allah, lindungilah aku dari perasaan yang membahayakan dan menyesatkan. Cukuplah aku menerima lembaran-lembaran yang ditulis oleh orang lain itu dengan hati yang lapang. Aku yakin, lembaran itu juga pasti akan kubaca sebagai referensi di masa mendatang.
Semoga, aku akan kuat saat menghadapi turbulensi seperti kakak-kakak seniorku. Semoga aku masih memegang janji Allah bahwa pertolongan itu selalu ada dan dekat; sedekat hembusan nafas dan urat nadi kita.