Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

December 2014

Lembaran yang Ditulis oleh Selain Diri Kita

Seorang senior yang cukup jauh angkatannya dariku pernah berkata, ada beberapa lembar kertas dalam hidup kita yang ditulis oleh selain diri kita.

Berawal dari sebuah acara reuni kecil-kecilan yang tiba-tiba berubah menjadi sebuah masalah pelik para pemilik hati yang sudah dewasa; aku mulai mempelajari liku takdir dariNya. Aku (dan dua orang temanku), dihadapkan pada model, konsep, dan praktik yang berbeda dari sebuah wahana hidup. Maaf kalau bahasanya metaforis, karena niatnya memang disamarkan. Tapi yang jelas, kami -khususnya aku- belajar banyak hal dari para senior ini.

Mulai dari konsep hidup yang sepertinya hanya hitam putih (dari sudut pandang duniaku). Apakah ada konsep hidup yang abu-abu, warna-warni, bahkan sewarna saja? Ada! Kadang, para seniorku ini mengolok-olokku sebagai bocah polos yang belum mengenal dunia sesungguhnya. Mungkin dia pikir aku masih berada dalam dunia percaturan yang papannya saja hitam putih. Hei, apakah mereka lupa, bahwa dunia remaja dan dewasa muda adalah dunia yang paling penuh warna? Ah, para kakak ini. Konsep hidupku benar-benar diuji secara valid dengan kehadiran mereka.

Aku merasa, Allah mendatangkan mereka untuk mendapatkan cerita-cerita soal ekonomi, politik, sosial, dan lebih-lebih masalah hati, cinta, pernikahan, proses untuk menjalin sebuah keluarga. Lucunya, kadang-kadang mereka sendiri koleng dengan pembenaran-pembenaran yang terjadi dan duarr! timbullah turbulensi dalam diri mereka. Lalu semuanya kelabakan cari solusinya. Owalah, kakak-kakakku!  Kesimpulanku; orang dewasa lebih aneh daripada anak-anak. 🙂

Tentang itulah, mereka mulai menuliskan kisahnya di hatiku. Ada seorang kakak yang benar-benar akhirnya menjadi ujian hati (dan ujian prinsip–oke, besok aku benar-benar ada ujian akhir semester 3). Prinsipku tentang pernikahan dipertanyakan; dibandingkan dengan prinsipnya. Kita diskusi secara terbuka dan saling memberikan argumentasi. Tidak, bukan mencari siapa yang benar dan salah; tetapi kuniatkan agar aku bisa menguatkan prinsip pribadi yang nantinya akan mewarnai langkahku ke depan. Pegang prinsip itu bukan suatu hal yang mudah; tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. 🙂

Menariknya; kenapa pernikahan? Konsep cinta adalah hal yang tak pernah selesai dibicarakan; sama dengan manusia itu sendiri. Apa yang dikatakan Om Pramoedya Ananta Toer itu benar; pembahasan manusia adalah yang paling kompleks, runyam, mendebarkan, dan indah pada akhirnya entah bagaimanapun caranya. Sama dengan konsep hati. Begitu dahsyat kuasaNya untuk mengatur urusan ini. Oh, sebentar, izinkan aku berdoa, Yaa muqollibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diiniik.

Allah, tetapkanlah hati ini pada agamamu.

Jadi, Dia menghadirkan masalah yang sama seperti dua tahun lalu (masih tentang hati); hanya saja templatenya berbeda. Ada perbedaan kondisi dan aku, aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Di sinilah pelajarannya. Tidak terjatuh ke lubang yang sama dua kali kadang kala terasa berat; tetapi jika kita tidak berusaha menghindari lubang itu, kita tidak akan pernah bertumbuh. Aku -berusaha sekuat mungkin- untuk menghindarinya. Perang dengan perasaan sendiri adalah hal yang sementara ini tersulit yang kulakukan. Kontrol emosi dan diri itu adalah nilai penting yang kudapat kali ini. Semoga aku lulus ujian dengan baik.

Tapi di balik semua itu, ada takdirNya yang bekerja. Dia tak pernah tidur dan akan selalu menjadi pengawas aku dan kita semua. Dia melihat, bagaimana aku harus menghindari terjatuh lagi dan ber-azzam untuk menguatkan hati dengan namaNya.

Allah, lindungilah aku dari perasaan yang membahayakan dan menyesatkan. Cukuplah aku menerima lembaran-lembaran yang ditulis oleh orang lain itu dengan hati yang lapang. Aku yakin, lembaran itu juga pasti akan kubaca sebagai referensi di masa mendatang.

Semoga, aku akan kuat saat menghadapi turbulensi seperti kakak-kakak seniorku. Semoga aku masih memegang janji Allah bahwa pertolongan itu selalu ada dan dekat; sedekat hembusan nafas dan urat nadi kita.

How He Means to Me

He is like a laptop. I like writing something; mostly about a report or stories. And the laptop is always with me writing my thought.

He is also like chocolate. He is sweet. His skin is also literally like a chocolate; he has dark brown chocolate. But, his thoughts are sweet. The most important is, he likes to make me getting my mood.

He’s like a book. He’s smart and he even got a perfect GPA in his college. He opens my mind ’bout everything.

He’s music in my life. I enjoy our conversations so much. There’s always new topic and new knowledge he talks to me.

And he’s always being a pray of me. Because only God, Allah Almighty who can make us unite as a family.

So, I read a book and then write something in my laptop. I also eat some chocolate and listen to the music. I begin and end those simultaneous activities with a pray to God. That’s how he means to me.

In response to The Daily Post’s writing prompt: “The Language of Things.”

A Wonderful Conversation

Sabtu – Minggu ini, aku dikasih kesempatan buat hidup mandiri bareng satu-satunya adek cowokku (Baca: Ortu dan Uti lagi liburan). Daripada nganggur, hari ini ada kesempatan buat jalan-jalan ke toko buku langganan; Togamas Pucang. Niatnya mau cari buku pelajaran titipan muridku; tapi ternyata belum beredar. So, I was planning to buy one of thousands book here, for me. =)

Ya, pada dasarnya sih, mata cewek di mana-mana sama; kalo liat barang yang disuka, kemungkinan terbesarnya adalah dia bakalan beli tanpa ada alasan yang jelas. Padahal, nggak butuh-butuh juga. Bedanya, kebanyakan cewek mungkin bakal tergila-gila sama produk clothing (sebangsa Zara, Armani) ato make up ato aksesoris yang lagi diskonan. Kalo aku, buku. Ya, buku. Menurutku, buku lebih awet daripada produk clothing dan makanan. Okelah, cukup di sini ke mana-mananya #kebiasaan di luar topik.

Voila! Setelah muter-muter seluruh belantika toko Togamas; ada sebuah buku yang sangat menarik perhatianku. Buku itu cuma satu; dan harganya masih muat di kantong. Buku klasik sih, terbit perdananya aja taun 1848. Yup, zaman penjajahan Belanda. Buku ini dan pengarangnya selalu disebut di setiap pelajaran Sejarah dari SD hingga SMA; bahkan mungkin kuliah umum. Pengarangnya melegenda, mengisahkan tentang aksinya menentang kawan-kawan seperjuangannya sendiri di Negeri Belanda. Bahkan, “Buku ini yang membunuh kolonialisme” begitu kata Pram.

Max Havelaar. Multatuli.

Dari kelas 3 SD hingga 3 SMA; aku begitu hapal menjawab pertanyaan dari guru-guruku tentang judul buku ini; tapi nggak pernah tau ada apa di dalamnya.

Guruku, “Buku apa yang dikarang Multatuli?”
Aku, “Max Havelaar.”

Begitulah, ketika aku masih SD. Hanya ditanya tentang nama pengarang dan judul bukunya. Cukup.

Guruku, “Mengapa Belanda seperti kebakaran jenggot dengan buku ini?”
Aku, “Karena Multatuli mengkritik pemerintah Belanda yang menjajah di Indonesia dengan sangat kejam.”

Sotoy ya? Hahaha. Tau dari mana kalo isi buku itu mengkritik Belanda oleh warga Belanda sendiri? Iya, gara-gara aku baca buku Sejarah. Kan di semua buku hampir selalu disebutkan seperti itu. Tapi bahkan, aku belum tahu jenis buku itu. Esaikah? Laporankah? Biografikah? Novel? Roman?

2014-12-13 20.44.16

Sekarang, Max Havelaar sudah ada di tanganku. Aku akan membacanya sampai habis. Tidak, pasti lebih dari sekedar membaca. Aku ingin menganalisisnya dari sudut pandang cultural studies and literary criticism. Hingga ketika aku mampu bercerita, apa yang terjadi dengan si Douwes Dekker hingga ia menulis buku setajam ini.

Sedikit berkhayal sih, sempat terlintas begini…

Nanti, kalo anak-anakku sudah menerima pelajaran Sejarah tentang penjajahan Belanda; dan mereka tanya, “Bunda, buku Max Havelaar itu isinya apa?”

Akan kusodorkan bukunya sembari cerita, “Buku inilah salah satu penyebab mengapa Indonesia bisa melangkah sejauh ini, Nak.”

A Raisin in The Sun

By: Langston Hughes

What happens to a dream deferred?

Does it dry up
Like a raisin in the sun?
Or fester like a sore–
And then run?
Does it stink like rotten meat?
Or crust and sugar over–
Like a syrupy sweet?

Maybe it just sags
Like a heavy load.

Or does it expole?

Flowers Air

I breath from the fragrant air
Nothing left, but in my deepest despair

Did I ever give up

to entire my life?

Then I notice a flower in the air
Flies slowly
in front of my browny
eyes. Notice that. Really?

So my heart becomes a garden of
Flowers, flowers in the air
The air has filled it
With no space for everything,
Except for the Almighty God

Does one know
the burden space has been growing
prettier?

Or,

Does one consciously
forget

for what I have done of the flowers?

Up ↑