Liburan mau ke mana yaa?
Terbersitlah ratusan pilihan tempat wisata sekaligus puluhan teman untuk dijadikan partner perjalanan. Liburan kuliah (yang masih kuisi dengan kerjaan freelance di sana-sini) semester ini aku ingin yang anti-mainstream. Berhubung beberapa hari lalu aku diajak ke Pulau Seribu oleh salah seorang alumni dan batal karena ombaknya lagi galau tapi semangat masih menggebu-gebu, aku pun membulatkan tekad sekali lagi supaya bisa traveling. Gimana caranya lah, pokoknya keluar dari keruwetan Surabaya.
Aku pun mengontak Shabrina; sohibku yang masih setia dengan kawanan Pecinta Alamnya sejak SMA. She’ll be a great partner to explore the journey. Awalnya kita mau mengajak beberapa ukhti untuk ikut serta, biar nggak berdua aja. Tapi, banyak yang belum bisa karena ada beberapa kendala. Shab juga ngajak anak-anak Pala; tapi ternyata mereka sudah pada punya agenda lain. Okefix, kami pun pergi berdua. Dua cewek single bakal pergi dan tersesat entah di mana.
Awalnya mau ke Pulau Mandangin karena ada senior yang KKN di sana. Tapi kok… cuacanya galau banget ya. Madura 11-12 dengan Surabaya perkara hujan; dan lihat laporan cuaca juga lagi jelek banget gelombangnya. Meskipun begitu, tanggal nggak berubah; tetep 19 Januari. Nah, karena kami memutuskan cari tempat anti-mainstream; di tengah kebuntuan pun, kami nekad mencari alternatif wisata pantai yang aman dengan cuaca yang nggak galau. Via google.
Keputusan kami jatuh di Pantai Pelang, Trenggalek. Setelah googling sana-sini soal transportasi, penginapan, dan aksesibilitas, bismillah kami ketemu di Terminal Bungurasih. FYI, aku dan Shabrina terakhir ketemu 2 tahun yang lalu; karena dia kuliah di UGM dan kalau liburan nggak pernah ketemu. Wuah, bus patas Harapan Jaya jadi rame gara-gara kami kopdaran sambil traveling-an begini. Kami pun baru mengerem cekikian dalam bus waktu ada salah satu pedagang asongan yang menegur, “Sssstt…”. Banyak banget kami ceritakan setelah 2 tahun nggak ketemu, mengingat dulu kami adalah tong sampah masing-masing waktu SMA.
Pendek kata, sampailah kami di Terminal Tulungagung. Ah, PHP tuh bus. Kata kondekturnya; bus bakal berhenti di Trenggalek; tapi kami harus oper (dan bayar) lagi dari Tulungagung ke Trenggalek. Untunglah perjalanan nggak lama; cuma 1 jam. Begitu sampai di terminal kecilnya kota Trenggalek, kami menemukan bus terakhir ke Desa Lorok; tempat Pantai Pelang berada. Sebenarnya, ada beberapa pantai yang terkenal di Trenggalek; ada Prigi dan Pasir Putih. Tapi, yah karena alasan anti-mainstream; maka kami nggak mau ke sana. 🙂
Kesan pertamaku waktu melihat kota Trenggalek adalah, “MashaAllah, kota ini mirip Madinah ya…” (padahal belum pernah ke Madinah, semoga dimudahkan ke sana. Hehe…). Nah, menurut cerita dari Shirah Nabawiyah serta orang-orang yang berangkat haji dan umroh, Madinah juga dikelilingi bukit-bukit dan gunung. That’s the same type with Trenggalek. Sejauh mata memandang, bukit-bukit di sekitar Trenggalek seperti membentuk tembok pelindung. Keren! Salut sama pemerintahnya juga; karena merawat kotanya dengan paduan industri dan agraris yang ciamik.
Ongkos bus kecil yang ditarik di awal membuat kami mengerutkan kening. “Dua orang lima puluh ribu, Mbak…” begitu kata kondekturnya. Lah, akan sejauh dan seberat apa medannya? Di internet, kami nggak menemukan informasi soal jalan yang akan kami tempuh. Hm… let’s enjoy the show!
Subhanallah… ternyata untuk menuju Pantai Pelang, kami harus melewati bukit-bukit yang mengitari kota Trenggalek ini. Jalurnya naik-turun berkelok-kelok; persis seperti waktu aku ke Bromo. Hanya saja, ketinggiannya tak seberapa dibandingkan Bromo. Kanan-kiri kami penuh dengan pinus, padi yang baru saja disemaikan, tebu, kelapa, dan cemara. Shabrina mendecak-decak kagum dan mengomentari jenis-jenis tanah (FYI, dia anak jurusan mikrobiologi) di sepanjang perjalanan kami ke Desa Lorok. “Great, bisa buat bahan penelitian nih. Hehe,” kata Shab.
Dua setengah jam berlalu dan karena kami masih bingung harus turun mana; supir bus menurunkan kami di Penginapan Purnama. Dari internet, memang sering disebutkan Penginapan Purnama untuk wisatawan yang butuh tempat singgah; tapi hanya sekedar nama, nggak ada nomor telepon, nggak ada foto, dan nggak ada website. Tapi karena baru pertama kali ke sini, informasi itu jelas nggak cukup buat kami. Bermodal nekad dan tawakkaltu ‘alallah, ajaibnya kami seperti diarahkan di penginapan ini. “Waah, Shab! Ini kan penginapan Purnama yang diceritain di internet!”
“Iyaa… alhamdulillah yaa… orang-orang itu baik sama kita…”
Kepada Pak Edi (pemilik penginapan), kami pun menyewa satu kamar yang harganya cuma Rp 40.000, 00 semalam. Kamarnya bersih, ada kipas angin, 1 kasur besar yang cukup untuk 2 orang, kaca, meja, dan stop kontak; tapi kamar mandi luar. Berasa jadi anak kos. Eh, disediakan galon juga di luar. Yap, sebagai traveler, kami nggak butuh macem-macem kok; butuh tempat tidur dan ruangan untuk menyimpan barang-barang kami. Ada sih, hotel Ratu, tapi sepertinya tarifnya di atas seratus ribu per malam. Not reccommended for budget traveler.
Kami juga tanya-tanya Pak Edi soal Pantai Pelang; berapa ojeknya, berapa tiket masuknya, dan lain-lain. Beliau menawarkan ojek untuk mengantar kami melihat matahari terbit esok jam 5. Kami setuju untuk pergi ke Pantai Pelang ba’da Subuh. Malam itu, kami makan di warung sebelah penginapan; harganya ternyata nggak beda jauh dengan di Surabaya. Setelah makan, kami lagi-lagi sharing tentang studi, hobi, dan yaa topik yang jadi favorit semua orang; kehidupan serius di masa depan dengan seseorang yang kita cintai.
==============================================================
Tadaaa… ba’da Subuh, berangkat juga kami ke sana. Tapi ternyata, yang mengantarkan kami adalah Pak Edi, pemilik penginapan Purnama. Mungkin karena beliau kasihan melihat kami; sudah perginya nggak pake cowok, jauh-jauh dari Surabaya, muka masih imut-imut dan polos pula :D. Entah, begitu orang-orang desa Lorok melihat kami, mereka merasa sedikit aneh karena kami berani pergi jauh hanya berdua; well mungkin ide soal feminisme belum sepenuhnya tersebar di sini. Tapi, ini jadi semacam berkah buat kami; karena mereka memperlakukan kami dengan baik; ada semacam kekhawatiran dan simpati dari mereka saat dua anak gadis melancong tanpa ditemani para pria.
Serunya berangkat jam 5 pagi adalah sepi dan masuknya gratis (karena loket karcis baru buka jam 8; sementara jam 9 kami mau pulang :p). Itu artinya kami bisa mengeksplor sesuka hati kami. Lagipula, kalau sepi, kami bisa lebih bebas, nggak dilihat-lihat orang. Mau lepas sepatu dan kaus kaki, oke. Mau foto gila-gilaan, selfie, sok jaim, apapun oke. Cuma kami harus selalu mawas diri karena kalau ada apa-apa, kami hanya mengandalkan Allah semata.
Titik pandang pertama adalah bukit yang dilengkapi gardu pandang untuk melihat jauh ke Samudera Hindia (ya, Pantai Pelang adalah bagian dari pantai Selatan Pulau Jawa). Seberang sana sudah Australia. MashaAllah… indahnya pantai ini. Pantai yang di sekelilingnya ada bukit dan tebing-tebing tinggi; dengan ombak yang meliuk-liuk. Laut di Pantai Selatan terkenal dengan ombaknya yang ganas dan bisa membuat kapal karam; apalagi di musim-musim tertentu. Terbukti, di depan kami, ada kapal tongkang pemuat batu bara dari Kalimantan terbalik di bibir pantai. “Kena ombaknya sini, Mbak…” kata Pak Edi yang masih jadi tour guide kami. Hantaman ombak di dinding kapal membentuk suara berdebum dan menyisakan aroma mistis. “Kalo ombak lagi ala, wah bisa nyampai 2-3 meter gelombangnya. Serem lah. Kalau ini ya lagi surut.”
Setelah puas foto-foto dari gardu pandang, kami turun menuju kawasan air terjun di dekat pantai. Ini yang unik; di sebelah sana ada pantai, nggak jauh ternyata ada air terjun setinggi 15 meter. Airnya segar sekali; arusnya juga nggak terlalu kuat. Biasanya orang-orang banyak yang mandi di sana. Tapi, sekali lagi… Karena kami hanya bertiga, kami nggak mau ngambil resiko yang aneh-aneh. Di sinilah Pak Edi harus balik untuk mengantar anak-anaknya sekolah dan akan menjemput kami jam 9. Yap, kini kami benar-benar berdua. Hanya ada Shab, aku, dan Allah. Sempat ada rasa takut; tapi ya… dengan begini tempat kami bergantung hanya satu, Allah.
Mulailah kami melepas sepatu dan kaus kaki. Kecek-kecek di air terjun dengan riang gembira. Foto-foto. Kami juga merasakan aliran air yang meluncur dari atas. Shabrina berburu objek mikrobiologi, aku mencoba memanjat ke batu-batu kapur yang agak tinggi. Saat-saat begini, kami merutuki diri sendiri, kenapa kita nggak pinjem DSLR siih…
Puas, kami bertolak ke bibir pantai. Kami harus menyeberangi sungai kecil yang merupakan muara air payau dan laut yang bertemu di Pantai Pelang. Pasirnya cokelat dan ada serbuk hitam yang merupakan sisa dari batu bara. Di sini pula kami menemukan lidah pasir di bawah air. Oiya… ada juga batu-batu besar yang menjadi rumah burung camar laut berwarna putih seperti di Tanah Lot, Bali. Komplit deh di Pelang ini. Cuma… ombaknya memang terkesan mengerikan. Indah, eksotis, tapi menyeramkan dan tak terduga. Kami nggak berani dekat-dekat ke air karena ombak yang datang -meskipun sebetis- bergelombang dan berarus kuat. Banyak tanda yang mengingatkan agar pengunjung nggak mandi di laut. Mungkin karena inilah Pelang kurang favorit dibandingkan Pasir Putih atau Prigi.
Kelaparan dan belum ada warung yang buka, kami pun duduk ngelempoh di pasir menghadap laut. Kepiting-kepiting kecil berwarna emas berjalan-jalan di sekitar kami. Entah kenapa ada perasaan was-was di sini; nggak nyaman; atau itu hanya perasaanku saja gara-gara mendengar suara hantaman ombak dengan kapal tongkang yang karam. Aku pun kembali berzikir agar hati tetep tenang. Anehnya, ombak dan angin juga ikut tenang seiring tenangnya hati yang mendengungkan asmaNya. Tapi ombak berdebur lagi saat hati ini juga mulai bergejolak kembali. Astaghfirullah… ada apa…? Semoga bukan pertanda buruk. Hm… fenomena aneh macam apa ini.
Di Jogja, pantai Selatan terkenal dengan cerita Nyi Roro Kidulnya yang akan menyeret orang-orang berbaju hijau jika datang ke sana. Wew. Aku baru sadar kalau baju yang kupakai warna hijau. Ya Allah… lindungilah kami. Hanya Engkau pelindung kami. Aku nggak pingin percaya mitos; tapi aku juga nggak pingin kami berdua mengalami hal-hal yang buruk di sini. Niat kami kan cuma wisata, nggak macem-macem. Akhirnya, setelah roti kami habis, kami segera keluar dari pantai.
Jam 8… orang-orang mulai berdatangan. Kami segera kembali berpakaian rapi dan menunggu Pak Edi menjemput kami. Awalnya, kami mau diajak ke penangkaran penyu, tapi karena hari semakin siang dan nggak pingin kemaleman sampai Surabaya (terlebih karena kami memutuskan pulang dengan bus non-patas tarif biasa), inshaAllah akan ada kesempatan berikutnya.
Yap, setelah membayar sewap penginapan; Pak Edi memberikan kami ongkos gratis untuk ojek. Nooo… kami nggak tega karena dia sudah seperti ayah buat kami berdua. Beliau sudah rela nganterin kami pagi-pagi, jadi guide, dan jemput kami. Nggak pantes lah kalau kami diberi gratis untuk semua itu.
Kami makan dulu sebelum pulang ke Surabaya di warung sebelah. Setelah makan dengan tenang dan puas, alhamdulillah, bus ke terminal Trenggalek di depan mata, alias nggak perlu waktu lama buat nunggu lagi. Perjalanan berjam-jam pun sudah menunggu. Surabaya sudah di depan mata.