Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

January 2015

This is it! The Konspirasi Taberu!

Kami berempat berasal dari SMA yang sama, SMAN 5 Surabaya. Jadi akrab karena proyeknya si Bas, MuslimWaY yang disusul dengan acara mini reuni tea and steak party tanggal 1 Januari 2015 lalu. Tanggal 25 Januari kemarin, kami on-air di radio Suara Muslim Surabaya, ngobras abis soal MuslimWaY. Prinsip kami, Islamic brotherhood is number one. 😀

Kegiatan utama MuslimWaY adalah menebarkan kebaikan melalui Islamic stuffs dan Islamic values. Contohnya seperti jilbab syar’i, pin, buku dzikir pagi dan petang, dan berbagai benda lainnya untuk diberikan secara gratis kepada masyarakat. Kami juga mempropagandakan sekaligus mengenalkan Islam yang lebih ramah dan membumi kepada masyarakat. Islam harusnya dikenal sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin yang menembus batas golongan-golongan tertentu.

Kalau mau tahu lebih lanjut soal MuslimWaY; bisa cek di fanpage kami, http://www.facebook.com/muslimwaysby. Yuk, sama-sama tebarkan kebaikan untuk meraih ridhoNya. 

Me! Cooking Time!

Masa liburan yang begitu lama membuatku cukup galau. Ada sesuatu yang selama ini nggak pernah tersentuh ketika kuliah dan segala lika-likunya menyapa: dapur! Kalo lagi sibuk-sibuknya kuliah, cucian dan beberes rumah bisa kulakukan. Nah, urusan dapur? Wah, segala keribetan sudah membayangi dan akhirnya aku selalu kalah dengan pikiran ribet ini. Merasa sudah punya penghasilan sendiri, nggak pake lama, beli sana beli sini. *hedon*. Apalagi sejak the genk Konspirasi Taberu sering kumpul bicara proyek MuslimWAY (dan proyek hati); bahkan sebulan bisa nonton 2 x plus makan di luar lebih dari 10 x. Coba kalikan sendiri kalau tiap kali nongkrong meeting habisnya 40.000-50.000. Wew! Surabaya masih metropolitan, Bung! Yah, mending dipakai yang lain lah ya… uangnya. Ditabung, buat persiapan nikah dan beli rumah. 😀

Ada satu lagi, tahun ini aku akan menginjak usia 20 tahun… which means… people say, I’m reaching the door of adultery and marriage. MashaAllah ya…. perasaan baru kemarin aku di-Perisai sama Mbak-Mas Smala; lah kok tahun ini udah mau kepala 2 aja. Hihihihi. Yaa… sudah saatnyalah dikurangi main-mainnya; rencanakan kehidupan mau seperti apa; kuasai keterampilan dasar ibu rumah tangga; belajar sabar dan syukur; belajar manajemen diri dan keluarga; dan yang paling penting belajar masak! Yak, materi-materi komunitas To Be Wonderful Wife sudah melekat di kepala. Yak, ini jadi ke mana-mana; padahal intinya adalah bagaimana aku bisa termotivasi belajar memasak sedini mungkin.

Maka, suatu siang, aku pun berkreasi dengan nasi goreng spesial; plus bikin camilan pisang keju cokelat. Yum-yum! *maaf, fotonya gabisa diupload di sini. Serta beberapa hari ini jadi tukang masak untuk orang-orang di rumah. Starts small and grows bigger 🙂 It’s really amazing time to be a chef for a while. 

Tapi, ada yang lebih penting lagi kenapa aku harus bisa memasak. Waktu itu ada salah seorang teman di Facebook yang posting soal meraih surga dari dapur. Beliau sedang ikut suaminya kuliah di UK (mashaAllah… ini negara impiankuuh. Semoga bisa menyusul). Nah, hadits-hadits pilihan inilah yang menjadi motivasi terbesar beliau untuk menjadi ibu yang berkualitas dalam menyediakan nutrisi bagi keluarganya. 

Rasulullah bersabda,

“Makanan yang disediakan oleh istri kepada suaminya adalah lebih baik dari istri itu mengerjakan haji dan umrah.
(HR. Anas bin Malik)

Rasulullah bersabda,

“Sekali suami minum air yang disediakan oleh istrinya adalah lebih baik dari (sang istri) berpuasa setahun.”

Rasulullah bersabda,

“Saat istri menyiapkan makan pagi dan malam, maka pahala mengalir melalui jari-jemarinya.”

Rasulullah bersabda,

“Bila seorang wanita mulai menyiapkan makanan dan memasak dengan mengucapkan Bismillah, maka Allah SWT akan memberikan berkah pada nafkah mereka di dalam rumah tersebut.”

Di postingan tersebut, beliau juga menambahkan; jika dalam setiap masakan yang dimasaknya, selalu ada dzikir dan doa agar makanannya diberkahi Allah sehingga menjadi sumber energi yang positif bagi mereka. Nah, begitulah seharusnya, bukan? Ya, aku belajar menjadi seorang yang akan menyiapkan nutrisi terbaik untuk keluargaku. 

Pelang Beach: An Extended Friendship

Liburan mau ke mana yaa?

Terbersitlah ratusan pilihan tempat wisata sekaligus puluhan teman untuk dijadikan partner perjalanan. Liburan kuliah (yang masih kuisi dengan kerjaan freelance di sana-sini) semester ini aku ingin yang anti-mainstream. Berhubung beberapa hari lalu aku diajak ke Pulau Seribu oleh salah seorang alumni dan batal karena ombaknya lagi galau tapi semangat masih menggebu-gebu, aku pun membulatkan tekad sekali lagi supaya bisa traveling. Gimana caranya lah, pokoknya keluar dari keruwetan Surabaya.

Aku pun mengontak Shabrina; sohibku yang masih setia dengan kawanan Pecinta Alamnya sejak SMA. She’ll be a great partner to explore the journey. Awalnya kita mau mengajak beberapa ukhti untuk ikut serta, biar nggak berdua aja. Tapi, banyak yang belum bisa karena ada beberapa kendala. Shab juga ngajak anak-anak Pala; tapi ternyata mereka sudah pada punya agenda lain. Okefix, kami pun pergi berdua. Dua cewek single bakal pergi dan tersesat entah di mana. 

Awalnya mau ke Pulau Mandangin karena ada senior yang KKN di sana. Tapi kok… cuacanya galau banget ya. Madura 11-12 dengan Surabaya perkara hujan; dan lihat laporan cuaca juga lagi jelek banget gelombangnya. Meskipun begitu, tanggal nggak berubah; tetep 19 Januari. Nah, karena kami memutuskan cari tempat anti-mainstream; di tengah kebuntuan pun, kami nekad mencari alternatif wisata pantai yang aman dengan cuaca yang nggak galau. Via google. 

Keputusan kami jatuh di Pantai Pelang, Trenggalek. Setelah googling sana-sini soal transportasi, penginapan, dan aksesibilitas, bismillah kami ketemu di Terminal Bungurasih. FYI, aku dan Shabrina terakhir ketemu 2 tahun yang lalu; karena dia kuliah di UGM dan kalau liburan nggak pernah ketemu. Wuah, bus patas Harapan Jaya jadi rame gara-gara kami kopdaran sambil traveling-an begini. Kami pun baru mengerem cekikian dalam bus waktu ada salah satu pedagang asongan yang menegur, “Sssstt…”. Banyak banget kami ceritakan setelah 2 tahun nggak ketemu, mengingat dulu kami adalah tong sampah masing-masing waktu SMA.

Pendek kata, sampailah kami di Terminal Tulungagung. Ah, PHP tuh bus. Kata kondekturnya; bus bakal berhenti di Trenggalek; tapi kami harus oper (dan bayar) lagi dari Tulungagung ke Trenggalek. Untunglah perjalanan nggak lama; cuma 1 jam. Begitu sampai di terminal kecilnya kota Trenggalek, kami menemukan bus terakhir ke Desa Lorok; tempat Pantai Pelang berada. Sebenarnya, ada beberapa pantai yang terkenal di Trenggalek; ada Prigi dan Pasir Putih. Tapi, yah karena alasan anti-mainstream; maka kami nggak mau ke sana. 🙂

Kesan pertamaku waktu melihat kota Trenggalek adalah, “MashaAllah, kota ini mirip Madinah ya…” (padahal belum pernah ke Madinah, semoga dimudahkan ke sana. Hehe…). Nah, menurut cerita dari Shirah Nabawiyah serta orang-orang yang berangkat haji dan umroh, Madinah juga dikelilingi bukit-bukit dan gunung. That’s the same type with Trenggalek. Sejauh mata memandang, bukit-bukit di sekitar Trenggalek seperti membentuk tembok pelindung. Keren! Salut sama pemerintahnya juga; karena merawat kotanya dengan paduan industri dan agraris yang ciamik. 

Ongkos bus kecil yang ditarik di awal membuat kami mengerutkan kening. “Dua orang lima puluh ribu, Mbak…” begitu kata kondekturnya. Lah, akan sejauh dan seberat apa medannya? Di internet, kami nggak menemukan informasi soal jalan yang akan kami tempuh. Hm… let’s enjoy the show! 

Subhanallah… ternyata untuk menuju Pantai Pelang, kami harus melewati bukit-bukit yang mengitari kota Trenggalek ini. Jalurnya naik-turun berkelok-kelok; persis seperti waktu aku ke Bromo. Hanya saja, ketinggiannya tak seberapa dibandingkan Bromo. Kanan-kiri kami penuh dengan pinus, padi yang baru saja disemaikan, tebu, kelapa, dan cemara. Shabrina mendecak-decak kagum dan mengomentari jenis-jenis tanah (FYI, dia anak jurusan mikrobiologi) di sepanjang perjalanan kami ke Desa Lorok. “Great, bisa buat bahan penelitian nih. Hehe,” kata Shab. 

Dua setengah jam berlalu dan karena kami masih bingung harus turun mana; supir bus menurunkan kami di Penginapan Purnama. Dari internet, memang sering disebutkan Penginapan Purnama untuk wisatawan yang butuh tempat singgah; tapi hanya sekedar nama, nggak ada nomor telepon, nggak ada foto, dan nggak ada website. Tapi karena baru pertama kali ke sini, informasi itu jelas nggak cukup buat kami. Bermodal nekad dan tawakkaltu ‘alallah, ajaibnya kami seperti diarahkan di penginapan ini. “Waah, Shab! Ini kan penginapan Purnama yang diceritain di internet!”

“Iyaa… alhamdulillah yaa… orang-orang itu baik sama kita…”

Kepada Pak Edi (pemilik penginapan), kami pun menyewa satu kamar yang harganya cuma Rp 40.000, 00 semalam. Kamarnya bersih, ada kipas angin, 1 kasur besar yang cukup untuk 2 orang, kaca, meja, dan stop kontak; tapi kamar mandi luar. Berasa jadi anak kos. Eh, disediakan galon juga di luar. Yap, sebagai traveler, kami nggak butuh macem-macem kok; butuh tempat tidur dan ruangan untuk menyimpan barang-barang kami. Ada sih, hotel Ratu, tapi sepertinya tarifnya di atas seratus ribu per malam. Not reccommended for budget traveler.

Kami juga tanya-tanya Pak Edi soal Pantai Pelang; berapa ojeknya, berapa tiket masuknya, dan lain-lain. Beliau menawarkan ojek untuk mengantar kami melihat matahari terbit esok jam 5. Kami setuju untuk pergi ke Pantai Pelang ba’da Subuh. Malam itu, kami makan di warung sebelah penginapan; harganya ternyata nggak beda jauh dengan di Surabaya. Setelah makan, kami lagi-lagi sharing tentang studi, hobi, dan yaa topik yang jadi favorit semua orang; kehidupan serius di masa depan dengan seseorang yang kita cintai. 

==============================================================

Tadaaa… ba’da Subuh, berangkat juga kami ke sana. Tapi ternyata, yang mengantarkan kami adalah Pak Edi, pemilik penginapan Purnama. Mungkin karena beliau kasihan melihat kami; sudah perginya nggak pake cowok, jauh-jauh dari Surabaya, muka masih imut-imut dan polos pula :D. Entah, begitu orang-orang desa Lorok melihat kami, mereka merasa sedikit aneh karena kami berani pergi jauh hanya berdua; well mungkin ide soal feminisme belum sepenuhnya tersebar di sini. Tapi, ini jadi semacam berkah buat kami; karena mereka memperlakukan kami dengan baik; ada semacam kekhawatiran dan simpati dari mereka saat dua anak gadis melancong tanpa ditemani para pria. 

Serunya berangkat jam 5 pagi adalah sepi dan masuknya gratis (karena loket karcis baru buka jam 8; sementara jam 9 kami mau pulang :p). Itu artinya kami bisa mengeksplor sesuka hati kami. Lagipula, kalau sepi, kami bisa lebih bebas, nggak dilihat-lihat orang. Mau lepas sepatu dan kaus kaki, oke. Mau foto gila-gilaan, selfie, sok jaim, apapun oke. Cuma kami harus selalu mawas diri karena kalau ada apa-apa, kami hanya mengandalkan Allah semata. 

Titik pandang pertama adalah bukit yang dilengkapi gardu pandang untuk melihat jauh ke Samudera Hindia (ya, Pantai Pelang adalah bagian dari pantai Selatan Pulau Jawa). Seberang sana sudah Australia. MashaAllah… indahnya pantai ini. Pantai yang di sekelilingnya ada bukit dan tebing-tebing tinggi; dengan ombak yang meliuk-liuk. Laut di Pantai Selatan terkenal dengan ombaknya yang ganas dan bisa membuat kapal karam; apalagi di musim-musim tertentu. Terbukti, di depan kami, ada kapal tongkang pemuat batu bara dari Kalimantan terbalik di bibir pantai. “Kena ombaknya sini, Mbak…” kata Pak Edi yang masih jadi tour guide kami. Hantaman ombak di dinding kapal membentuk suara berdebum dan menyisakan aroma mistis. “Kalo ombak lagi ala, wah bisa nyampai 2-3 meter gelombangnya. Serem lah. Kalau ini ya lagi surut.”

Setelah puas foto-foto dari gardu pandang, kami turun menuju kawasan air terjun di dekat pantai. Ini yang unik; di sebelah sana ada pantai, nggak jauh ternyata ada air terjun setinggi 15 meter. Airnya segar sekali; arusnya juga nggak terlalu kuat. Biasanya orang-orang banyak yang mandi di sana. Tapi, sekali lagi… Karena kami hanya bertiga, kami nggak mau ngambil resiko yang aneh-aneh. Di sinilah Pak Edi harus balik untuk mengantar anak-anaknya sekolah dan akan menjemput kami jam 9. Yap, kini kami benar-benar berdua. Hanya ada Shab, aku, dan Allah. Sempat ada rasa takut; tapi ya… dengan begini tempat kami bergantung hanya satu, Allah.

Mulailah kami melepas sepatu dan kaus kaki. Kecek-kecek di air terjun dengan riang gembira. Foto-foto. Kami juga merasakan aliran air yang meluncur dari atas. Shabrina berburu objek mikrobiologi, aku mencoba memanjat ke batu-batu kapur yang agak tinggi. Saat-saat begini, kami merutuki diri sendiri, kenapa kita nggak pinjem DSLR siih… 

Puas, kami bertolak ke bibir pantai. Kami harus menyeberangi sungai kecil yang merupakan muara air payau dan laut yang bertemu di Pantai Pelang. Pasirnya cokelat dan ada serbuk hitam yang merupakan sisa dari batu bara. Di sini pula kami menemukan lidah pasir di bawah air. Oiya… ada juga batu-batu besar yang menjadi rumah burung camar laut berwarna putih seperti di Tanah Lot, Bali. Komplit deh di Pelang ini. Cuma… ombaknya memang terkesan mengerikan. Indah, eksotis, tapi menyeramkan dan tak terduga. Kami nggak berani dekat-dekat ke air karena ombak yang datang -meskipun sebetis- bergelombang dan berarus kuat. Banyak tanda yang mengingatkan agar pengunjung nggak mandi di laut. Mungkin karena inilah Pelang kurang favorit dibandingkan Pasir Putih atau Prigi. 

Kelaparan dan belum ada warung yang buka, kami pun duduk ngelempoh di pasir menghadap laut. Kepiting-kepiting kecil berwarna emas berjalan-jalan di sekitar kami. Entah kenapa ada perasaan was-was di sini; nggak nyaman; atau itu hanya perasaanku saja gara-gara mendengar suara hantaman ombak dengan kapal tongkang yang karam. Aku pun kembali berzikir agar hati tetep tenang. Anehnya, ombak dan angin juga ikut tenang seiring tenangnya hati yang mendengungkan asmaNya. Tapi ombak berdebur lagi saat hati ini juga mulai bergejolak kembali. Astaghfirullah… ada apa…? Semoga bukan pertanda buruk. Hm… fenomena aneh macam apa ini. 

Di Jogja, pantai Selatan terkenal dengan cerita Nyi Roro Kidulnya yang akan menyeret orang-orang berbaju hijau jika datang ke sana. Wew. Aku baru sadar kalau baju yang kupakai warna hijau. Ya Allah… lindungilah kami. Hanya Engkau pelindung kami. Aku nggak pingin percaya mitos; tapi aku juga nggak pingin kami berdua mengalami hal-hal yang buruk di sini. Niat kami kan cuma wisata, nggak macem-macem. Akhirnya, setelah roti kami habis, kami segera keluar dari pantai. 

Jam 8… orang-orang mulai berdatangan. Kami segera kembali berpakaian rapi dan menunggu Pak Edi menjemput kami. Awalnya, kami mau diajak ke penangkaran penyu, tapi karena hari semakin siang dan nggak pingin kemaleman sampai Surabaya (terlebih karena kami memutuskan pulang dengan bus non-patas tarif biasa), inshaAllah akan ada kesempatan berikutnya.

Yap, setelah membayar sewap penginapan; Pak Edi memberikan kami ongkos gratis untuk ojek. Nooo… kami nggak tega karena dia sudah seperti ayah buat kami berdua. Beliau sudah rela nganterin kami pagi-pagi, jadi guide, dan jemput kami. Nggak pantes lah kalau kami diberi gratis untuk semua itu.

Kami makan dulu sebelum pulang ke Surabaya di warung sebelah. Setelah makan dengan tenang dan puas, alhamdulillah, bus ke terminal Trenggalek di depan mata, alias nggak perlu waktu lama buat nunggu lagi. Perjalanan berjam-jam pun sudah menunggu. Surabaya sudah di depan mata.

Allah Knows the Complete Puzzle

Have you ever felt that Allah makes you not doing what do you plan; or makes you not getting what do you want? Simply, it is put by Allah in this verse:

Today, I planned to go to an International Higher Education Exhibition at Sheraton Hotel at 3 p.m. with one of my students. I came to her house at 1 p.m. to teach her English as usual. But then, she just stayed lazily in a chair while watching TV. I asked her softly to do the English exercises but she did it slowly. 

Yap! After we discussed for a while, the clock showed on the 3 p.m. and adzan of Asar was airing in the air. She said to me, “May I go to bath?”

“Yes, of course. Be pretty there girl, cause you’ll be known globally,” I answered. After she finished bathing, I went for a wudhu. Yeah, we had a prayer of Asar. I failed in most of my prayer to remember Allah and just spoke dumb in my mind. Why did she go so slow? Wasn’t she interested to my invitation? If she wasn’t, why didn’t she cancel our meeting in that International Education Exhibition and I would drive myself. Yeah, I recalled for that. Haha. The rain, then, perfectly ruined my plan! It was almost 4.30 p.m. and the event would be closed at 5 p.m. Great! It seems that our my plan was finished. Finally, I didn’t go to the exhibition.

Suddenly, she received a message from my friend who also taught her sister. My friend couldn’t come because of the rain. Okay, I was asked to teach her sister. Here, I still got no hikmah in this accident. A bit angry to them. 🙂 Oh, how pity I was. Astaghfirullah… But, it was almost Maghrib that I noticed something.

Allah made me to stay here to have additional cash to support my traveling plan. Yeah, because I was paid every time I came to their house for teaching them English. Allahu Akbar! Before this, I had sought for Allah’s help of gaining more financial to fulfill my traveling expenses… Ya Allah… You answered my du’a in the right time, in the right place. 

How unluckily I was to not realizing this puzzle. Yeah… sometimes, we are too fast to conclude our selves. That makes us fall in deep despair, that makes us far away from Allah’s hidayah and guidance. Astaghfirullah. His plans is always the best instead of our plans. He knows the complete puzzle of ours; but we not. So, let’s keep husnuzhon to Allah; let’s keep our true believe on His plan. 

There’s nothing impossible with Allah’s help. 🙂

PS: *ssst… I travel on January 19, 2015. Several hours later… Alhamdulillah…

Repost dari sini

Aku ingin bercerita tentang kita. Tentang pertemuan pertama kita. Tentang degup jantung ini yang… entah kenapa tak seperti biasanya. Detaknya cepat seperti berlari-lari mengejar waktu. Kapan pertemuan kan kita lakukan? Padahal kita ingin sekali pertemuan pertama ini tak berakhir. Ah… rasanya sulit menggambarkan perasaan yang kita miliki bersama.


Aku ingin bercerita tentang kita. Tentang kesan pertama saat kita berkata, saat kita bertatap muka, saat semuanya terasa begitu sempurna, walau orang lain kan menganggapnya biasa saja. Pernahkah kita bertanya kenapa kebersamaan ini begitu mesra? Terasa indah segalanya. Terasa sempurna. Apakah mata, telinga dan hati kita telah buta?

Aku ingin bercerita tentang kita. Ya, hanya tentang kau dan aku. Bukan yang lainnya. Hei… kenapa hati kita serasa begitu dekat? Padahal deretan jarak dalam angka memisahkan kedua raga. Tapi pikiran dan hati ini terjebak dalam warna dan pikiran tentang kita. Jika kita tak menahan diri, entah apa yang akan terjadi.

Aku ingin bercerita tentang kita. Saat hati ini begitu rekat, aku takut kecewa, benci, marah, dengki, sedih dan semua perasaan itu bersembunyi dari kita. Aku takut perasaan-perasaan negatif itu akan buncah memporak-porandakan semua rasa yang kita punya. Apakah kau menyadarinya? Apakah cerita tentang kita ternyata dusta? Aku takut sekali.

Cerita tentang kita memang kadang egois. Melupakan dunia. Melupakan orang-orang yang menyayangi kita. Bahkan tak jarang melupakan sang pencipta. Atau jangan-jangan cerita tentang kita tak ubahnya nafsu belaka? Tidak. Aku tidak mau hal itu terjadi padamu. Aku yakin Pencipta tak mau itu terjadi pada kita. Perasaan ini selayaknya bukan cuma antara kita, tapi mereka yang terbukti selalu ada entah itu suka apalagi duka.

Cerita tentang kita ternyata baru sekejap saja. Di antara ribuan waktu, momen, kejadian dan peristiwa. Kita kira cerita ini abadi, tapi mungkin hanya fana dan akan hilang ditelan lupa. Jujur aku takut… pisau ini mencabik-cabik bagai candu menggurat baret luka dan rasa. Ya, rasa dan luka di hati kita, di cerita tentang kita. Mungkin kita mabuk… dan tak menyadarinya. Untunglah kita tak keras kepala ya… masih ada orang-orang yang mau menggenggam tangan kita. Tak membiarkan kita terperosok dalam cerita duka dan dosa.

Aku ingin yang terbaik untukmu. Bukan… bukan seperti lilin yang membakar diri sendiri. Tapi seperti matahari yang menerangi segala. Cita ini sederhana, kita berdua menjelma menjadi matahari. Cerita kita bukanlah tragedi egois hanya tentang kamu dan aku, sedangkan mereka semua menjadi peran pembantu. Maukah kau bersamaku menjadi matahari?

Aku tak tahu apakah aku cukup gila untuk menabrak semuanya. Lagi-lagi kesadaran kita dibutakan oleh rasa. Sudah menunggu duka, luka, suka, yang akan mewarnai hari jika kita berani mengikat janji yang sama. Cukup kuatkah kita?

Cerita kita bukan cuma cerita tentang kita. Aku ingin banyak warna yang tertulis dalam kata. Ada tentang manusia, tentang cita, harapan, kehidupan, agama, perdamaian, tentang semua yang kita bisa, tentang mimpi kita menjadi matahari.

Hei kau… kau jarang bercerita atau merangkai kata. Aku tahu kau sedang memasrahkan semuanya pada Sang Pencipta. Fyuhh… kadang aku sedih ketika Pencipta seolah tak mau bicara. Apakah harus kuganti judul cerita ini jadi cerita tentang aku, kau dan Pencipta?

Aku tak tahu apa yang dimau Pencipta. Atau jangan-jangan aku yang sebenarnya berjarak dengan Dia yang berada di balik cerita kita. Tidak… aku yang bodoh. Seseorang pernah berkata padaku bahwa dia hanya menjadi air, mengalir bersama apa yang dimau Pencipta. Padahal kalo kita mau mengambil waktu, keluar sebentar dari frase cerita tentang kita, mungkin kita akan menemukan apa yang Dia mau.

Pada akhirnya aku tak tahu akan bermuara ke mana cerita tentang kita. Suka, luka, duka, bahagia, dan berbagai rasa pasti akan ada dalam cerita kita. Tapi aku tak mau cerita tentang kita adalah cerita tentang dosa anak manusia. Cerita tentang orang-orang yang melawan Pencipta. Cerita tentang rasa yang semu, cerita tentang topeng nafsu.

Aku ingin bercerita tentang kita. Cerita yang akan memahat suka di wajah sang pencipta. Mungkin aku tak sepenuhnya sadar, mengerti atau paham tentang hikmah yang ada di cerita kita. Atau kenapa cerita kita ini harus terjadi? Dan kenapa setiap orang di dunia ini memiliki cerita?

Aku ingin bercerita tentang kita. Tanpa menyebut satu kata. Kata yang baru akan dimulai ketika kita mengikat janji yang sama.

Aku ingin bercerita tentang kita. Cerita tentang cinta.

Jumat, 22 Agustus 2014
(dimuat di Annida Online oleh salah satu Tim Redaktur-nya sendiri)

Charlie Hebdo Attack

Apa sebenarnya yang dilakukan oleh media hari ini?

Seperti yang ada di berita ini yang justru menimbulkan krisis Islamofobia yang semakin marak. Freedom of Speech seperti apa yang menyudutkan agama tertentu -meskipun itu merupakan klaim atau kritik sosial- dan menghina utusan suci dari agama tersebut? Jika memang di dunia Barat makna ini dipersempit; dan antara hidup beragama dan bernegara dipisahkan; lantas kenapa kritik agama dibawa-bawa ke dalam ruang publik? Bukankah agama adalah urusan masing-masing personal? Charlie Hebdo, sebagai majalah satir profesional, seharusnya tahu batasan-batasan apa yang perlu dibuat atas urusan personal ini. 

Di sisi lain; insiden penembakan akibat kartunisasi juga merupakan sasaran yang empuk bagi sekutu media Barat lainnya untuk membumikan isu anti-Islam (ghazwul fikr). Bahwa kemudian, Islam diidentikkan dengan teroris. Padahal belum tentu pelakunya seorang Muslim yang taat. Padahal yang salah bukan ajaran Islamnya; tapi pemikiran aneh para teroris itu. Framing kuno, tapi tetap efektif untuk menghancurkan umat Islam.

Sebagai seorang Muslim, tentu saja marah atas kartun yang melecehkan utusan Allah; tapi reaksi radikal belum tentu efektif untuk melawan media. Pun, sikap radikal justru akan memicu kerusakan di bumi dan nggak mencerminkan bahwa Islam itu rahmatan lil’ alamiin. Jadi teringat sikap Rasulullah ketika beliau berdakwah di Thaif; ketika masyarakat Thaif menolak dan mengusir beliau, hingga Jibril memohon agar gunung-gunung di Thaif ditimpakan kepada mereka. Jawabannya, Rasulullah hanya berdoa agar keturunan masyarakat Thaif diberikan hidayah oleh Allah. 

Tak bisakah kita meniru manusia yang paling kita cintai itu untuk melawan banyak teror yang terjadi di era modern ini? Tak bisakah kita menahan serangan radikal yang hanya boleh dilakukan dengan persyaratan jika musuh menyerang dan mengusir kita dari kampung halaman kita? Banyak PR kita; untuk terus memohon ilmu dan petunjuk padaNya agar tak gegabah, untuk terus menjalin persaudaraan, untuk terus menjalin kekuatan. Melawan kemunkaran itu perlu, dengan segala hal yang kita punya; tetapi ketika kemungkaran itu sudah terlalu merajalela, maka Allah hanya menyuruh kita menunggu. Biarkan Allah yang menghimpun doa dan usaha yang kita lakukan. Biarkan Allah yang membalas perbuatan mereka. 

Sumber lainnya:
https://firstlook.org/theintercept/2015/01/09/solidarity-charlie-hebdo-cartoons/

Cerita Lain di Balik Hidayah

Hidayah itu bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dan bagaimanapun caranya. Pengertian ‘hidayah’ yang aku ungkapkan di sini adalah kemauan untuk hijrah dari pribadi dengan kecenderungan negatif (berdasarkan nilai-nilai Islam yang universal) menuju pribadi yang lebih positif. Pendefinisian awal hidayah ini penting sebelum terjadi penilaian-penilaian yang menyimpang dan untuk menghindari salah paham. 🙂

Selasa minggu ini, rapat editor Jurnal Mozaik bersama salah satu dosen dan beberapa mahasiswa diakhiri tepat pukul 12.00. Karena di luar sedang hujan, aku menunda kepergianku ke Rapid dan menemani Mbak Tian, salah satu mahasiswi S2 Cultural Studies di fakultasku, cerita-cerita. Awalnya tentang girls talk; lalu Mbak Tian tanya, “Dek, kamu pakai kerudung sejak kapan?”

“Sejak SD kelas 6, Mbak…”

“Wah! (wajahnya sumringah). Kalo aku, baru sejak kuliah S1 semester 2…” yang dilanjutkan Mbak Tian dengan wajah menerawang. Mengalirlah cerita lucu waktu dia mulai ikut SKI (Sie Kerohanian Islam) di SMA-nya. Keisengannya dan teman-teman se-gengnya untuk ikutan SKI karena ingin mendapatkan uang jajan gratis selama sebulan; membuatnya bertahan duduk di pertemuan rutin di masjid, membaca Qur’an, dan mendengarkan tausiyah kakak seniornya. 

Perasaan awkward dan aneh karena nggak bawa Qur’an dan ngaji yang terpatah-patah diiringi decakan kagum karena kakak seniornya begitu tulus menyampaikan materi pengajian; membuat Mbak Tian dan gengnya merasa, “Wah, iya ya. Ternyata, kita selama ini sesat banget nggak tau beginian. Ternyata kita butuh ya…” 

MashaAllah, betapa niat tulus dan ikhlas itu memang benar-benar menggerakkan hati orang lain…

Peristiwa inilah yang menuntun Mbak Tian untuk bergabung menjadi staf SKI di kampus; serta mendorongnya untuk mantap berjilbab meskipun masih mengenakan celana-celana lebar. “Ya Allah… sampai para senior itu bilang, kamu tak belikan rok ya Dek Tian… (dia tertawa) Tapi, tahu nggak Dek, aku masih belum dipanggil Ukhti gara-gara itu. Lak yo sakit. Masa yang lain sudah dipanggil Ukh A, Ukh B, aku masih saja dipanggil Tian, Tian…”

Aku ngakak dengan sukses. Ekspresi Mbak Tian yang polos itu benar-benar membuatku terkesan. Lantas, dia cerita tentang jilbabnya. 

“Aku memang dari keluarga Muslim, Dek. Tapi, keluargaku mayoritas hamba hukum, kebanyakan mereka kan orang pemerintahan. Mereka sempat menentang keputusanku buat berjilbab. Aku jadi dikucilkan…”

Baru kali ini aku mendengar alasan orang tua yang melarang anaknya berjilbab karena jadi hamba hukum negara. 

“Aku juga nggak dianggep dan oh ya, disembunyikan.”

Disembunyikan adalah istilah Mbak Tian untuk menggambarkan konteks bahwa dia jarang diajak keluar dan jalan-jalan sejak dia memutuskan berjilbab. Padahal, dulu dia adalah jagonya keluarga; kalau ada apa-apa, pasti dia yang diandalkan; tapi keputusannya berjilbab ditentang sekeras itu untuk ukuran keluarga Muslim. 

“Karena itu Dek, aku harus memperjuangkan agamaku, memperjuangkan jilbabku. Waktu Natalan, aku juga kan dapat SMS yang jangan dateng ke acara Natalan itu. Tapi… di keluargaku ya nggak bisa. Kalo ada saudaraku yang merayakan Natalan ya aku dateng dengan jilbabku. Di situ niatku adalah memperjuangkan agamaku. Aku ingin menunjukkan, ini lho sosok Muslim yang toleran, yang jauh dari anggapan negatif mereka.”

Duh, rasanya pingin nangis mendengar cerita Mbak Tian. Ketika banyak Muslimah di luar sana yang masih ragu dan melepas-pakai jilbabnya, Mbak Tian di hadapanku ini sedang mati-matian berjuang dengan mahkota terindahnya di depan keluarganya yang mayoritas Muslim. Tetapi, silakan jika ada pembaca yang memutuskan mengambil sudut pandang sendiri. 

Aku hanya berdoa, yaa muqollibal quluub, tsabbit ‘alaa diinik. Ya Allah, teguhkan dan kuatkan hati kami agar tetap berada di atas agamaMu. 

Surabaya,
Pagi yang hangat.

When Two People Walk Together

A small talk happened last night; in our small journey from the Balai Pemuda to the Delta Plaza; but we ended up in Zangrandi. “Our” was not so important; they were just one of my closest friends and me. We were watching a maroon-blue sky together when he started that small talk with a simple question.

“How can I be a good people?”
“What? Just do it.”
“But, how if the standard (of being good people) is different?”

I giggled smoothly; but I didn’t look into his face and keep walking faster than him. I asnwered again, “I have realized since 6 months ago; by noticing scattered moments in my life. That… it’s impossible for us to please every one. That… everything, everyone is not perfect. They -some times- do make mistakes; us too. It makes human, human; not God. So I learn to be more flexible to others. I am no problem with the standard; but some others no.”

And I added, “But, I still hold tight my limit; there’re values behind it. I won’t break the rules myself. Hahaha.”

We walked in a bit dark pedestrian with many cars and motors were running beside us; it was crowded situation in the Pemuda street.  We had to speak loudly. There were some yellow lamps; but small lights like that were good. I thought, the lights perfectly hid my gloomy face, warmth eyes, and sweet smile. And I thanked God for he didn’t notice that.

But then, I directly changed the topic to she who he has been loving in. Luckily, I didn’t trap on my random feeling. But still, I said inside my thought; why did he talk with me about this? I think we are close friends; but as I know, the vision of life is always being a heavy topic to be talked with someone who will be your spouse. As I know so far; yaa who knows if the life is changing. Yeah, finally, he just talked a little about her. That time, she sent a message that she was already in Zangrandi.

Next part, he talked about his unconsious life; that he made some comparation among his former idealist mind to his present tolerant ways. I just tried to understand and listen to him. After we discussed about the history of Muslim tradition; I noticed that, “Zangrandi is in front of us!” 

The random and bit heavy small talk suddenly ended up with a background of Zangrandi. He was looked like very happy and excited to see her who had sat down in her work-suit; waiting for us. 

And I, just said “Hello…” to her for the very first time; as I recognized that yesterday was the first time too I visited Zangrandi in my 19-year life in my hometown. What a coincedence!

Socialize More, Gain Knowledge More

It is mainstream that I hang out with Konspirasi Taberu; so I decide to leave them and go out with other friends. Actually, I made an appointment only with my American lecturer, Ms. Christi to give her sea-stuff gifts as she intended to help my writing skills. But, surprisingly, she met with other freshmen from International Relations Department (where Bas is studying). She said with her crunchy voice, “Because I have two meeting, why don’t I take it in a time. Is it wonderful?”

So, in Caffeology, one caffe in Gunawangsa apartment, I knew Dijey, Hanif or Helmi or … ah I forgot his name, Ade, and Nadia for the first time. They are my new freshmen friends from International Relations Department. They are such true IR students; talkative, friendly, curious, and amazing. They called last night event as “hanging out with bule”. Miss Christi was just buzzling to hear the term. Dijey, who was very happy to conduct this event for his friends told me that, “Everyone can join in our discussion Mbak!”

Man, I expected a moderate meeting, a little bit heavy discussion, with coffee and some snacks. I wanted to have a consultation time about my paper, but it’s banished for a while. Dijey and Christi were the best partner to make the discussion a bit crazy; giggles and chuckles all the time. Dijey is a fast English speaker due to his experience of four-year living in America, no wonder that he speaks so fast, or I might think he got no space and breath between words. But, I noticed some heavy talk about hijab -why Nadia and I use that- and ages and marriage.

Form our talks last night, I noticed Dijey’s way how to make people get interested to us; maximizing our curiousity. That’s for all. It’s like, hey, I want to know more and more about you. Can you tell me who are you, what is your background, and how life treats you. Nice lesson you taught me, dude. I thanked you. I just need my awareness to have such that ability; my introvert mental wouldn’t let it be easy. Yeah I will make it happen!

Okay, I have to edit some articles. I’d like to go back to my holiday-work 🙂

Up ↑