Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

February 2015

Demam Jodha-Akbar

Kemarin dan hari ini sekeluarga teriak-teriak heboh gara-gara sebuah serial berlatar belakang sejarah Bollywood yang (kuakui) amazing. Rumah yang sedari pagi sampe sore sepi karena penghuninya masih pada ada urusan di luar; mendadak heboh gara-gara episodenya. Serial ini menjadi juara di Indian Telly Award tahun lalu; saingan beratnya Mahabharata.

Ini foto-foto pemeran serialnya…

Yups! Serial berlatar belakang sejarah yang keturunannya pendiri Taj Mahal ini berjudul Jodha-Akbar. 

Kuakui, meskipun aku sudah sedikit belajar media dan intrik-intriknya; tapi gak jarang aku kagum dengan cara sutradara dan produsernya buat menanamkan nilai-nilai di balik ceritanya yang greget. Tokoh Jodha Bai (Paridhi Sharma) kuat banget karakternya dan dia berhasil membawakan perannya dengan bagus. Diimbangi oleh Raja Jalaluddin (Rajat Tokas) yang juga mantep banget *pasang-muka-gemes kalo lagi nggombalin Jodha. 

Hanya saja… hanya saja… sangat disayangkan di situ digambarkan jika toleransi yang dilakukan oleh Raja Mughal itu agak kelewatan (menurutku sebagai seorang Muslim). Yaa ini pandangan personal. Contohnya ketika Jodha berdoa dengan gerakan khas kepercayaannya; Jalal juga ikut-ikutan berdoa di situ yang caranya juga hampir mirip sama Jodha -_-. Untungnya, kisah cinta Jalal dan Jodha diramu begitu apik dan logis!

Logis, inilah yang aku suka dari jalan ceritanya. Menunjukkan proses pendewasaan dari masing-masing karakternya, proses dalam berumahtangga. The crew portrays the process beautifully. Jalal and Jodha are The Shaheenshah (The King)  and Begum (Queen) of Mughal but they are also human beings. Mereka juga kadang melakukan kesalahan, menjadi lemah, dan sering hampir putus asa. Tapi mereka tak pernah lupa bahwa ada Tuhan untuk tempat bergantung dan cinta yang terus menumbuhkan harapan dan kepercayaan di dalam keluarga.

G-OO-D J-O-B for Jodha-Akbar and the crews! You deserved the awards!

Pics from Care For Da’wah #2

IMG_96771
Tiwi-Me-Muz bringing the balloons
IMG_96671
Yuk Tutup Aurat! Katakan Ya Untuk Hijab!
IMG_97111
the Taberu genk enjoyed the moment
IMG_97161
MuslimWaY: Semangat Berbagi!

Rumput Kita dan Rumput Tetangga

Rumput tetangga selalu lebih hijau

Ah, pepatah itu selalu benar. Bagaimanapun, rumput tetangga memang selalu lebih hijau; kecuali bagi mereka yang tahu caranya membuat rumputnya sendiri terlihat indah di depan matanya. Pada akhirnya, aku hanya melihat itu sebagai cara seseorang mempersepsikan dirinya.

Mengutip teori Bordieu, bahwa setiap kita mempunyai self identity (identitas diri) dan social identity (identitas sosial). Identitas diri adalah bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri. Seperti apakah kita memandang diri kita, seberapa berharganya kita, secantik atau setampan apakah hati kita; semuanya tergantung pikiran-pikiran kita sendiri. Dalai Lama menyarankan agar kita berhati dengan pikiran, karena itu akan menjadi perkataan; berhati-hati dengan perkataan karena itu akan menjadi perbuatan; berhati-hati dengan perbuatan karena itu akan menjadi kebiasaan; kebiasaan menjadi kepribadian kita; lantas menjadi nasib kita; dan nasib kita adalah hidup kita.

Sementara social identity adalah bagaimana lingkungan sosial meminta kita berperilaku sesuai ekspektasi standar norma yang berlaku. Nah, dari sisi identitas sosial inilah yang sering menjadi masalah dan bisa mempengaruhi identitas diri kita dengan menimbulkan efek “rumput tetangga lebih hijau”. Pernah dengar cerita tentang seorang tua dan anaknya yang melakukan perjalanan dengan keledai? Aku sedikit lupa urutannya ya. Begini, awalnya mereka berdua menunggangi keledainya, kemudian melewati seorang asing yang mengatakan, “Kasian tahu keledainya. Hewan kok disiksa begitu (dengan menungganginya berdua).” Si anak dan orang tua pun turun dari keledainya. Agak jauh dari jalan itu, mereka berjumpa dengan seseorang yang mengatakan, “Kasian sekali anak itu. apakah orang tuanya tidak melihatnya kelelahan? Mereka kan punya keledai; kenapa tidak keledai saja?” si orang tua menganggap benar perkataan orang yang baru ditemuinya. Anaknya pun dinaikkan ke keledai. Agak jauh lagi, ada orang yang bilang, “Dasar anak tidak tahu orang tua! Kok tega sekali menyuruh orang tuanya berjalan dan anaknya dinaikkan keledai?” Si anak pun turun dan meminta orang tuanya menunggangi keledai.

Begitu deh, selanjutnya. Hahaha. Pada intinya, mereka tak mau membuat rumputnya sendiri lebih indah, memagari, dan bahkan menghiasnya. Mereka selalu menuruti perintah orang, tak percaya diri dengan identitas dirinya dan jati dirinya. Begitulah, identitas sosial memang sering menyesatkan; jika kita tak bijak menyikapinya.

Being an Introvert Person

Aku sempat menyembunyikan diri dengan cara ini; tidak menerima kenyataan bahwa aku seseorang yang introvert. Aku selalu menganggap, orang-orang ekstrovert lah yang (selalu) pantas mendapatkan segala mimpinya. Aku melihat seakan-akan, dunia hanya melihat orang yang ekstrovert, yang mengekspos seluruh perilakunya (apalagi dengan hadirnya media sosial), yang paling suka tebar pesona; dan merekalah yang berhak untuk sukses. Anehnya, aku pun memblokade pikiranku sendiri dengan bersikap seperti itu. Aku seakan lupa bahwa dunia ini sengaja Allah ciptakan dengan binary position (berlawanan, dua kutub: ada positif-negatif, pria-wanita). Tentu saja jika ada ekstrovert, jelas ada introvert.

Orang-orang introvert membuat kehidupan lebih seimbang dengan diamnya, sikap analitisnya, mudah mendengarkan, mendamaikan, dan kesabarannya. Orang introvert lebih bisa mengendalikan perasaan dan keadaan, dan berpikir jernih. Well, tentu saja ini bukan pembelaan; tapi rata-rata, orang introvert yang kutemui memang seperti itu. Akupun seperti itu, walau memang kadang-kadang –kepada orang-orang terdekat—aku menjadi orang yang sedikit ekstrovert.

Dulu, aku berpikir bahwa menjadi orang ekstrovert itu sepertinya lebih menyenangkan; punya banyak teman, banyak kenalan, agenda, dikenal di mana-mana, jadi pusat perhatian. Dan, sesekali dalam hidupku; aku pun mencobanya. Ya, menjadi orang ekstrovert. Aku jadi sangat ramah yang tidak wajar, memaksakan bicara lebih banyak, memaksakan melucu yang akhirnya menjadi aneh, dan melakukan segala sesuatu yang –akhirnya—aku tak nyaman melakukannya. Jujur, aku merasa tidak nyaman dengan menjadi orang yang bukan diriku. Secara personal, aku memang berwatak tenang dan tidak bisa tiba-tiba ‘rame’ sendiri. Hahaha. Kini, aku menertawakan diriku yang mencoba menjadi orang lain. Mencoba membeli rumput orang lain dan memeliharanya. Tapi, tetap saja tanahnya tak cocok untuk rumput itu; iya kan?

Sekarang, setelah melewati beberapa peristiwa dan kejadian; melihat dan berinteraksi dengan teman-temanku (ketika aku menjadi orang lain); aku justru menemukan fakta bahwa menjadi orang introvert pun berhak sukses dengan caranya sendiri. Selama ini, mereka yang tetap dengan dirinya sendiri justru lebih nyaman dan maksimal dalam menjalankan peran-peran kehidupannya.

Sekarang, aku lebih mencintai diriku sendiri, aku menerima orang-orang di sekitarku dengan lebih santai, dan lebih mudah membuka diriku dengan persepsi-persepsi mereka. Aku bisa menghargai orang lain dengan kemampuan dan keunikannya; aku bisa berterima kasih, minta tolong, atau minta maaf dengan tulus atas segala kesalahanku. Aku lebih bisa mengontrol emosi dan memaksimalkan penyelesaian tugas-tugasku. I do the best within myself. Yang paling penting, aku bisa tersenyum penuh puji dan syukur kepada Allah setiap hari.

Alhamdulillah. I feel enough with all these days. I am relieved.

Mulai sekarang: rumput tetangga memang lebih hijau; tetapi sebenarnya kita lah yang harus menghias dan memagari rumput kita agar jauh lebih indah di depan mata kita.

Gado-Gado CFD#2 MuslimWaY

Antara sedih, bahagia, dan perasaan yang penasaran bercampur jadi satu waktu the Genks lagi mroyek CFD#2 di Taman Bungkul.

Diawali dari temen-temen FSLDK Surabaya Raya yang kampanye Gerakan Menutup Aurat dan menggalang dukungan dengan tanda tangan oleh pengunjung Car Free Day Bungkul, para volunteer MuslimWaY langsung membagi-bagi kuponnya kepada orang-orang sekitar yang tertarik dengan aksi kami. Mungkin, karena ada iming-iming jilbab gratis semua akhirnya berdesakan di depan stan kami. Ribut ingin minta kupon dan tanda tangan; ribut ingin minta jilbab yang ini dan itu; ribut ingin minta Pocari Sweat dan paketan di tas pinky.

Dari sinilah, perasaan sedih mulai muncul. Karena awalnya, harapan dan bayangan kami bukan seperti itu. Kalau begini, kami justru merasa “kenapa masih ada mental peminta-minta” pada sebagian orang yang mendatangi kami? Tau pembagian daging kurban yang nggak pake kupon dan nggak ada waiting line? Ya seperti itu. Sedih, karena ternyata banyak umat Muslim yang belum mampu untuk sekedar membeli jilbab syar’i yang cukup panjang. Tapi jujur, lebih sedih lagi karena mereka tak bisa mengendalikan dirinya.

Meskipun begitu, tetep bahagia juga karena animo masyarakat besar karena ternyata niatan mereka untuk berhijab dan menutup aurat masih ada. Di sesi-sesi terakhir, aku melihat cewek-cowok (entah suami istri atau bukan) yang tampilannya agak mirip-mirip anak hardcore begitu. Yang cowok, pake tindik telinga, baju agak kusam, celana 3/4, dan sandal jepit. Yang cewek, masih pake baju tidur warna pink pucat, sandal, dan rambutnya agak acak-acakan. Mereka langsung semangat tanda tangan; dan antri dengan tertib untuk dapet paketan yang hampir habis. Dan mereka kehabisan.

Di tanganku masih ada 1 karena itu jatah untuk volunteer. Jujur, karena mereka begitu bersemangat; dan melihat ada ekspresi di wajah mereka yang begitu tulus; aku pun memberikan milikku pada mereka. Itu hadiahku untuk mereka. Aku cuma bisa berdoa, semoga Allah memberikan berkah melalui paket itu. Semoga Allah berkenan menurunkan hidayah untuk mereka dan untukku.

Dan… gado-gado ini berakhir sekitar jam setengah 10; setelah the Genks + Muzdalifah mengadakan aksi melepas balon bersama; agar harapan kami melayang jauh ke atas, ditangkap oleh pena takdirNya untuk diridhoi dalam melakukan kebaikan dan kebermanfaatan yang semakin luas. Aamiin.

Terakhir, aku penasaran; akan seperti apa kami ke depan? Akan seperti apa MuslimWaY 5 atau 10 tahun lagi. Doakan saja, agar kami mampu tetap istiqomah di jalan ini.

Melejitkan Potensi Anak dan Mengelola Problem

“Maaf, saya nggak biasa. Kan, biasanya di masjid. Sekarang di mall. Hehe,” begitulah aksi nyentrik Ustadz Miftahul Jinan, M.Pd. ketika aku mengikuti training sehari parenting nya yang diselenggarakan oleh YDSF dan Griya Parenting di Grand City. Ya Allah… semoga Allah memberikan keberkahan hidup kepadamu, yaa Ustadz… Hihihi, sukses membuat semua peserta tertawa.

Oke, berikut resumenya; semoga bermanfaat 🙂

Anak-anak adalah satu-satunya harapan orang tua. Karena itu, mereka wajib dijaga, dirawat, agar menjadi orang-orang yang Allah akan jadikan. Orang tua wajib membekali mereka dengan bekal ruhiyah, jasmani, dan pola pikir yang cukup untuk menghadapi kehidupannya di masa depan. Nah, di sinilah potensi anak-anak mulai terbentuk.

Dari mana asalnya potensi anak-anak? Dari Allah, tentu saja! Tetapi, orang tua tetap berperan untuk memunculkan potensi anak-anaknya. Yakni melalui tiga hal berikut:

1. Stimulasi anak: pada masa golden age (0-8 tahun), anak perlu banyak menerima stimulasi untuk mengembangkan dan menyambungkan syaraf otak. Mereka membutuhkan banyak pengalaman-pengalaman. Nah, jika syaraf otak banyak yang tersambung, maka akan keluarlah potensi-potensi mereka. Akan tetapi, pernahkah ketika kita melihat anak-anak main garpu dan sendok untuk memecahkan telur dan kita kasihan padanya? Lantas kita ikut campur dengan ikut membantu mengupas telurnya? “Maka berhentilah proses belajar si anak!” Lebih penting lagi, stimulasi harus terus diberikan berulangkali; tidak bisa jika hanya satu kali, karena stimulasi akan membentuk pembiasaan.

2. Pembiasaan terhadap aturan yang dimulai sejak dini, aktivitas kemandirian, serta komunikasi dengan teman. Orang tua harus berusaha konsisten tentang aturan-aturan yang ada di rumah; termasuk soal prinsip (agama). Beri anak-anak contoh melalui perbuatan nyata. Upayakan ada satu komando (di mana seluruh anggota keluarga taat pada satu jenis aturan) agar anak-anak juga belajar konsisten. Jika dari awal orang tua bilang ya, maka lakukanlah. Jika tidak, meskipun anak-anak menangis, biarkan tidak. Begitu juga ketika anak menghadapi masalah dengan temannya. Ustadz bercerita, “Suatu hari, anak saya pulang dengan lutut terluka sambil menangis dan menyebut salah satu temannya. Jadi saya langsung mengobati lukanya. Urusannya dengan temannya, biar dia yang selesaikan sendiri.” Orang tua perlu membiarkan anak menghadapi kesulitannya sendiri; tapi juga harus tetap menunjukkan kasih sayangnya.

3. Aktivitas bermain. Dunia anak adalah dunia bermain. Anak yang normal tidak akan duduk dan diam saja sementara menunggui ibunya memasak atau ayahnya yang sedang duduk di depan laptop. Anak yang normal tidak hanya diam bermain gadget sendirian; tetapi akan beraktivitas dengan benda-benda di sekitarnya. Orang tua harus mengubah paradigmanya untuk mencekoki anak dengan gadget agar ia diam. Itu tidak baik. 🙂

Ajari anak untuk kontrol diri. Hal ini bisa dilakukan dengan pola orang tua untuk menyeimbangkan antara memberi dan menolak. Adakalanya, orang tua boleh mengalah; asalkan bukan termasuk pada hal yang prinsip (agama). Sekali lagi harus konsisten dengan aturan yang dibuat dan disepakati bersama. 

Sekian dan terima kasih.

Wanita yang baik tak berharap untuk dikagumi dan dicintai banyak lelaki. Ia punya harapan yang sederhana, yakni suatu saat ada satu orang lelaki yang baik, yang mengagumi dan mencintainya, yang bersedia menjadi imamnya.
Begitu juga lelaki yang baik. Tak punya obsesi untuk menaklukan hati banyak wanita. Ia hanya berharap kelak bertemu satu perempuan shalihah, yang mengagumi dan mencintainya, yang siap menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya.

-Ahmad Rifai Rif’an-

Ketika Karakter Mati

Kau tahu, penulis-penulis top model Asma Nadia, Helen Keller, dan Pipiet Senja punya kekurangan dalam fisiknya; tapi karakter mereka yang kuat tak pernah menghalangi mereka untuk terus berkarya dan berkontribusi.

Kau tahu, tokoh bangsa seperti Moh. Hatta dan Hoegeng punya kekurangan dalam latar belakang finansialnya; tapi karakter mereka yang teguh hati tak pernah menghalangi mereka untuk terus berprestasi untuk negeri.

Kau tahu, seorang Chairul Tandjung, juga berasal dari keluarga melarat sebelum jadi konglomerat. Lagi-lagi, karakter beliau yang pantang menyerah tak pernah menghalangi beliau untuk memberikan yang terbaik untuk masyarakat.

Fisik, harta, dan kuasa memang tak pernah jadi alasan yang berarti untuk menghambat langkah seseorang. Tetapi jika yang hilang adalah karakter; selamat datang pada awal kehancuranmu. 

Ketika karakter sudah mati; maka kau harus sekuat tenaga untuk membangunkannya kembali. Pernah membaca jika dalam karya sastra tak ada karakter yang menjalankannya? Hil yang mustahal, bukan? Maka bagaimana sang penulis akan mampu menjalankan alur cerita yang diinginkannya?

Karakter tak ubahnya manusia, atau mungkin lebih bisa disebut fitrahnya manusia. Jika karakter itu mati; maka manusia (fisiknya) bisa juga akan mati. Oh iya, ketakutan adalah sakaratul maut yang paling menyakitkan bagi karakter. Rupanya, syahadat karakter itu memang khusus hanya pada Allah, bukan pada ketakutan untuk apapun. 

Ingin membangunkan karaktermu? Perbaiki dulu syahadatmu, lantas kau akan tahu betapa Allah Maha Pemurah untuk (terus) membangunkannya kembali, bahkan ketika kau tak sadar dengan kehadiranNya. 

The Absolut Love Story

How to Store the Food

Blogwalking dan nemu ginian. Ah, bermanfaat banget buat menyimpan koleksi per-dapur-an. Okay, happy storing!

Up ↑