Rumput tetangga selalu lebih hijau
Ah, pepatah itu selalu benar. Bagaimanapun, rumput tetangga memang selalu lebih hijau; kecuali bagi mereka yang tahu caranya membuat rumputnya sendiri terlihat indah di depan matanya. Pada akhirnya, aku hanya melihat itu sebagai cara seseorang mempersepsikan dirinya.
Mengutip teori Bordieu, bahwa setiap kita mempunyai self identity (identitas diri) dan social identity (identitas sosial). Identitas diri adalah bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri. Seperti apakah kita memandang diri kita, seberapa berharganya kita, secantik atau setampan apakah hati kita; semuanya tergantung pikiran-pikiran kita sendiri. Dalai Lama menyarankan agar kita berhati dengan pikiran, karena itu akan menjadi perkataan; berhati-hati dengan perkataan karena itu akan menjadi perbuatan; berhati-hati dengan perbuatan karena itu akan menjadi kebiasaan; kebiasaan menjadi kepribadian kita; lantas menjadi nasib kita; dan nasib kita adalah hidup kita.
Sementara social identity adalah bagaimana lingkungan sosial meminta kita berperilaku sesuai ekspektasi standar norma yang berlaku. Nah, dari sisi identitas sosial inilah yang sering menjadi masalah dan bisa mempengaruhi identitas diri kita dengan menimbulkan efek “rumput tetangga lebih hijau”. Pernah dengar cerita tentang seorang tua dan anaknya yang melakukan perjalanan dengan keledai? Aku sedikit lupa urutannya ya. Begini, awalnya mereka berdua menunggangi keledainya, kemudian melewati seorang asing yang mengatakan, “Kasian tahu keledainya. Hewan kok disiksa begitu (dengan menungganginya berdua).” Si anak dan orang tua pun turun dari keledainya. Agak jauh dari jalan itu, mereka berjumpa dengan seseorang yang mengatakan, “Kasian sekali anak itu. apakah orang tuanya tidak melihatnya kelelahan? Mereka kan punya keledai; kenapa tidak keledai saja?” si orang tua menganggap benar perkataan orang yang baru ditemuinya. Anaknya pun dinaikkan ke keledai. Agak jauh lagi, ada orang yang bilang, “Dasar anak tidak tahu orang tua! Kok tega sekali menyuruh orang tuanya berjalan dan anaknya dinaikkan keledai?” Si anak pun turun dan meminta orang tuanya menunggangi keledai.
Begitu deh, selanjutnya. Hahaha. Pada intinya, mereka tak mau membuat rumputnya sendiri lebih indah, memagari, dan bahkan menghiasnya. Mereka selalu menuruti perintah orang, tak percaya diri dengan identitas dirinya dan jati dirinya. Begitulah, identitas sosial memang sering menyesatkan; jika kita tak bijak menyikapinya.
Being an Introvert Person
Aku sempat menyembunyikan diri dengan cara ini; tidak menerima kenyataan bahwa aku seseorang yang introvert. Aku selalu menganggap, orang-orang ekstrovert lah yang (selalu) pantas mendapatkan segala mimpinya. Aku melihat seakan-akan, dunia hanya melihat orang yang ekstrovert, yang mengekspos seluruh perilakunya (apalagi dengan hadirnya media sosial), yang paling suka tebar pesona; dan merekalah yang berhak untuk sukses. Anehnya, aku pun memblokade pikiranku sendiri dengan bersikap seperti itu. Aku seakan lupa bahwa dunia ini sengaja Allah ciptakan dengan binary position (berlawanan, dua kutub: ada positif-negatif, pria-wanita). Tentu saja jika ada ekstrovert, jelas ada introvert.
Orang-orang introvert membuat kehidupan lebih seimbang dengan diamnya, sikap analitisnya, mudah mendengarkan, mendamaikan, dan kesabarannya. Orang introvert lebih bisa mengendalikan perasaan dan keadaan, dan berpikir jernih. Well, tentu saja ini bukan pembelaan; tapi rata-rata, orang introvert yang kutemui memang seperti itu. Akupun seperti itu, walau memang kadang-kadang –kepada orang-orang terdekat—aku menjadi orang yang sedikit ekstrovert.
Dulu, aku berpikir bahwa menjadi orang ekstrovert itu sepertinya lebih menyenangkan; punya banyak teman, banyak kenalan, agenda, dikenal di mana-mana, jadi pusat perhatian. Dan, sesekali dalam hidupku; aku pun mencobanya. Ya, menjadi orang ekstrovert. Aku jadi sangat ramah yang tidak wajar, memaksakan bicara lebih banyak, memaksakan melucu yang akhirnya menjadi aneh, dan melakukan segala sesuatu yang –akhirnya—aku tak nyaman melakukannya. Jujur, aku merasa tidak nyaman dengan menjadi orang yang bukan diriku. Secara personal, aku memang berwatak tenang dan tidak bisa tiba-tiba ‘rame’ sendiri. Hahaha. Kini, aku menertawakan diriku yang mencoba menjadi orang lain. Mencoba membeli rumput orang lain dan memeliharanya. Tapi, tetap saja tanahnya tak cocok untuk rumput itu; iya kan?
Sekarang, setelah melewati beberapa peristiwa dan kejadian; melihat dan berinteraksi dengan teman-temanku (ketika aku menjadi orang lain); aku justru menemukan fakta bahwa menjadi orang introvert pun berhak sukses dengan caranya sendiri. Selama ini, mereka yang tetap dengan dirinya sendiri justru lebih nyaman dan maksimal dalam menjalankan peran-peran kehidupannya.
Sekarang, aku lebih mencintai diriku sendiri, aku menerima orang-orang di sekitarku dengan lebih santai, dan lebih mudah membuka diriku dengan persepsi-persepsi mereka. Aku bisa menghargai orang lain dengan kemampuan dan keunikannya; aku bisa berterima kasih, minta tolong, atau minta maaf dengan tulus atas segala kesalahanku. Aku lebih bisa mengontrol emosi dan memaksimalkan penyelesaian tugas-tugasku. I do the best within myself. Yang paling penting, aku bisa tersenyum penuh puji dan syukur kepada Allah setiap hari.
Alhamdulillah. I feel enough with all these days. I am relieved.
Mulai sekarang: rumput tetangga memang lebih hijau; tetapi sebenarnya kita lah yang harus menghias dan memagari rumput kita agar jauh lebih indah di depan mata kita.