Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

March 2015

The World of Deduction

Sherlock. Holmes.

Okay, if I have a case to consult to him (Sherlock, of course); I would consult about how to solve my Western Cultural Civilization subject. It gives me pain because the textbook just write illogical stories without the right timestone. They do have theexact time but it’s not in order. Then, how are we supposed to make a mind map within a week with some friends who dislike reading? Maybe, my case is too boring for him.

However, by watching his and Watson’s films (serial TV), I learn to connect everything with a focusing ability. It increases my ability to be not easily distracted. I learn how to focus to connect facts, stories, and details, and also chances. Thanks for giving me such incredible experiences. Oooh… I’d love it when he says, “Oh.” with a remarkable tone and voice. You know, Mr. Holmes, since the WCC became one of the most difficult subject in my major for my friends; it has been delivered well to my mind. Ooh… I am happy for that.

The science of deduction. I am a social student -well, literature student- and I’m quite sure that deduction is only used for the science student to identify and observe their specimen. But, now I know both of them use deduction; to make a valid conclusion (about why and how). Ah, such a brilliant character from Sir Arthur Conan Doyle.

Okay, Mr.Holmes, I am waiting your next special serial. Hope to see you directly in 221B Baker Street, UK.

Even It is Strange, We Are Human. Right?

And I keep my mind about my linguistics lecturer’s words, every human has lexical items in his/her brain. So that’s why; even though the words are messy; we still can read right. 

But, I’m interested in a statement that we still can read as long as the first and final letters are in order. In addition, we look at the words as a whole; not in detail. So that we can recall the lexical items from our brains to read that well. 

Do we realize about that term which says “We look at the words as a whole”? Do we realize that we -mostly- look other things beside words -also- as a whole; not in detail? As a result; we can overcome everything in our lives -with God’s power.

We always look the bigger pictures; the bigger chances; and the bigger dreams. But we never look the bigger heart of ourselves. Just like the messy puzzle. 😀

Seribu Wajah Mahasiswa Indonesia

“… susah melihat orang lain senang, senang melihat orang lain susah…” 

Kata-kata di atas adalah kutipan dari Prof. H.E. Mulyasa dalam bukunya yang berjudul Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013

Beliau memasukkan perkataan itu untuk merujuk pada mental masyarakat Indonesia yang dapat menghalangi terjadinya pembangunan di negeri kita ini.  Wah, hati-hati; mari koreksi diri sendiri. Mari bertanya, apakah kita termasuk salah seorang yang bersikap demikian?Kalau ya; mental kita perlu direvolusi. 

Pun, begitulah yang terjadi pada (sebagian) mahasiswa Indonesia. Saya mahasiswa; dan saya merasakan hal itu di tempat saya berkuliah. Ketika saya niat untuk meningkatkan kualitas akademik (ironisnya, mayoritas mahasiswa akan berkilah dengan kalimat “kuliah itu gak cuma nyari IPK!”), lantas ada beberapa orang yang menilai negatif. Banyak yang berkomentar bahwa saya cari muka, egois, sombong, sok tahu, dan segala label negatif yang dibicarakan di belakang punggung. Tidak hanya saya; pun beberapa teman yang memang betul-betul niat berprestasi, juga menjadi korban mereka. Apalagi ketika semester mulai menua. Ini realita

Terkesan seperti mem-bully

Sebetulnya, saya dan beberapa teman yang menjadi korban justru mendapatkan keuntungan agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan kritikan pedas itu. Kritikan ada untuk membangun diri; benar, kan? Hanya saja, ketika kritikan itu jadi kacang goreng dan dicemil rame-rame; di situ kadang saya merasa sedih. Saya jadi bertanya, tidak adakah hal-hal yang lebih bermanfaat yang bisa dibincangkan selain cerita, takdir, dan kekurangan orang lain? Saya juga heran; jika aib mereka dibicarakan rame-rame seperti itu; apa mereka tidak malu barang sedikit? Kalau kata Rasulullah, membicarakan aib orang lain seperti memakan bangkai saudaranya. Eww.. Saya sih no. 

Menurut saya, akan lebih baik jika ada kesalahan atau sikap yang tak berkenan di hati itu langsung dibicarakan dengan si empunya yang punya sikap. Biar dia tahu apa kesalahannya dan meminimalisasinya.  

Ada salah satu teman saya (sebut saja Mawar) yang emosinya sedikit terganggu gara-gara ini. Motivasinya turun dan dia seperti mengalir begitu saja; saya kasihan melihatnya. Semester lalu, saya mempercayainya untuk menjadi produser drama kelas. Saya memilihnya karena saya melihat dia punya kompetensi di bidang itu. Dari situlah, ada beberapa orang yang iri dan mulai membicarakannya dari belakang (ini adalah dampak negatif dari sifat kolektivisme rakyat Indonesia). Alasan mereka tidak setuju adalah karena Mawar suka tidur dan malas. Tapi sebelumnya, ketika saya membuat forum dalam kelas untuk memilih sutradara; tidak ada yang mengajukan diri dan tidak ada yang protes di tempat. Padahal saya sudah memberikan kesempatan bertanya dan keberatan. Bukan salah saya dong, kalau saya langsung menunjuk Mawar karena dia mampu. 

Bisa jadi, yang merusak pendidikan di Indonesia itu bukan hanya sistemnya; tapi juga para subjeknya. Jika para pelajarnya tidak mau meningkatkan kompetisi dan kompetensinya; ya bagaimana bisa pendidikan kita akan maju. Pendidikan kan idealnya proses dua arah untuk saling belajar demi mencapai tujuan masing-masing. Jika salah satu (bahkan dua-duanya) kehilangan motivasi untuk saling belajar; sampai kapanpun, jutaan esai dan penelitian tentang pendidikan kita, hanya menjadi sampah. Menurut saya, yang perlu direvolusi bukan cuma mental saja; tapi justru harus sampai karakternya, sampai ke kebiasaannya. 

Sependek pengetahuan saya, orang-orang yang hidup dengan western culture; memiliki daya saing yang tinggi. Melihat orang lain bisa, maka dia juga akan mengejar ketertinggalan itu. Sebisa mungkin, dia akan menjadikan musuhnya sebagai tandem yang konstruktif untuk dirinya. Oh ya… ironis lagi. Saya kuliah di jurusan Sastra Inggris; di mana budaya barat sangat mendominasi lingkungan perkuliahan saya. Tapi, saya sadar; saya masih di Indonesia. Bertemu dengan para mahasiswa Indonesia yang mewarisi mental yang perlu direvolusi. 

Saya harap, para dosen kini cukup mengerti kenapa tiap kali perkuliahan dimulai, mahasiswa jarang ikut terlibat aktif dan menjawab pertanyaan dengan jawaban cerdas. Tapi saya yakin, mahasiswa yang cerdas tak akan tunduk pada celetukan tak bermanfaat seperti itu. 

Saya harap, beliau-beliau (khususnya dosen wali) mau membantu para mahasiswa yang mengalami masalah seperti Mawar. Masa-masa kuliah, saya kira kurang tepat, jika ditasbihkan untuk masa-masa egoisme pribadi. Kultur yang saya dapat selama ini senada dengan kalimat, “Iya dulu SMA. Ada yang ngurusin. Sekarang kuliah, ya urus saja dirimu sendiri.” Saya menangkap pesan positif untuk mandiri; tapi bukan berarti lantas harus egois, bukan? Justru di masa-masa inilah kesempatan terbaik untuk belajar hidup bersama dengan benar; belajar menghargai dan menghadapi tantangan; belajar membangun diri sendiri dengan pikiran-pikiran positif. 

Ah… baik… kembali saja ke topik awalnya. Ayolah, mahasiswa Indonesia… kita tidak akan pernah bisa membangun negara kita jika yang kita pikirkan sedangkal itu dan masih saling iri. Daripada menghabiskan waktu nongkrong tidak jelas dan bergosip ria atau main game; lebih baik pikirkan sesuatu yang bermanfaat dan berkontribusilah untuk Indonesia. Kontribusimu, sekecil apapun itu; akan mengubah generasi yang akan datang. 

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

Jagal, Begal, Gagal!

Berhubung kemarin baru saja submit abstrak ke IACS-inter asia cultural studies Conference 2015 tentang identitas free man film Jagal atau The Act of Killing; aku jadi tertarik menghubungkan antara apa yang terjadi dalam film tersebut, fenomena begal-an yang lagi marak, dan akhirnya malah merujuk pada sebuah negara gagal.

Secara singkat, film Jagal bercerita tentang pembantaian yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila terhadap sekitar 1000 orang yang diduga anggota PKI di Sumatera Utara. Untunglah bentuknya film dokumenter; bukan film narasi. Betapa ngerinya jika nonton film narasi; meskipun aku tahu itu artifisial belaka. Pemerintah (baca: militer) jelas berang dengan produksi Joshua Openheimer ini; bagaimana tidak, sejarah buram yang mereka buat akibat peristiwa G30S/PKI ditampilkan kembali, lengkap dengan penutur pelaku pembantaiannya. Sang pelaku, Anwar Congo dan seorang rekannya, mengaku bangga melaksanakan ‘perintah’ tersebut (ketika masa mudanya di tahun 66). 

“Kami itu free men,” begitu katanya (dengan sedikit perubahan). Kata free men inilah akar dari kata preman yang kita dengar sekarang ini. 

Co-sutradaranya yang disamarkan dengan anonim (karena tidak aman untuk mengungkapkan namanya); mengatakan negara akan rusuh seperti kejadian 65-66, bahkan 98, jika pemerintah masih membangun negara dengan kebohongan, keserakahan, dan kemunafikan atas dasar keuntungan pribadi dan golongan. Demi mengamankan posisi, mereka menciptakan identitas free men  yang diberikan kepada rakyat ‘bawah’ untuk mengerjakan tugas-tugas yang bisa membahayakan mereka. Identitas ini seakan memberikan legitimasi kepada segolongan orang untuk berbuat seenaknya; bahkan hingga urusan mencabut nyawa. Pun, tentu saja rakyat menerimanya karena akan diberikan ‘imbalan’ duniawi.

Nah, motif ekonomi lagi-lagi menjadi penyebab kerusakan yang tak henti-hentinya di Indonesia masa kini; setelah 3 tahun dari pemutaran film Jagal. Fenomena begal di hampir seluruh Jawa akhir-akhir ini meresahkan masyarakat. Banyak motor dan jiwa melayang kena clurit, bahkan sekedar untuk melepaskan motornya. Mereka, para pembegal, terkenal punya ilmu kebal yang membuat mereka tak mempan dilukai; tapi membawa pedang ke mana-mana untuk menyerang korbannya yang bahkan tak mempunyai senjata apapun.  

Berikut ini tanggapan wakil presiden RI, Pak Jusuf Kalla soal pembegalan (sumber lihat di sini)

Menurut Wapres Kalla, dirinya terkejut dengan aksi tersebut di tengah-tengah persoalan bangsa.

“Saya menduga, sistem pendidikan karakter kita yang perlu dibenahi lagi di sekolah dan dalam pergaulan sehari-hari,” tuturnya.

Lucu rasanya melihat tanggapan ini. Apalagi dengan kalimat pertama dari berita di atas. Terkejut dengan aksi tersebut di tengah-tengah persoalan bangsa. Berarti aksi human error menjadi cobaan di era Yang Terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Jika Anda terkejut, berarti Anda belum siap dengan segala resiko dan konsekuensi menjadi pucuk pemerintahan negara. 

Sebenarnya, yang paling punya efek signifikan terhadap fenomena-fenomena ini adalah pemerintah sendiri; bukan pendidikan. Lihat saja di media mainstream, persoalan bangsa yang kerap terjadi adalah pembegalan uang rakyat dan hukum. Dunia politik dan pemerintahan sekarang punya sinetron sendiri; Tukang Bubur Naik Haji atau Jodha Akbar mungkin bakal tersaingi episodenya. Dan ya… itulah yang dilihat masyarakat tiap hari. Lantas, bagaimana Anda bisa terkejut?

Motif para pembegal adalah finansial yang tak kunjung membaik; tapi harga terus merayap naik. Sistem kapitalisme yang sedang menjerat kita memang cukup sadis; tapi tak bisakah pemerintah membuatnya lebih ramah untuk masyarakat? Susah memang punya presiden mental pengusaha yang tak diimbangi mental menyejahterakan rakyatnya.

Jangan-jangan, para pembegal (yang bisa jadi belum nonton film sejarah berjudul Jagal) juga sudah beridentitas free men. Toh, mereka mengklaim dirinya bisa sekehendak hatinya berbuat apa, asalkan mendapatkan apa yang mereka inginkan.  

image

Akankah episode Jagal dan para begal ini berujung pada episode negara gagal?
Ya, tunggu saja sang sutradara akan berkata seperti apa.

Jangan lupa berdoa setiap waktu.

Up ↑