“… susah melihat orang lain senang, senang melihat orang lain susah…”
Kata-kata di atas adalah kutipan dari Prof. H.E. Mulyasa dalam bukunya yang berjudul Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013.
Beliau memasukkan perkataan itu untuk merujuk pada mental masyarakat Indonesia yang dapat menghalangi terjadinya pembangunan di negeri kita ini. Wah, hati-hati; mari koreksi diri sendiri. Mari bertanya, apakah kita termasuk salah seorang yang bersikap demikian?Kalau ya; mental kita perlu direvolusi.
Pun, begitulah yang terjadi pada (sebagian) mahasiswa Indonesia. Saya mahasiswa; dan saya merasakan hal itu di tempat saya berkuliah. Ketika saya niat untuk meningkatkan kualitas akademik (ironisnya, mayoritas mahasiswa akan berkilah dengan kalimat “kuliah itu gak cuma nyari IPK!”), lantas ada beberapa orang yang menilai negatif. Banyak yang berkomentar bahwa saya cari muka, egois, sombong, sok tahu, dan segala label negatif yang dibicarakan di belakang punggung. Tidak hanya saya; pun beberapa teman yang memang betul-betul niat berprestasi, juga menjadi korban mereka. Apalagi ketika semester mulai menua. Ini realita.
Terkesan seperti mem-bully?
Sebetulnya, saya dan beberapa teman yang menjadi korban justru mendapatkan keuntungan agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan kritikan pedas itu. Kritikan ada untuk membangun diri; benar, kan? Hanya saja, ketika kritikan itu jadi kacang goreng dan dicemil rame-rame; di situ kadang saya merasa sedih. Saya jadi bertanya, tidak adakah hal-hal yang lebih bermanfaat yang bisa dibincangkan selain cerita, takdir, dan kekurangan orang lain? Saya juga heran; jika aib mereka dibicarakan rame-rame seperti itu; apa mereka tidak malu barang sedikit? Kalau kata Rasulullah, membicarakan aib orang lain seperti memakan bangkai saudaranya. Eww.. Saya sih no.
Menurut saya, akan lebih baik jika ada kesalahan atau sikap yang tak berkenan di hati itu langsung dibicarakan dengan si empunya yang punya sikap. Biar dia tahu apa kesalahannya dan meminimalisasinya.
Ada salah satu teman saya (sebut saja Mawar) yang emosinya sedikit terganggu gara-gara ini. Motivasinya turun dan dia seperti mengalir begitu saja; saya kasihan melihatnya. Semester lalu, saya mempercayainya untuk menjadi produser drama kelas. Saya memilihnya karena saya melihat dia punya kompetensi di bidang itu. Dari situlah, ada beberapa orang yang iri dan mulai membicarakannya dari belakang (ini adalah dampak negatif dari sifat kolektivisme rakyat Indonesia). Alasan mereka tidak setuju adalah karena Mawar suka tidur dan malas. Tapi sebelumnya, ketika saya membuat forum dalam kelas untuk memilih sutradara; tidak ada yang mengajukan diri dan tidak ada yang protes di tempat. Padahal saya sudah memberikan kesempatan bertanya dan keberatan. Bukan salah saya dong, kalau saya langsung menunjuk Mawar karena dia mampu.
Bisa jadi, yang merusak pendidikan di Indonesia itu bukan hanya sistemnya; tapi juga para subjeknya. Jika para pelajarnya tidak mau meningkatkan kompetisi dan kompetensinya; ya bagaimana bisa pendidikan kita akan maju. Pendidikan kan idealnya proses dua arah untuk saling belajar demi mencapai tujuan masing-masing. Jika salah satu (bahkan dua-duanya) kehilangan motivasi untuk saling belajar; sampai kapanpun, jutaan esai dan penelitian tentang pendidikan kita, hanya menjadi sampah. Menurut saya, yang perlu direvolusi bukan cuma mental saja; tapi justru harus sampai karakternya, sampai ke kebiasaannya.
Sependek pengetahuan saya, orang-orang yang hidup dengan western culture; memiliki daya saing yang tinggi. Melihat orang lain bisa, maka dia juga akan mengejar ketertinggalan itu. Sebisa mungkin, dia akan menjadikan musuhnya sebagai tandem yang konstruktif untuk dirinya. Oh ya… ironis lagi. Saya kuliah di jurusan Sastra Inggris; di mana budaya barat sangat mendominasi lingkungan perkuliahan saya. Tapi, saya sadar; saya masih di Indonesia. Bertemu dengan para mahasiswa Indonesia yang mewarisi mental yang perlu direvolusi.
Saya harap, para dosen kini cukup mengerti kenapa tiap kali perkuliahan dimulai, mahasiswa jarang ikut terlibat aktif dan menjawab pertanyaan dengan jawaban cerdas. Tapi saya yakin, mahasiswa yang cerdas tak akan tunduk pada celetukan tak bermanfaat seperti itu.
Saya harap, beliau-beliau (khususnya dosen wali) mau membantu para mahasiswa yang mengalami masalah seperti Mawar. Masa-masa kuliah, saya kira kurang tepat, jika ditasbihkan untuk masa-masa egoisme pribadi. Kultur yang saya dapat selama ini senada dengan kalimat, “Iya dulu SMA. Ada yang ngurusin. Sekarang kuliah, ya urus saja dirimu sendiri.” Saya menangkap pesan positif untuk mandiri; tapi bukan berarti lantas harus egois, bukan? Justru di masa-masa inilah kesempatan terbaik untuk belajar hidup bersama dengan benar; belajar menghargai dan menghadapi tantangan; belajar membangun diri sendiri dengan pikiran-pikiran positif.
Ah… baik… kembali saja ke topik awalnya. Ayolah, mahasiswa Indonesia… kita tidak akan pernah bisa membangun negara kita jika yang kita pikirkan sedangkal itu dan masih saling iri. Daripada menghabiskan waktu nongkrong tidak jelas dan bergosip ria atau main game; lebih baik pikirkan sesuatu yang bermanfaat dan berkontribusilah untuk Indonesia. Kontribusimu, sekecil apapun itu; akan mengubah generasi yang akan datang.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!