Dulu, salah seorang sahabatku pernah bercanda, “Makanya jangan jadi anak pertama… Enakan jadi anak kedua. Hihihi.”
Kalau sudah begitu, aku cuma manyun saja. Mau nggak mau, juga terima nasib. Siapa juga yang nentuin mau jadi anak pertama atau anak bontot, ya kan?
Apa pasal dia bilang begitu?
Ya, anak pertama memang ‘seakan-akan’ jadi orang tua pengganti; menjadi contoh bagi adik-adiknya; jadi role model yang bakal ditiru mereka; tanggung jawabnya itu lho besar sekali. Jujur saja, aku sering punya perasaan seperti itu. Sisi positifnya adalah, aku jadi bisa belajar lebih dewasa, mengerti dengan situasi dan kondisi orang tua, mengerti bahwa suatu saat akulah yang pertama kali akan mengambil keputusan penting saat orang tua kami sudah tiada.
Contohnya, ketika aku sudah punya sepeda motor, aku suka berkeliling Surabaya, mampir di tempat-tempat (*bukan tempat negatif kok) yang belum aku tau untuk mengurus ini itu. Aku juga harus berani mondar-mandir ke beberapa kantor pemerintahan, pajak, pos, mengambil rapor, sampai urusan rumah sakit pun pernah kutangani. Semua itu karena, “Annisa kan anak paling tua.” Ya, ya.
Pun ketika aku masuk SMA, aku mulai berkecimpung di dunia organisasi. Maka yang aku lakukan adalah mencoba membangun relasi yang akan berguna di masa depan. Ya… inshaAllah ada manfaatnya. Aku juga mulai mencari penghasilan sendiri sebagai guru les. Alhamdulillah, otak encer yang dianugerahkan padaku ini membawa berkah. Meskipun harus mengorbankan jatah mainku, tapi hal ini justru membawa manfaat yang sangat besar padaku. Aku mulai bisa memenuhi kebutuhan pribadiku tanpa harus meminta-minta lagi pada orang tua (*kecuali untuk yang benar-benar butuh pengeluaran besar). Meskipun, aku juga pernah sakit parah gara-gara jadi seorang workaholic demi mewujudkan ambisi pribadi beli barang-barang impian. Hehe.
Alhamdulillah, adikku yang pertama sudah menunjukkan langkah mengikutiku. Sekarang dia sudah mulai menjalankan bisnisnya sendiri meskipun masih jadi agen pulsa dan jualan HP, ia mulai mandiri dan bisa membantu meringankan beban orang tua kami. Dia tahu bahwa dia harus mulai mencari dan mengikuti passionnya. Aku berusaha mendukungnya agar ia tetap setia dan teguh di jalannya, meskipun kadang harus berselisih pendapat dengan ayah bahwa adikku ini bisa disamakan denganku yang senang mengajar. Padahal, passionnya adalah bisnis, komputer, dan jadi aktivis lingkungan. Aku yakin, dia akan jadi seseorang yang hebat kelak. Aku yakin itu, dia hanya perlu terus belajar dan membuka wawasannya lebih luas lagi.
Adikku yang kedua, the little princess yang baru naik kelas 2 SD, kini masih mengasah bakat bicara dan kepeduliannya yang begitu kuat pada orang lain. Kadang-kadang, perasaan dan dirinya sangat rapuh. Dan aku mengerti alasannya. Kalau sudah begitu, aku pasti memeluknya erat, lalu mengusap-usap kepalanya, dan menghiburnya. Nah kan, kini aku seperti menjadi orang tua, bukan kakaknya. Haha.
Adikku yang pertama sering bilang padaku, “Biar aku kaya sampean, Mbak. Bisa beli apa-apa sendiri dan nggak minta lagi sama Mama. Biar aku juga bisa meng-Haji-kan Mama sama Ayah.” MashaAllah, ya, tentu saja kuaminkan. Karena sudah jadi tugasku mengajak kita semua jadi manusia yang bermanfaat dan sukses dunia akhirat sepeninggal Ayah dan Mama.
Jadi, buat anak-anak pertama, kita senasib. Jangan pernah lelah untuk menjadikan keluargamu, khususnya adik-adikmu, sebagai keluarga penghuni surga. Karena Allah akan ganti setiap kelelahan itu dengan limpahan keberkahan dan kasih sayangNya.
Kamu yang jadi anak pertama, gimana? ^_^