Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Category

Story

You (#1)

It is like a general love story one has ever made. Simple, cute, and always happy in the beginning; but mostly terrible in the end. But to make it different, I want to say it through the song lyrics. It surely would have mixed lyric from .

This first one, I would like to write about

My whole world changed from the moment I met you. And it would never be the same.
(I Do – 911)

It was a hot afternoon. I was really hungry, and exhausted. Thinking about my future plans in doing research funded by the Ministry of Higher Education in my campus, my mind gave up to my starving stomach to go to the canteen. That day, I conducted semi-quantitative research in my former high school; so I asked some teachers to help me spreading the questionnaires to their students. In a brief, I did on research about innovative learning and teaching styles using 8 ways of students interests. However, they seemed to be not liking the research activities. Yeah, I understood.

Back to my story. I walked to the canteen. And there he was. I admit that I have written this part of story many times. However this was how everything begins; and I always love to play it over and over again. I ordered a meal, spicy chicken with rice and salad. He ordered a bowl of noodle. Just because I recognized him as the same-year schoolmate and my bestfriend’s friend, I waved to him and requested him to sit with me.

I had not known him in person before, but that time, it was different. He asked me what I was doing there and so did I. From this simple conversation, I knew a fact that he just published one of his campus’ event in my school. He also started to tell me everything, about his study in one of the most expensive private campus in the city. About his riding hobby, about his organization in campus. And I sat there listening to him and replying his stories with mine. Well, it was a fine afternoon and a discussion with such an old friend. (wait, an old friend?) It was just like I met him after a long separation (?). After this, we got back to our campuses.

Not long after that, my lecturer assigned me to do a field research about youth culture. Then, i remembered that he was active as the member of big-bike community. Actually, I had several communities to be researched; K-pop lovers, gamers, football fans, and muslim youth. Yet, I decided to choose his community because I thought an issue related to the big-bike driver was becoming a hot topic on the media. From there, I contacted him starting to discuss about the topic with more intense frequency. I attempted to reduce the gap. I followed him and arranged some meetings with the other members of community. I, of course interviewed him and his friends to acquire the data I sought. He also gave me some videos to understand how the moto-lovers would do anything for their motorcycles (his analogy about his bike is like a hot-and-sexy girl). Yes, this community was so masculine (not to discuss around gender limitation and perspective).

I got so comfortable with these activities, research I meant. And maybe with him too. Because every time I got engaged with his community and the books, and the interviews, and the scripts, I was happy all day. Despite its complicated and messy schedules, I was smiling all day to make the thoughtful and resourceful report. Certainly, in the end, I got an A for the research!

And in the end, it turned out to be an unstoppable temptation.

A great kick start about my research career has begun. Projecting myself as a keen, diligent, and fearless researcher in the future drives me to take further steps to have more research, more presentation, and as a result, more journeys! After all that research on his community, I got a summer camp scholarship in National University of Singapore; it was my first time abroad. I had to present my research in the most prestigious conference on earth, Inter Asia Cultural Studies; where all of my audiences are the professors, PhD and master candidates, and international journalists (you know, even my Dean was there) just because my presentation had the similar topic with Mr. John Roosa and his wife, one of prominent scholars from Canada experts on history and human rights. The next year, I was also invited in a conference in Cambodia and short program in Japan, the country I had been dreaming for six years.

This is why I name this episode with the very first line of 911 song. Because simply when I met him, my whole world really changed.

Ke Manakah Perginya?

Dulu sekali, aku pernah bertemu dengan seorang anak perempuan yang cerdas, baik hati, dan shalihah. Hingga orang tua teman-teman lelakinya ingin menjadikannya calon menantu mereka di masa depan. 

Kenapa bisa begitu?

Dia adalah gadis yang manis; jawaban tegas dengan pandangan yang luas membuat banyak orang terkagum. Saat itu, memang belum ada internet, tapi ia adalah seorang kutu buku kelas wahid. Dari biografi Rasulullah, ilmuwan dunia, hingga novel Harry Potter serta DaVinci Code tandas dibacanya. Karena itu, dia menjadi gadis yang tak malu bertanya dan menjawab pertanyaan, atau mengusulkan jawaban yang benar dengan bukti saat ia tahu orang lain melakukan hal yang salah.

Ia suka bernyanyi dan bermain musik. Lagu favoritnya adalah lagu-lagu Siti Nurhaliza dan Rossa. Warna suara mereka mewarnai hari-hari gadis itu. Ternyata, dia dulu pandai menari; dari tari tradisional hingga tari modern. Ia pandai sekali, hingga ia pernah berpikir bahwa kelak, ia akan menjadi penari saja. Tentang menari, suatu saat dia cerita bahwa hanya dialah yang bisa melakukan gerakan kepala sesuai instruksi guru tari di sekolahnya, hingga ia didapuk sebagai asisten tari untuk mengajari teman-temannya. Senyumnya mengembang dan matanya bersinar-sinar saat ia menceritakannya padaku. Ah, ia juga suka mengkombinasikan nada dari tuts-tuts keyboard dengan jemari pendeknya. Jadi, selagi ada kesempatan, dia mengiringiku dengan melodinya saat aku tiba-tiba mendendangkan sebuah lagu. Hebat kan, dia… Bisa membaca nada suaraku. 

Tapi, jangan salah. Meski begitu, gadis ini juga pandai melantunkan shalawat dan ayat suci Al-Quran. Shalatnya selalu tepat waktu, di masjid pula. Ustadz dan ustadzahnya sering terkesima dengan bacaan tajwidnya yang mendekati sempurna. Karena itulah, dia diminta menjadi lead vocal shalawat di TPA nya. Ia selalu di peringkat teratas kelas mendaras Quran, dan duduk paling depan saat kelas Ta’lim. Di sekolah, saat teman-temannya masih belajar Iqro’, dia sudah lancar membaca Quran dengan tilawah dan tajwid.

Ah ya, dia adalah sang ketua kelas yang selalu juara kelas. Dia sering jadi juara olimpiade mata pelajaran matematika, sains, dan bahasa Inggris. Dia agak komplain soal guru-gurunya sering usul kepada orang tuanya untuk mengadakan “selamatan” setiap pasca lomba. “Uang hadiahku kan akan berkurang…”, katanya. Aku tertawa, kubilang “Tidak. Itu namanya sedekah, dan itu akan membuat hartamu semakin berkah”.  Dia juga percaya, bahwa kemampuan berbahasa asing itu akan membawanya pergi ke tempat-tempat di buku yang dibacanya. Suatu hari.

Untuk itu, dia harus mempersiapkan ketrampilan hidup yang diasah lewat Pramuka. Dia adalah ketua regu Anggrek 3. Ia selalu memastikan bahwa setiap anggota bekerja sesuai kemampuannya untuk mencapai tujuan bersama; tak jarang, regunya acapkali unggul dibanding yang lain. Tapi, jika ada seseorang yang kesulitan, ia tak ragu membantunya.

Lalu, karena suatu dan lain hal; aku harus pergi meninggalkannya sendirian. Tapi aku berjanji padanya untuk kembali dan mendengar kisah lengkapnya. Dia pun berkata, “Kalau kau kembali, aku ingin kau mendengar kisah cintaku.” Ya, gadis seusianya sudah bisa merasakan perasaan itu. Baiklah. Aku pun mengucapkan salam perpisahan padanya. Dia melambaikan tangan padaku.

Sekarang, waktuku sudah agak longgar, dan aku rindu sekali padanya. Aku ingin mendengar ceritanya lagi. Kuhampiri ia. Tapi, ke mana perginya? Mungkinkah dia sembunyi?

Sungguh, aku ingin bertemu dengannya.

Penyakit Mahasiswa (yang sudah lama di) Jawa: Katak dalam Tempurung

Hari ini aku cukup lama berbincang dengan salah satu temanku, Icha, setelah dia pulang dari kegiatan PPAN di China. Icha, anak kuliahan asal Gresik yang selalu bersemangat dan berambisi tapi realistis ini sedang aktif-aktifnya membina kelompok masyarakat di bantaran kali Jagir, di bawah payung organisasi Urban Care Community.

Obrolan kami berdua awalnya karena aku ingin mencoba “melakukan pengabdian yang benar-benar memanfaatkan ilmuku” di bidang media dan studi budaya bekerja sama dengan komunitasnya; tapi ternyata hal ini melebar hingga kami membahas soal pengalamannya di China dan ceritaku soal KKN Kebangsaan. 

Satu kesamaan kami terhadap dua program yang menyatukan para mahasiswa Indonesia itu adalah, “Ternyata Indonesia tak hanya berisi orang Jawa dan Bali.”

Wajar saja, ketika program itu berlangsung, kami ‘dikumpulkan’ dalam satu wadah dan diberi suatu proyek untuk dikerjakan bersama. Kami ini; sudah orang Jawa tulen, sekolah tak pernah pindah dari Pulau Jawa, tiap hari berbahasa Jawa, menikmati hiburan-hiburan urban di Jawa, dan terkena efek dari pemerintahan zaman Soeharto yang Jawa banget dari orang tua-orang tua kami; hanya bisa meratapi rasa malu dan cupet karena belum pernah merasakan asyik serta serunya berkumpul dengan saudara-saudara dari Sabang sampai Merauke. 

Sebenarnya, sudah sejak pulang KKN Kebangsaan aku memendam topik ini untuk ditulis, tapi sekarang baru menemukan waktu yang tepat untuk menuliskannya (di antara deadline paper dan ppt diskusi besok). 

Oke, balik lagi. Icha bercerita dengan sangat antusias bahwa dia tak pernah bosan menyanyikan dan mendengarkan lagu daerah dari seluruh Nusantara, plus menari kalau bisa. “Musik mereka itu juga seru lho, Mik…“. Dan bahkan dia bilang tak ada lagi lagu bernuansa barat selama ia berada di bus yang membelah daratan China. 

“Aku sampai merinding waktu kita nyanyi lagu Gemufamire dan Indonesia Tanah Air Beta di depan Pemerintah China,” lanjutnya.

Percayalah, aku pun merasakannya dari caranya bercerita. Dia sampai menggoyang-goyangkan badannya demi mengingat ritme lagu yang dimainkannya. 

Begitupun denganku. Selama ini, aku hanya menyaksikan orang suku Melayu, Batak, Dayak, Bugis, NTT, atau Papua hanya melalui buku dan internet. Tak pernah bergaul dan berinteraksi secara langsung dengan mereka. Kalaupun ada, paling keluarga dari Bude yang asli Bugis, dan itupun hanya kulakukan 4 tahun sekali ketika aku berkunjung ke Kalimantan atau Bude yang ke Surabaya. Di luar itu, hidupku penuh drama produksi Barat, Korea, dan kadang film apik Indonesia (re: Jawa Urban).

Lalu, tiba-tiba saja pengumuman KKN Kebangsaan datang dan memanggilku untuk mengabdi ke pelosok negeri di ujung barat laut Indonesia, dekat dengan Malaysia dan Singapura. Di sinilah aku bertemu dengan para mahasiswa hebat dari daerah yang tak kenal lelah berjuang demi kesetaraan sosial di banyak bidang. Tidak meratanya pembangunan infrastruktur dan suprastruktur di daerah mereka justru menjadikan mereka pejuang tangguh, yang kerap menyuarakan tuntutan dan teguran keras kepada pemerintah Indonesia di pusat (Jawa), tapi beritanya seringkali dibungkam dan (mayoritas) mahasiswa di Jawa acuh terhadap mereka ini. 

Mungkin memang karena para mahasiswa di Jawa sudah sangat nyaman dengan zonanya, dengan gadget, internet, dan segala kemewahan hidup yang ditawarkan di sini; mereka kadang lupa soal perjuangan saudara-saudara mereka di luar Jawa. Dan seperti kata Ben Anderson, menjadi katak dalam tempurung yang sengaja memenjarakan pikiran-pikirannya, dan berhenti peduli pada sesama.

Duh, separah itukah para mahasiswa di Jawa? Duh! Kelak, setelah ini, aku paham bahwa untuk mengisi kemerdekaan, tak cukup kita melihat Indonesia dari kacamata sempit dari Pulau Jawa saja. Karena sudah seharusnya kita melihat dari sudut pandang saudara kita yang lain; kan katanya Bhinneka Tunggal Ika. Kok masih ogah mengenal negaranya sendiri?

AriReda: Suara Hati

Seorang filsuf estetika, Walter Benjamin, pernah berkata, “Ketika manusia sudah mulai mengkonsumsi karya seni (cetakan industri budaya) populer, mereka akan kehilangan kenikmatan menyaksikan karya berkualitas yang masih penuh dengan aura di dalamnya.”

Malam itu, aku dikompori seorang senior progresif untuk menemaninya datang menemui Mbak Reda. Sejak pertama kali memberikan poster acara via Whatsapp, dia gembira bukan main karena akhirnya bisa reunian dengan Mbak Reda setelah sekian lama. Tapi tetap saja, aku masih clueless, who is this woman.

“Itu lho, AriReda. Yang bikin musikalisasi puisinya Sapardi.” 

Merekognisi kata Sapardi Djoko Damono sebagai salah satu sastrawan terbesar di Indonesia, naluri ketertarikanku sebagai anak sastra langsung bangkit. Ah, it must be something related with literature and classy stuff.

“Wah, pasti keren, Mbak!” 

Tak butuh waktu lama untukku mengetik nama AriReda di Youtube dan Instagram. Aku mendapatkan video AriReda sedang membawakan puisi Sapardi yang terkenal se-jagad Indonesia, Hujan Bulan Juni dengan alunan musik akustik yang lembut, tapi menggugah. Pun di Instagram, alih-alih mendapatkan akun Mbak Reda, aku tertumbuk pada akun IG Nadine Chandrawinata yang menceritakan pertemuannya dengan Mas Ari dan Mbak Reda di suatu acara. Artis yang akhir-akhir ini sibuk menjadi petualang tersebut tak henti-hentinya memuji karya mereka berdua dengan kata-kata “suara teduh, alunan indah” dan semacamnya. 

Selama ini, aku adalah penikmat musik-musik mainstream yang populer pada jamannya, tapi aku juga tak seberapa suka lagu-lagu sekarang yang liriknya (kebanyakan) tak berbobot dan terlalu vulgar. Aku juga tak belajar begitu dalam soal musik, meskipun itu adalah salah satu bentuk seni; setidaknya aku sedikit tahu soal mana musik yang bagus untuk dinikmati. Nah, mendengarkan musikalisasi puisi ala AriReda adalah sesuatu yang baru buatku, dan aku punya feeling, konser malam itu akan menakjubkan!

Dulu aku juga pernah melakukan musikalisasi puisi di kelas 9 & 10. Meskipun aku melakukannya karena guruku memberi tugas, entah kenapa aku jadi suka perpaduan antara musik dan puisi. Keduanya menyatukan tiga elemen yang berbeda; kata, suara, dan rasa. Puisinya jadi lebih cepat meresap dan mudah dimengerti, sementara musiknya punya lirik yang bermakna, tak sekedar nyanyian biasa. Tapi ya namanya tugas anak sekolah, musikalisasi pun dilakukan ala kadarnya, dan guruku oke-oke saja dengan variasi puisi ala kelompokku. Di sinilah kesan pertamaku terhadap musikalisasi puisi, hingga aku mendengar suara berbeda dari musik yang dibawakan AriReda, dengan rasa yang semakin kaya!

Kembali ke masa kini. Jadi, kami berdua telah datang bahkan sejak sebelum acara dimulai. Seniorku itu berharap supaya bisa menemui Mbak Reda in person dan ngobrol banyak dengannya. Aku sih, manut saja. Tapi ternyata, AriReda memang baru hadir di depan kami 10 menit menjelang waktu tampil mereka. Begitu ada Mbak Reda, seniorku itu langsung menghampiri, memeluk, sekaligus mencak-mencak kegirangan. Dan, hal yang kurang lebih sama dilakukan Mbak Reda. Mereka pun ngobrol tanpa henti, sampai akhirnya diminta salah satu kru untuk bersiap manggung. Kesan pertamaku, Mbak Reda orangnya jauh dari ngartis dan pasti termasuk orang-orang dinamis yang manis. Aku dibuat penasaran dengan latar belakang mereka di luar identitas mereka sebagai seniman.

Tak lama, Mas Ari dan Mbak Reda naik ke panggung. Mas Ari sudah siap dengan gitar akustiknya, Mbak Reda dengan buku teks puisinya. Tampilan mereka sederhana saja; nuansa hitam elegan, tapi tetap chic dikenakan. Rupanya, Mbak Reda tak suka jauh dengan audiensnya. Diajaknya kami semua maju satu cm sampai ke depan panggung, hal yang tak dilakukan band-band lain pengisi acara malam itu. Tentu saja, dengan senang hati kami melakukannya. 

Seperti biasa, mereka memperkenalkan diri, mencoba menjawab penasaran anak-anak muda di depan mereka. Ternyata, Mbak Reda adalah salah satu mahasiswi Sastra Perancis UI di tahun 1980-an, yang juga menjadi mahasiswi Pak Sapardi. Sementara Mas Ari adalah penikmat sastra yang dengan senang hati mewujudkan mimpi Pak Sapardi untuk memperkenalkan puisi kepada masyarakat dalam proyek musikalisasi puisi di zaman itu. 

Jadi, bisa dibayangkan lah, berapa usia para sesepuh ini sekarang. Aku salut dengan semangat mereka yang tak berhenti berkarya di usia yang seharusnya menikmati kemapanan seperti beliau. 

Tanpa banyak basa-basi lagi, Mbak Reda mulai memberikan pernyataan di awal lagu tentang puisi yang akan dinyanyikannya. Aku berharap lagu pertama adalah Hujan Bulan Juni, tapi ternyata yang terpilih adalah puisi berjudul Gadis Peminta-minta; aku pernah membacanya ketika sedang mengerjakan UN SMA. Mendengarkan suara teduh (aku setuju dengan istilah Nadine) Mbak Reda serasa melihat langsung kehidupan gadis kecil yang diceritakannya dalam puisi. Nyata. Ada. Tau kan, rasanya ingin menangis di depan anak kecil tapi di sisi lain, ada rasa untuk membuatnya tetap tegar? Begitulah. 

Apakah ngantuk mendengarkan musik ini? Sama sekali nggak ada ngantuk. Sama ketika aku mendengarkan River Flows in You atau Kiss The Rain nya Yiruma; bukan ngantuk yang kudapat. Baper iya…. 

Cuma ada yang aneh dengan reaksi orang-orang sekitar. Dari awal band pembuka, banyak yang matanya tak fokus dengan penampil di depan. Bahkan, tepuk tangan terasa canggung. Segala bentuk gadget (Smartphone, kamera digital, go pro, DSLR, tele) berseliweran untuk mengambil momen-momen langka yang kerap terjadi saat waktunya tak terduga. Bukan malah menikmati konser dan musiknya… 

Hal yang berbeda terjadi sejak Mbak Reda meminta penonton maju agar lebih dekat dan hampir tak berjarak. Semuanya terbius dengan dentingan gitar akustik Mas Ari, suara bening Mbak Reda, dan lirik-lirik indah para sastrawan dalam puisi. Meskipun banyak di antara wajah-wajah ini yang tak mengerti (mungkin mereka juga sudah biasa dan suka  aliran mainstream) dengan maknanya, tapi setidaknya kami mencoba mengapresiasi musik sejujur-jujurnya dengan cara sepenuhnya fokus pada sang penampil. AriReda telah berhasil mengajak kami untuk “merasakan lebih dalam” dan “lebih peka” dengan “yang terlihat biasa”.

Di sini aku baru paham, apa makna perkataan Walter Benjamin di atas. Bahwa “aura” suatu karya seni, akan terlihat dan terasa dalam bentuk aslinya. Tentu saja berbeda dengan jika kita menikmati musik atau karya seni laiannya via media apapun. Menikmati secara langsung dan di tempat yang tepat memang memberikan sensasi tersendiri, dengan keberadaan ruang dan waktu yang khusus. Ia menciptakan pengalaman yang nantinya menjadi memori-memori kita. Mungkin bisa diceritakan, untuk memberi pelajaran di masa depan yang mungkin akan semakin cepat dan dinamis. 

Mungkin, generasi depan sudah tak tau lagi, betapa asyiknya menikmati karya klasik secara live, atau bagaimana serunya bertemu para seniman secara langsung dan bertukr pikiran dengan mereka; seiring dengan semakin berkembangnya teknologi media dan mudahnya industrialisasi budaya. (Maaf topiknua tetiba berat). 

Semoga kelak mereka masih diberikan kesempatan untuk mendengarkan dan menikmati seni yang berkualitas yang tak cuma mementingkan kuantitas atau penggemar. Tapi seni yang benar-benar dilahirkan dari kegelisahan hati para penciptanya, yang biasanya menjadi jawaban pemenuhan jiwa.

Protected: Untitled #2111

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Three Hours as Forever

Yes, when we spend time together, as the two blessed people;

recognizing the destiny, gathering our future;

Yes, when we realize that each of us matters to the other;

counting every second to be memorized;

Yes, when we continue to walk side by side;

helping and giving hands to strengthen our journey;

Yes, it’s us;

standing here.

Unbearable Questions for Scholarship Hunters

image

Jadi, apa jawabanmu?
Bukan;

Yang penting adalah BAGAIMANA caramu menjawabnya.
Dari pengalamanku diwawancarai dan bertanya pada scholarship hunters, sebenarnya tidak ada trik khusus untuk menjawab dengan jawaban paling ‘bersayap’, ‘bagus’, atau ‘menarik’. Kenapa? Tentu saja setiap manusia hadir dengan cerita yang berbeda, pengalaman yang bervariasi, dan sikap hidup yang tak sama.

Sekali lagi, bagaimana caramu menjawabnya akan membuktikan bagaimana caramu berpikir. Dan faktor itulah yang akan sangat dipertimbangkan oleh pemberi beasiswa. Yang mereka cari, adalah orang-orang outstanding; yang berbeda dan unik. Yang mampu mencari sudut pandang lain dan tau untuk apa dan bagaimana sudut pandanh itu digunakan. Yang mampu menghasilkan sesuatu dari sudut pandang itu.

Pertanyaan-pertanyaan itu sama; tapi mereka yang outstanding akan tau bahwa kejujuran adalah segalanya. Kejujuran itu akan terpancar sendirinya dari hati yang melakukan kerja nyata, aksi nyata, dan hanya perlu sedikit skill untuk menyajikannya dengan manner dan fluency yang baik.

Di dalam antologi esai yang memuat 50 esai pendaftaran kampus Ivy League (Harvard, Princeton, Columbia Universty, etc); kejujuran dan pengalaman personal itu dikemas dalam jawaban yang well structured, well mannered, dan well planned. Karena hal itu membuktikan bahwa orang-orang itu berhasil mengambil dan mengaplikasikan pelajaran dari hal-hal sederhana di sekitarnya. Ya, tiap orang jelas mendapat pelajaran; tapi tidak setiap orang cukup cerdas dan berbesar hati mengambilnya.

Think about it!

What We Talk Really Matters

We are what we talk about.

Postingan ini masih kelanjutan dari postingan sebelumnya; tapi beda topik. Jadi, setelah menunggu cukup lama di KFC Royal Plaza di lantai 1, Mas Deka, Alex, plus Tante Vila baru muncul. Ooh, ternyata Alex mengira kami semua akan ngumpul di KFC daerah food court di lantai paling atasnya Royal. Tapi yaudahlah ya, karena sudah ketemu; Tante & Deka pesen makan dulu. Aku nemenin Alex ngobrol sambil nanya-nanya hidupnya, kuliahnya dia di Brunei sama liburannya di Jawa Timur.

Ya, sebenernya aku nggak berharap topik-topik berat bakal mendominasi pembicaraan kami karena kami semua di sini sedang dalam masa liburan. Jadi, ya kan mending cerita soal macetnya Surabaya atau soal film terbaru yang bakal rilis di 2016 atau rempongnya Alex di Tulungagung daripada harus ngasih deskripsi soal perbandingan sosial ekonomi antara Indonesia dan Brunei.

And, tadaaa…. it turned to be heavy conversation since Tante and Deka eventually joined on the table. Deka raised the research question prettily and Alex just answered it seriously. Laa… yah… dua anak ini. Akhirnya, mau nggak mau aku sama Tante Vila pun nimbrung soal pajak, inflasi, MEA, hegemoni yang mungkin dilakukan Sultan, pembangunan properti di Brunei vs di Indonesia, dan tetek bengek lainnya sampai debat seru di KFC. Luckily we did it in English; which I hoped most of people there didn’t notice what was actually being talked. Totally academic. Untung masih diselipi guyonan soal hubungannya Alex sama Finie yang ternyata berakhir sebagai teman biasa. Ffiuh…

Bukannya gak setuju sih, tapi aku ngerasa gak enak sama Alex karena dia lagi liburan di sini, seems like he escapes from his life for a moment. But for me personally, I really miss such conversation; because you know my topic with my girls in these recent days are so dominated with lovey-dovey future marriage stuffs which frequently get me tired and a bit hopeless. I needed some triggers and think tank partners to wake me up and boost my spirit to achieve something. I barely need that.

Nah, sedikit nguping di belakang dan di depan meja kami; sekelompok anak-anak kuliahan yang mungkin lagi hang out sama geng ceweknya -mirip dengan apa yang kulakukan sama anak-anak Power Ranger kalo lagi suntuk-; jelas… pembicaraan mereka nggak pernah jauh dari topik menggantung hubungan pribadi, make up, keuangan, dosen, sama keluarga. Tipikal cewek-cewek urban di Indonesia. Dan menurutku, topik-topik seperti ini berujung pada mengeluh tanpa solusi.

Jadi mikir sendiri… bener kalo Roosevelt pernah bilang,

Great minds talk about ideas,

Small minds talk about people.

Ini bukan menggeneralisasi kalo anak-anak muda di Indonesia nggak punya pemikiran yang bagus dan baik lho ya; cuma, kalo pemilihan topik sehari-hari masih seperti itu, jelas negara ini akan sangat lambat perkembangannya. Terlalu banyak mengeluh tanpa solusi yang pasti dan bisa langsung dieksekusi. Tapi, ada beberapa faktor yang belum bisa aku pastikan juga; soal frekuensi komunikasi, soal kedekatan antar persona, atau soal durasi mereka berbicara dan lingkungan tempat tinggal mereka.

Ya, setidaknya aku tau bahwa komposisi topik pribadi dengan pengembangan diri harus disesuaikan porsinya. Dengan siapa, kapan, di mana, dan bagaimana kita berbicara tentu saja mendefinisikan siapa kita sebenarnya. Di era MEA ini, Indonesia butuh anak-anak muda yang pemikirannya jauh ke depan, tetapi melangkah dengan pasti mulai sekarang.

Sentimen Anak Pertama

Dulu, salah seorang sahabatku pernah bercanda, “Makanya jangan jadi anak pertama… Enakan jadi anak kedua. Hihihi.”

Kalau sudah begitu, aku cuma manyun saja. Mau nggak mau, juga terima nasib. Siapa juga yang nentuin mau jadi anak pertama atau anak bontot, ya kan?

Apa pasal dia bilang begitu?

Ya, anak pertama memang ‘seakan-akan’ jadi orang tua pengganti; menjadi contoh bagi adik-adiknya; jadi role model yang bakal ditiru mereka; tanggung jawabnya itu lho besar sekali. Jujur saja, aku sering punya perasaan seperti itu. Sisi positifnya adalah, aku jadi bisa belajar lebih dewasa, mengerti dengan situasi dan kondisi orang tua, mengerti bahwa suatu saat akulah yang pertama kali akan mengambil keputusan penting saat orang tua kami sudah tiada.

Contohnya, ketika aku sudah punya sepeda motor, aku suka berkeliling Surabaya, mampir di tempat-tempat (*bukan tempat negatif kok) yang belum aku tau untuk mengurus ini itu. Aku juga harus berani mondar-mandir ke beberapa kantor pemerintahan, pajak, pos, mengambil rapor, sampai urusan rumah sakit pun pernah kutangani. Semua itu karena, “Annisa kan anak paling tua.” Ya, ya.

Pun ketika aku masuk SMA, aku mulai berkecimpung di dunia organisasi. Maka yang aku lakukan adalah mencoba membangun relasi yang akan berguna di masa depan. Ya… inshaAllah ada manfaatnya. Aku juga mulai mencari penghasilan sendiri sebagai guru les. Alhamdulillah, otak encer yang dianugerahkan padaku ini membawa berkah. Meskipun harus mengorbankan jatah mainku, tapi hal ini justru membawa manfaat yang sangat besar padaku. Aku mulai bisa memenuhi kebutuhan pribadiku tanpa harus meminta-minta lagi pada orang tua (*kecuali untuk yang benar-benar butuh pengeluaran besar). Meskipun, aku juga pernah sakit parah gara-gara jadi seorang workaholic demi mewujudkan ambisi pribadi beli barang-barang impian. Hehe.

Alhamdulillah, adikku yang pertama sudah menunjukkan langkah mengikutiku. Sekarang dia sudah mulai menjalankan bisnisnya sendiri meskipun masih jadi agen pulsa dan jualan HP, ia mulai mandiri dan bisa membantu meringankan beban orang tua kami. Dia tahu bahwa dia harus mulai mencari dan mengikuti passionnya. Aku berusaha mendukungnya agar ia tetap setia dan teguh di jalannya, meskipun kadang harus berselisih pendapat dengan ayah bahwa adikku ini bisa disamakan denganku yang senang mengajar. Padahal, passionnya adalah bisnis, komputer, dan jadi aktivis lingkungan. Aku yakin, dia akan jadi seseorang yang hebat kelak. Aku yakin itu, dia hanya perlu terus belajar dan membuka wawasannya lebih luas lagi.

Adikku yang kedua, the little princess yang baru naik kelas 2 SD, kini masih mengasah bakat bicara dan kepeduliannya yang begitu kuat pada orang lain. Kadang-kadang, perasaan dan dirinya sangat rapuh. Dan aku mengerti alasannya. Kalau sudah begitu, aku pasti memeluknya erat, lalu mengusap-usap kepalanya, dan menghiburnya. Nah kan, kini aku seperti menjadi orang tua, bukan kakaknya. Haha.

Adikku yang pertama sering bilang padaku, “Biar aku kaya sampean, Mbak. Bisa beli apa-apa sendiri dan nggak minta lagi sama Mama. Biar aku juga bisa meng-Haji-kan Mama sama Ayah.” MashaAllah, ya, tentu saja kuaminkan. Karena sudah jadi tugasku mengajak kita semua jadi manusia yang bermanfaat dan sukses dunia akhirat sepeninggal Ayah dan Mama.

Jadi, buat anak-anak pertama, kita senasib. Jangan pernah lelah untuk menjadikan keluargamu, khususnya adik-adikmu, sebagai keluarga penghuni surga. Karena Allah akan ganti setiap kelelahan itu dengan limpahan keberkahan dan kasih sayangNya.

Kamu yang jadi anak pertama, gimana? ^_^

Up ↑