Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Month

February 2016

Tips Wawancara Beasiswa Luar Negeri

Reblog dari page-nya Pak Made yang super keren!

Dari sekian tips wawancara yang pernah kubaca, tips beliau memang yang paling bisa dipraktikkan secara langsung dan efektif. Terutama soal “latihan ngobrol”. Bagi generasi X yang sudah sangat terpapar sindrom gadget, ngobrol (ringan, bersahabat, namun berkualitas) bisa jadi hal yang sangat sulit. Karena jatuhnya kalau nggak gosipin temen sendiri/orang-orang terdekat, lainnya adalah terlalu kaku atau sekedar basa-basi tanpa ketulusan hati.

Okay, check it out, guys!

Saya sudah cukup sering menulis tips wawancara beasiswa di blog ini. Tidak hanya tips, ada juga prediksi pertanyaan wawancara yang mungkin membantu para pejuang beasiswa luar negeri, terutama yang akan sekolah ke Australia dengan beasiswa Australia Awards atau dikenal juga dengan AAS. Meski demikian, tips itu sebenarnya bersifat universal, berguna juga bagi pejuang beasiswa yang ingin sekolah ke negara lain. Ada beberapa hal yang ingin saya tambahkan dan tekankan, melengkapi tulisan-tulisan terdahulu.

Antara percaya diri dan sombong
Percaya diri itu penting. Penting sekali. Meski beigtu, percaya diri bisa muncul sebagai kesan kesombongan jika kita tidak berhati-hati. Saya pernah mewawancarai seorang perempuan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Alih-alih nampak percaya diri, perempuan ini tambil sebagai orang yang terkesan sombong. Dia dengan sengaja tampil ‘tidak hormat’ kepada saya dan tidak ingin terlihat ada di bawah kendali saya. Karena penasaran, saya telusuri gerak-gerik itu dan berhasil menyingkap bahwa sebenarnya dia gelisah. Dia tidak ingin tertindas oleh saya maka dari itu dia ‘pasang kuda-kuda’ lebih dahulu. Sebelum direndahkan, dia memilih untuk merendahkan. Sebelum dianggap tidak bisa, dia memilih untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dibandingkan pewawancara.

Perlu diingat bahwa Anda tidak sedang bersaing dengan pewawancara. Mereka adalah orang yang menentukan apakah Anda akan lolos atau tidak. Selain itu, coba renungkan sejenak dan bayangkan diri Anda sebagai pewawancara. Orang seperti apa yang akan Anda pilih? Jika pertanyaannya disederhanakan, apakah Anda akan memilih orang yang ‘memaksa diri’ terihat pintar dan bahkan cenderung ingin kelihatan lebih pintar dari Anda sebagai pewawancara? Memang penting untuk terlihat menguasai dan mumpuni di bidang tertentu tetapi pahamilah, tidak ada satu orangpun yang rela dan senang dipermalukan atau dianggap atau diperlakukan lebih rendah. Pewawancara juga demikian.

Jika ingin terlihat percaya diri, pelajari isu dengan baik dan lakuakn persiapan maksimal dengan keras. Ketika tampil di depan pewawancara, Anda bisa banyak senyum dan tenang. Itulah ciri orang percaya diri yang sebenarnya. Jika Anda masih offensif, suka menyerang, sedikit-sedikit membela diri alias defensif, mungkin Anda belum percaya diri yang sebenarnya. Kondisi seperti ini membuat Anda terlihat sombong. Kini renungkanlah. Jika Anda memang benar-benar menguasai segala sesuatunya, tidak ada satu alasanpun untuk ‘menyerang’ atau ‘sombong’. Senyum dan penghormatan adalah dua hal yang menonjol dari orang yang percaya diri.

Canggung dan Kikuk
Masih jelas dalam ingatan saya, waktu kecil saya termasuk orang yang sangat canggung. Kondisi keluarga secara ekonomi dan pendidikan turut menentukan semua itu. Berbicara kepada orang asing atau di depan umum jelas bukan hal yang akrab di keluarga kami yang petani dan penambang padas. Saya tumbuh menjadi anak yang canggung dan tidak percaya diri dalam berbicara.

Anda mungkin sulit membayangkan bahwa saya bahkan tidak berani berteriak “stop” di dalam angkot karena takut suara saya akan mengganggu orang lain dan tidak mau menjadi pusat perhatian. Saya tidak nyaman jika ada sekelompok orang yang memperhatikan dan memandang saya karena saya membuat suara yang menarik perhatian di dalam satu kumpulan. Pernahkah Anda mengalami hal serupa dalam situasi yang mirip? Jika ya, Anda tidak sendiri.

Canggung dan kikuk itu penyakit bayak orang. Jangankan untuk menghadapi wawancara dengan seorang professor bule dari luar negeri, untuk menyapa tetangga di samping rumah saja mungkin ada yang tidak mampu. Waktu kecil, saya diajari sopan santun oleh bapak dan ibu. Bapak, terutama, sangat keras untuk urusan satu ini. Saya harus menyapa semua tamu yang datang ke rumah kami di desa. Terus terang, sulit sekali rasanya sebagai anak kecil usia 7 atau 8 tahun untuk menyapa rombongan dari kota lain yang bertandang ke rumah. “Ayo menyapa!” begitu kata Bapak saya setiap kali ada tamu Tidak mudah bagi anak kecil untuk menyapa, terutama karena dalam Bahasa Bali tidak ada padanan kata “hai” atau “halo”. Sapaan dalam Bahasa Bali adalah pertanyaan. Coba bayangkan, pertanyaan apa yang bisa dan harus dikemukakan oleh seorang anak usia 8 tahun kepada seorang lelaki atau perempuan usia 45 tahun yang baru pertama kali dijumpainya. Sulit minta ampun. Saya canggung dan kikuk.

Paksaan semacam itu ternyata membantu. Komunikasi, pada awalnya, adalah soal paksaan ternyata. Kalau saja Bapak saya tidak memaksa saya untuk berkomunikasi dengan orang-orang tua ketika saya kecil, mungkin ceritanya akan berbeda. Saya percaya, canggung dan kikuk bisa dihilangkan dengan memaksa diri. Kita harus rela menyiksa diri berada pada posisi yang sangat tidak enak pada awalnya karena hanya dengan itulah kita akan terbiasa.

Berlatih Ngobrol
Wawancara adalah ngobrol. Ya, memang sesederhana itu. Kalau Anda tidak terbiasa ngobrol dengan orang lain, wawancara bisa jadi proses yang rumit dan menyeramkan. Ngobrol secara verbal bisa jadi merupakan hal yang semakin jarang dilakukan dewasa ini. Kehadiran ICT mengubah cara kita berkomunikasi. Sangat mungkin menemukan seorang anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer atau tablet, diam tidak berbicara tetapi dia merasa melakukan banyak hal. Kebiasaan seperti ini membentuk kepribadian yang miskin kosakata verbal. Ini belum tentu hal buruk dan tidak berarti orang yang demikian itu tidak pintar. Masalahnya, ketika harus menghadapi wawancara verbal yang konvensional, orang-orang semacam ini akan mengalami kendala.

Coba ingat-ingat, kapan terakhir Anda menyapa orang asing dalam suatu antrian atau di halte bus dan kemudian bercerita asyik dengan orang itu? Kapan terakhir Anda menyapa orang di sebelah Anda ketika naik kereta atau pesawat? Kapan Anda menemukan teman baru dalam perjalanan karena diawali sapaan basa-basi? Mungkin banyak yang tidak bisa mengingatnya sama sekali. Pertanyaan sederhana ini mengingatkan kita apakah kita termasuk orang yang suka atau tidak suka ngobrol. Memang banyak yang punya prinsip bahwa ngobrol itu bukan pekerjaan penting dan tidak ada gunanya. Percayalah, Anda akan berpikir lain jika melihat potensi manfaatnya untuk wawancara. Kalau Anda sedang membaca tulisan ini di halte bus atau tempat umum lainnya, coba hentikan sejenak dan lihat sekeliling Anda. Mungkin ada orang yang bisa disapa atau setidaknya diajak tersenyum sesaat. Itu adalah latihan wawancara.

Wancara Bukan Interogasi
Wawancara memang bukan interogasi. Anda bukan orang yang bersalah dan diminta pertanggungjawabanya. Anda adalah orang yang punya gagasan bagus dan kini ada orang yang tertarik dengan gagasan itu sehingga ingin bertanya lebih jauh. Itulah wawancara. Wawancara juga bukan ujian oral sehingga Anda tidak perlu terlalu khawatir tidak bisa menjawab pertanyaan dengan presisi dan akurat.

Coba bayangkan Anda punya sebuah bisnis atau sebuah benda baru yang orang lain tidak tahu. Anda yang paling menguasai informasi tentang bisnis atau benda itu. Jika ada orang lain yang ingin tahu, mereka akan bertanya pada Anda. Pertanyaan ini benar-benar untuk bertanya atau untuk mengkonfirmasi informasi yang Anda ketahui tentang benda itu. Maka dari itu, wawancara tidak bisa berdiri sendiri sebagai satu proses terpisah. Materi wawancara itu terkait erat dengan berkas lamaran beasiswa yang Anda serahkan sebelumnya. Jika berkas lamaran itu adalah hasil perjuangan sendiri, hasil belajar yang baik dan Anda benar-benar menguasainya, maka wawancara akan menjadi hal yang menyenangkan karena ringan tanpa beban yang berarti.

Wawancara akan terasa seperti interogasi atau pengadilan jika berkas lamaran beasiswa yang Anda serahkan sebelumnya bukan merupakan hasil perjuangan sendiri. Jika informasi yang Anda sampaikan di berkas beasiswa sebelumnya adalah hasil mengutip sana sini tanpa penjiwaan atau hasil bantuan teman-teman tanpa sempat Anda kuasai maka wawancara akan menjadi proses yang penuh keringat karena tegang dan khawatir. Dalam siatuasi ini, wawancara memang akan terasa seperti sebuah interogasi.

Pengetahuan Umum
Topik atau jurusan Anda bisa jadi sangat spesifik semacam teknik geodesi seperti bidang ilmu saya. Bisa juga topik spesifik lain seperti aktuaria atau lainnya. Meski topik studinya spesifik, Anda sebaiknya memahami isu-isu umum yang dihadapi masyarakat. Berbicara soal geodesi yang terkait pemetaan akan lebih mudah nyambung jika dikaitkan dengan bencana alam yang dihadapi masyrakat. Bicara soal koordinat dan datum geodesi akan lebih mudah jika dikaitkan dengan sengketa perbatasan antarnegera yang kerap terjadi. Berbicara soal system informasi geografis akan lebih mudah dinikmati oleh orang awam jika dikaitkan dengan politik. Ceritakanlah pada pewawancara bahwa peta bisa digunakan untuk membantu strategi pemenangan pemilu oleh suatu partai.

Pengetahuan umum bisa diperoleh dari Koran, televisi atau media sosial lainnya. Saya sendiri juga bukan penekun berita tetapi saya menyempatkan diri untuk mengetahui isu-isu popular terkini, setidaknya yang terkait dengan bidang ilmu saya atau pekerjaan. Isu sengketa perbatasan atau pendidikan internasional adalah dua hal yang membantu saya membumikan ilmu dan pekerjaan saya saat ini. Memahami ini juga membuat kita lebih mudah ngobrol dengan orang lain dari berbegai disiplin ilmu. Demikianlah manfaatnya pengetahuan umum dalam wawancara.

Sopan-santun Universal
Sopan santun ini memang agak rumit. Apa yang sopan di satu peradaban mungkin belum tentu demikian di peradaban lainnya. Meski demikian, ada hal-hal universal yang bisa dipahami dan dilakukan sebagai wujud sopan santun universal. Sopan santun ini terkait erat dengan kepercayaan diri. Jika tidak percaya diri maka sopan santun akan muncul sebagai bentuk kecanggungan atau malah ketakutan. Alih-alih menjadi terlihat sopan, kita bisa terlihat tidak percaya diri, takut, atau menghamba-hamba pada pewawancara. Mudah untuk merasa kecil, merasa rendah dan merasa tidak berarti jika kita menghadapi ‘orang besar’ atau ‘orang pintar’. Hal ini bisa jadi lebih rumit jika kita berasal dari satu peradaban yang memang memberi ‘doktrin’ harus hormat kepada orang yang lebih tua, orang yang punya kedudukan tinggi atau para pejabat. Sopan santun, dalam situasi seperti ini, bisa muncul dalam ekspresi takut, kikuk atau canggung.

Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sopan-santun yang wajar misalnya senyum wajar sambil menatap mata, salaman mantap/hangat/erat sambil tersenyum lalu mengucapkan kata yang tegas seperti “selamat pagi” atau “salam kenal Pak” atau “nice to meet you” atau sejenisnya. Jika Anda tidak mau bersalaman dengan lawan jenis, berikan sinyal yang jelas di awal misalnya cakupkan tangan dari jauh sambil mengucapkan salam. Usahakan agar pewawancara tidak ada di posisi serba salah, misalnya mereka sudah mengulurkan tangan tetapi Anda tolak. Sakitnya tuh di sini 🙂 Agar hal ini bisa dihindari, cakupkan tangan dari jauh lalu sampaikan salam hormat sambil sedikit menunduk. Jika Anda perempuan dan menggunakan jilbab maka sinyal ini akan bisa diterima dengan baik dan jelas.

Pilih frase singkat namun tegas saat bertemu pertama kali. Saat masuk ruangan interview, pastikan mengangguk dengan senyum yang wajar dan lepas. Jika tadinya pintu tertutup maka senyum itu harus diberikan ketika membuka pintu dan beradu pandang untuk pertama kalinya. Jangan menunda senyum. Untuk mengkonfirmasi, bisa juga bertanya dengan tegas dan lantang, “should I close the door?” atau “apakah pintu harus saya tutup?” sebelum kemudian dengan sigap menutup pintu. Gerakan yang cepat, sigap dan cekatan bisa memberi kesan yang baik. Di sini, rasa percaya diri memegang peranan penting. Jika tidak percaya diri, Anda akan canggung dan terbata-bata serta tergagap-gagap ketika menutup pintu atau menuju kursi saat mau duduk. Hindari ini. Jika tidak yakin, berdiri dengan tenang sebelum dipersilakan duduk atau silakan tanya dengan sopan “apakah saya boleh duduk?”

Ucapan-ucapan singkat juga menentukan. Saat pewawancara mengatakan “thank you for being here” atau “thank you for coming” maka Anda harus menjawab. Jika tidak percaya diri, kadang yang muncul hanya senyum meringis nggak jelas. Mulai sekarang, tinggalkan kebiasaan itu. Katakan dengan tegas dan santun “my pleasure” atau “thank you for having me”.

Penuh Perhatian
Dalam wawancara atau obrolan dengan orang lain, penting untuk tampil penuh perhatian. Salah satu wujudnya adalah dengan menatap mata orang yang sedang bicara. Bisa menambahkan senyum wajar di saat tertentu atau anggukan kepala pertanda mengerti atau mengamini satu pernyataan. Gerakan alis dan mata juga sangat membantu. Hindari menjadi orang yang datar dan tanpa ekspresi. Orang yang berbicara pada Anda perlu tahu apakah Anda mengerti atau tidak. Dia juga perlu tahu apakah ucapannya berkenan atau tidak. Menjadi orang yang berwajah datar membuat pewawancara ‘bingung’ sehingga tidak bisa ‘intim’ dengan Anda dan itu bisa merusak suasana wawancara.

Perhatian juga bisa disampaikan dengan membuat catatan jika memang dimungkinkan. Namun perlu diingat, tekun mencatat tanpa memperhatikan wajah pewawancara juga tidak baik. Kombinasikan dengan tepat antara mentap matanya dan membuat catatan kecil. Ini akan menguatkan kesan bahwa Anda memberi perhatian. Selain itu, perhatian bisa ditunjukkan dengan membenarkan pendapat pewawancara, misalnya dengan mengatakan “you said it precisely that bla bla” atau, “I share your view that …” atau “thank you, I like the point that bla bla”.

PS. Mungkin ada yang bertanya-tanya, apa dasarnya saya menulis tips di atas. Dasarnya bukan teori atau ilmu psikologi tingkat tinggi. Dasarnya hanya commonse sense dan pengalaman jadi pewawancara maupun yang diwawancarai. Simak dengan menggunakan common sense dan jangan percaya begitu saja.

Pearson Test of English Academic

Pagi ini, seorang bule bernama Ian R. dengan medoknya bilang “Opo iku?” kepada para peserta PTE Academic Presentation di Kelt Graha Family Surabaya. Logatnya yang separuh British separuh Suroboyoan sontak membuat beberapa mahasiswa yang beruntung dari berbagai kampus di Surabaya itu nggegek habis-habisan. Wajar, Ian yang masih setia jadi warga England tinggal di Indonesia sejak tahun 2002; 14 tahun.

Pertanyaannya adalah, kenapa Ian bisa sampai mengucapkan opo iku? Ceritanya, Ian itu “marah” plus kayanya “muak” melihat orang Indonesia berbondong-bondong ngambil tes IELTS sama TOEFL tapi nggak tau kalau ada tes alternatif yang lebih simpel, akurat, tajam dan terpercaya, plus aman: PTE Academic. Jujur saja, aku baru tahu kalau masalah sekuritas IELTS yang muahal itu pernah rusak reputasinya dan untuk yang mendapat versi amannya, peserta tes wajib membayar lebih supaya valid dan bisa digunakan sebagai persyaratan masuk ke kampus-kampus di luar negeri. Harga normalnya USD180; masih plus-plus kalau mau ambil yang level sekuritinya lebih tinggi.

 

Klik untuk terhubung dengan Web PTE Academic

 

Nah, Pearson; sebuah publishing company yang sangat terkenal di dunia (mis. Penguin Books, Longman, dll) juga mengeluarkan salah satu tes Bahasa Inggris yang menguji bagaimana kita berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Lalu, apa bedanya dengan tes IELTS dan TOEFL?

  1. PTE Academic menggunakan komputer; bahkan untuk sesi speaking nya juga dinilai melalui komputer. Mungkin kita akan bertanya; bagaimana komputer bisa menilai cara berbicara, akurasi, aksen, dan apapun terkait kemampuan berbicara kita? Menurut Ian, jadi dengan sistem secanggih sekarang, cara kita berbicara akan dibandingkan dengan koding native speaker dari ribuan aksen Bahasa Inggris di seluruh dunia yang telah dibuat oleh tim teknisi Pearson berdasarkan level-level tertentu. Pemilihan sistem computer based test ini untuk menjaga keobjektifan penilaian yang sedikit sulit ditentukan ketika sesi speaking di tes IELTS (pengujinya manusia biasa, yang kadang punya khilaf dan salah, dan moody).
  2. Tesnya terintegrasi dan model tesnya tidak berubah. Ini berlawanan sekali dengan TOEFL ITP/PBT atau iBT yang masih terpisah antara masing-masing komponen pengujiannya. Jadi, untuk tahu model tesnya, buka simulasi gratisnya di Youtube dengan kata kunci: PTE Academic. Whoa, it’s totally free from the official testing center. Ah iya, komponen yang diuji adalah: Speaking+Writing, Reading, dan Listening. Sekilas mungkin sama; tapi menurutku, dua tes ini Read Aloud dan Dictation menarik. Kok, disuruh baca keras-keras, emang kita bodoh banget sampai harus tes baca? Oh hey… jangan remehkan kemampuan membaca. Kita dikatakan mahir membaca kalau kita mampu menangkap pesan dalam bacaan; artinya kita sudah tidak membaca seperti anak kecil yang sekedar baca. See? Atau menulis ulang kalimat yang kita dengar dari seorang native speaker dengan kecepatan normal sesuai dengan apa yang ia ucapkan tanpa kehilangan atau kelebihan satu kata pun! Now, we have to listen, not just hearing.
  3. Hasil tes PTE Academic bisa diketahui paling lambat 5 hari kerja. Tapi kata Ian, rata-rata hasil tesnya bisa dilihat sebelum 48 jam. Dan komponen penilaiannya juga menggunakan range 0-90. Bisa dikonversikan ke nilai CEFR. Cocok buat orang Indonesia yang sukanya, “Saya pergi ke Australia bulan depan. Butuh tes yang cepet dan akurat.” Oiya, durasi tesnya 3 jam dan sekuritinya amat, sangat ketat. Bayangin, di ruang tesnya, tiap orang ada CCTVnya yang langsung didatangkan dari London. Fully certified. Okay. to be continued.

Buka linknya di sini ya untuk belajar simulasi tesnya!

A life lesson

Love is….
When you never give up to someone,
Or something,
Though they could make you down,
Make you sad,
Bring you sorrow,
And happiness in million ways
You never imagine.

Value Your Every Memory

Dunia ini sudah terlalu bising; entah itu bising dengan suara mesin yang rasanya semakin cepat dan menderu-deru atau bising dengan pencitraan manusia kebanyakan soal apa yang tidak bisa dibawa mati. Oh ya, aku lupa… dengan menulis ini; aku pun semakin menambah kebisingan dunia; tapi semoga kebisingan ini sedikit bermanfaat.

Malam ini aku sharing banyak hal dengan Mbak Dee, a night-night talk (literally meaning, borrowing the term from Fitz-Simmons in Agents of S.H.I.E.L.D series), seorang teman sekaligus kakak yang baru saja kukenal lewat program volunteering di Rumah Bahasa. Satu hal yang menarik selain soal beasiswa yang biasa kami bahas adalah value our every memory. Khusus night-night talk kali ini, kami hanya ingin ngobrol dan makan dengan nyaman, tidak terganggu oleh HP atau chat-chat dari media sosial yang terus saja tanpa henti berkicau.

Banyak studi dan penelitian yang sudah membahas soal dampak teknologi yang membuat kita semakin asing antara satu sama lainnya. Menurut ulasan profesor entah siapa itu namanya, manusia cenderung mengalami hiperkomunikasi beberapa tahun belakangan ini. Ya, jadi manusia lebih mudah berkomunikasi via elektronik ketimbang ngobrol secara langsung. Kita jadi lebih aktif dan atraktif di wall dan chat room daripada di forum diskusi; kita jadi lebih peduli via obrolan di grup daripada silaturahmi dengan kerabat dan sahabat kita; kita jadi lebih sulit dan bingung memikirkan apa yang mau dibicarakan dengan orang secara langsung daripada mengetik status di FB yang entah kenapa seperti semudah saat kita curhat; pernah mengalaminya?

The thing is, technology is our distraction. Aku setuju dengan pendapatnya McLuhan (*bukan nama salah satu artis boyband Korea) yang berkata bahwa teknologi mengubah cara otak kita bekerja; dan itu berarti teknologi pelan-pelan mengubah kehidupan kita. Di satu sisi, teknologi memang membantu kita mempermudah segalanya; tapi di sisi lain, teknologi juga mengurangi daya pikir otak kita. Inilah yang berujung pada kurangnya kemampuan kita untuk menghargai momen-momen bersama orang lain. Akibatnya, ketika kita makan dengan keluarga, sahabat, atau orang lain dan saat itu kita sedang mainan gadget; rasanya segala hal yang ingin kita lakukan bukan memperhatikan orang-orang yang ada di dekat kita; tapi memperhatikan dunia luar yang sepertinya sangat menarik; dan sebenarnya tidak terlalu esensial untuk kita. Selanjutnya jelas, komunikasi akan sedikit berantakan; kecuali kalau misalnya kita tipe orang-orang yang mudah mencari bahan pembicaraan dan membuat suasana kembali ceria.

Ya, dibandingkan dengan orang yang ada di dekat kita; yang mungkin kita sudah tau siapa dia; dunia luas di balik layar gadget jauh lebih menantang dan menarik untuk dijelajahi lebih jauh. That’s human. Normal. Everyone is a wanderer. Normal. Tapi, sekali lagi, kalau kita mampu menghargai momen kita dengan manusia lain; banyak hal yang bisa diceritakan, banyak hal yang bisa dibahas dan dibagi, banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran.

Sesuai kata Om Pram; manusia tidak akan habis untuk diceritakan.
Mulailah dengan mengabaikan gadget kapanpun kita berkomunikasi dengan orang lain. Hati dan mata seseorang yang ada di dekat kita itu, menyimpan rahasia dan dunia yang jauh lebih indah daripada dunia ciptaan teknologi. Karena keduanya ciptaan Tuhan Yang Maha; sementara teknologi, tak sesentipun mampu menandingi kekuasaanNya yang begitu sempurna. Sesederhana itu.

Problems and Maturity

Who has no problem? Nobody.

Yap, everyone has at least a problem. But when you think the problem lets you down, sometimes it might turn out into burden, then you are asked to struggle more to find solution and pray harder.

Many grown ups say that if you could stand up and face toward your problems, then you are not just old, but mature. Some people still think that age reflects maturity; this is not right. They might conclude from how many experiences they had. Maturity is of course significantly different from the aging. It can’t be determined by your age; but your responses and attitude towards those bunch of experiences and lessons. If you have willingness to learn from everything you got, you’ll get stronger and wiser, thus you could be mature. If not, you know what happens.

Nowadays, I see many people tirelessly change their look to be mature by physical appearance; especially women. Are you sure that they look mature? Or just look old? Why they have to do so? And not surprisingly, they do that for the sake of relationships, steady future jobs, and money. Seems like we can’t do anything without money and stuffs in this capitalism, globalized, and media-brainwashed world. They steal our real identity; and sometimes maturity (based on academic critical research towards social changes).

Well, in the end, problems make you alive, as long as you could stand up and face it. Move out from your comfort zone, but do it in appropriate ways and do the math!

Hoshi ga Kirei Desu

I don’t know why I can’t stop be impressed with this Kanji. Realizin that it consists of two main characters in kanji that means “The Light of Life” makes me hard-breathing.

image

Let’s break down the kanji. So, the first one is a square with a stroke between it. It symbolizes “sun” or “twinkling stars” or everything shines in the world. It is related with “light”. The second one is the symbol of “life” as I recall my Japanese teacher explained the same character in “Sensei/the person who lives earlier”.

Now I am impressed with this philosophy: star in Japanese means the light of life, simply.

And what the symbol does to my life?
Many things, despite always the God arranges them for me. Literally, I love seeing the stars hanging above the vast sky at night. I know it is a bit melancholic. Yet metaphorically, I hope I meet one star shines through my life and bring me up there to the sky. Who knows, right now I am on my way to the sky? I am just not realizing that I met the star and I set on the position. There is always God’s plan beyond everything.

Going to Japan is Postponed

I have been dreaming to go to Japan since I was in 10th grade. At first, I’d be there because of Tokyo’s beauty and a novel titled “Winter in Tokyo” by Ilana Tan. Well, it was kinda romantic and metropop story written for teens; and I was overwhelmed. But then, I took Japanese class as compulsory additional language in high school and universities; thus I realized how mesmerizing this country was!

I have been also trying to get there many times, through various and numerous ways but still I couldn’t be able to do that. Hm, seems I have to wait with more patience.

But luckily today I visited Surabaya Nihon Matsuri 2016 with mbak Dee, the biggest Japanese festival held by Japanese scholars, Japanese studies’ members, and the Embassy of Japan in Surabaya! Yay! Sadly, I didn’t take photo with kimono because I had to pay 20.000 (rr… I’d like to save money this month) and I didn’t try chanoyu (how to drink green tea in Japanese traditional culture) because I had experienced it.

So, these are what I got.

image

So, matsuri (or festival) is usually held when the spring comes. Ya, it is spring in some areass of Japan right now. There, you’d see cheery blossoms (sakura) and people are flocked to do hanami (cherry blossom sightseeing while having vacation with their family) in parks. It is lovely and worthy to have such agenda with beloved ones. (*I hope I could do that in the future with my own family).

image

I also learned how to write Katakana, Hiragana, and kanji with a brush. All this time, I always use pen or pencil to do my homework and assignments in writing Japanese characters. This was the first time ever I used brush and tint; well… it was a bit difficult because how to shape it was a little complicated. Basically I need to learn a lot and get used to do it. Lol. By the way, the writing is read “Anisa no hoshi” or “Anisa’s Star”. And Mbak Dee wrote her name and “Kawaii” in katakana and hiragana. If I conclude, she wanted to write “Dee wa kawaii desu” or “Dee is cute and pretty”. OMG, how different with the real Mbak Dee! LOL!

The last thing in every matsuri were cosplayers and bazaar. Hm, I think this is the most influential rundown for young people watching matsuri: food and fantasy. I don’t know how is the real matsuri in Japan; yet in Indonesia, Japanese culture reflected through its modern-and-traditional-mixed-culture (which is formed through adaptive transformation during modernization era) are introduced by anime, traditional food, and performances. For example, cosplayers depicted anime character from manga and I met many of them in today’s matsuri. Another thing is about food. Japanese food is uniquely combined from raw materials (let’s mention sushi). I found stalls selling Japanese food from sushi, onigiri, wasabi, etc. Yet, I didn’t buy any food; because I bought dragon fruit to be juiced at home.

Overall, it was a great evening chilling out and sharing and shopping healthy food with Mbak Dee. Ya, although my journey to Japan is postponed, I hope I could arrive in one of Japan’s beautiful park to do hanami with my beloved ones.

Unbearable Questions for Scholarship Hunters

image

Jadi, apa jawabanmu?
Bukan;

Yang penting adalah BAGAIMANA caramu menjawabnya.
Dari pengalamanku diwawancarai dan bertanya pada scholarship hunters, sebenarnya tidak ada trik khusus untuk menjawab dengan jawaban paling ‘bersayap’, ‘bagus’, atau ‘menarik’. Kenapa? Tentu saja setiap manusia hadir dengan cerita yang berbeda, pengalaman yang bervariasi, dan sikap hidup yang tak sama.

Sekali lagi, bagaimana caramu menjawabnya akan membuktikan bagaimana caramu berpikir. Dan faktor itulah yang akan sangat dipertimbangkan oleh pemberi beasiswa. Yang mereka cari, adalah orang-orang outstanding; yang berbeda dan unik. Yang mampu mencari sudut pandang lain dan tau untuk apa dan bagaimana sudut pandanh itu digunakan. Yang mampu menghasilkan sesuatu dari sudut pandang itu.

Pertanyaan-pertanyaan itu sama; tapi mereka yang outstanding akan tau bahwa kejujuran adalah segalanya. Kejujuran itu akan terpancar sendirinya dari hati yang melakukan kerja nyata, aksi nyata, dan hanya perlu sedikit skill untuk menyajikannya dengan manner dan fluency yang baik.

Di dalam antologi esai yang memuat 50 esai pendaftaran kampus Ivy League (Harvard, Princeton, Columbia Universty, etc); kejujuran dan pengalaman personal itu dikemas dalam jawaban yang well structured, well mannered, dan well planned. Karena hal itu membuktikan bahwa orang-orang itu berhasil mengambil dan mengaplikasikan pelajaran dari hal-hal sederhana di sekitarnya. Ya, tiap orang jelas mendapat pelajaran; tapi tidak setiap orang cukup cerdas dan berbesar hati mengambilnya.

Think about it!

Up ↑