Search

Acatraveler's Diary

which of the favours of your Lord will you deny

Category

Educated

Aku dan ibuku baru saja berbeda pendapat semalam; baiklah ini memang bukan yang pertama kalinya. Sebagai seorang gadis penyuka jalan-jalan dan baru lulus sarjana Strata 1, ide menikah setelah wisuda belum terlalu menarik bagiku. Rasanya aku masih ingin menaklukkan puncak-puncak diri yang belum kucapai, menghabiskan masa-masa mudaku, atau bahkan sekedar menjejakkan kaki di benua lain sendirian saja. Tidak, bukannya aku tak ingin menikah.

Tentu saja aku ingin menikah; tapi setidaknya, belum ada keinginan di umur ini atau satu dan dua tahun lagi. Menikah itu sebuah konsep untuk menyempurnakan separuh agama; yang susah-susah mudah dijalankan. Tapi sekali lagi, aku berkaca ke dalam diriku sendiri. Kira-kira, mampukah aku menghabiskan sisa waktu hidupku bersama dia yang ditakdirkan untukku? Kira-kira, siapkah aku untuk selalu mengalah agar rumah tangga kami tak pecah? Kira-kira, siapkah aku untuk selalu bersabar menghadapi keluhannya, kantuknya, lelahnya di malam hari sementara aku juga butuh untuk didengarkan? Kira-kira, siapkah aku selalu bangun pagi, menyiapkan diri, seisi rumah, juga pakainnya? Kira-kira, siapkah aku selalu mendengarkan curhatannya tentang keluarganya yang jauh di sana jika ada masalah?

Jujur. Aku belum siap.

Menikah bukan hanya persoalan tempat tidur, dapur, dan sumur. Banyak tanggung jawab lain yang menuntut kesigapan dengan fleksibilitas dan kesabaran tinggi. Tidak tanggung-tanggung, bahkan saking dahsyatnya pernikahan, arsy Allah berguncang kala janji suci kedua mempelai ditunaikan. Pantaslah, Allah menyebutnya penyempurna separuh agama; karena menikah bukan soal yang main-main. Menikah tidak hanya mempersatukan dua insan, tapi dua keluarga yang berbeda latar belakang budaya, pendidikan, dan lingkungan. Perkara menyatukan dua kepala di dalam satu rumah, sama dengan belajar sekaligus ujian setiap hari. Menurut beberapa pakar pernikahan Islami, di masa awal-awal menikah, selalu ada hal baru yang kadang-kadang membuat geleng-geleng kepala sampai sakit, atau menghela nafas panjang, atau menangis, bahkan hingga tertawa terpingkal-pingkal. Di lima tahun kedua, akan mulai menghadapi masalah yang agak serius; terutama tentang anak-anak dan riak-riak berumah tangga. Lima tahun ketiga, kebosanan pada pasangan mulai muncul, masalah yang awalnya sedikit rumit menjadi tambah rumit seiring anak-anak yang mulai menginjak masa remaja dengan kompleksitas emosi dan diri mereka.

Dan aku membutuhkan seseorang yang bisa membantuku melewati semua fase itu dengan sederhana.

Siapakah gerangan? Aku belum tahu di mana dia, siapa dia, sedang apa dia. Padahal, kau tahu, tidak sesederhana itu urusannya. Kuharap, ibuku mengerti, kenapa aku bersikap seperti ini.

Believe It or Not

It is just a strong feeling that could not be erased easily. After a long storm has swept tons of liters tear and countless questions and doubts, also sadness.

But I dont know why this feeling just stays ahead, waiting for something I could not understand yet 🙂

Because in the end of every day, I say “thanks God, you have sent him to me,” despite anything he has done, to ruin or to cheer my days.

 

Going to the Owner of Infinity

How many nights does it take to count the stars? Thats the time to fix my heart.

Realizing that you are not someone important for the one you love is hurt. It is accepting the fact that we dont want to know, yap against our human nature which tends to only see what we want to see. That’s reality, we re often on the edge of these situations.

So the story goes as I met him in an occasion and got along with him. We support each other, we listen to our randomness with sincerity and patience, we walk into the storm together, we work out our solutions towards our challenges, and we dont need a long time to be…

Bestfriend. For each other.
It is one fact we know. But we dont understand, yet.

And I accidentally develop that certain feeling. It is only because he is like a miracle in my life. Changes happen when I meet him. I cant deny that I have special feeling. He just touched my heart with his simple acts. He might feel that I was different to him, yet he just gave a signal not to do more than friend. In the other side, I disagree it unless he makes a confirmation. I think, it is not the end. I keep ignoring the signs, even though I have learnt about symbolism and signs through semiotics in my entire college life. How ironic.
By only being on his side, though I cannot be in his heart, I could live up my days. Live my life with many unimagined things I never experience before. Spend my time with brighter smile every day. I learn to live with this feeling.

Though he tore my heart day by day, well oh it was just me who let him tear me apart. I made a promise to myself that I have to be ready that someday, somehow we would be apart.
It is one fact he doesnt know. But I really understand.

Then, one day he told me that beautiful one. He told me the reason, which makes me dissappointed. He chooses her because she is simple and perfect, physically. Well, he does not admit it yet to her, but he plans to. He will.

So, based on the fact that we are bestfriend, I lied to him, to chase her.
This is one fact I dont want to know. But he understands. And I have prepared all this time, to be apart.

I never count that all of mine
If i tried it would be like
Infinity…

Then, I think again about beyond this infinity. Instead of stopping into the infinity, why would I not go to the Owner of it? Here, my heart and mind tell me something, about what is the real essence about loving people. They remind me about the most sacred love, a love because of God. A love that doesnt have reason, doesnt ask anything, doesnt sacrifice anything, but the devotion to the God. So the human love should not exceed her or his love to Allah. The reason is because human often asks something unreasonable, and only He owns any kind of unrealistic, unbelievable, unthinkable types of love. Moreover, he holds the heart of everyone, every creature in the planets. So He must understand the big puzzle of our lives. Then, I hope I could be patience to love because of Him.

In the past, a friend asked me, “How to love because of Allah?”
I cant satisfy her with my answer.
And now, I just got the right answer

Why it is marriage, not only wedding

Tomorrow, my oldest cousin from my father’s brother will say a vow to his soulmate and life-mate (jodoh), InsyaAllah. He uploaded a wedding invitation card in Instagram, informing the world that they would be re-united after waiting for a long time. So, I know it too, even my mother has told me since last month. Then, as my apologize to him, I give comment below his caption.

After a series of a prayer, “Have a blessful marriage,” I wrote.

Usually, I use the word “wedding” to congratulate families, friends, and colleagues. But this time, I change the word with more complex understanding, so it is a “marriage”.

A vow spoken from a groom to his bride is a life-time promises. It is not only seasonal love or the childhood love or something wizzy wuzzy. It means growing old, making a family, walking side by side, facing the hardship, and celebrating any kind of moments, (by any means also sleeping) together. You carefully choose and pick someone to be your life-time partner, so that it is a serious decision you have ever made.

Here, I realize that wedding is only a celebration, ceremony to legitimate the status of the two love birds. But marriage refers to the rest process of one’s transformation about his or her life. It really is a huge and heroic step.

So, ya… I lift my hands and pray for a blessed marriage; a sakinah, mawaddah, rahmah marriage when the vow has been clearly spoken to shake the arsy of Allah.

Somehow, We Need Encouragement and Reason

There must be something behind the great things achieved by people. A reason, a strong one that keeps them moving though in a very desperable step and uncertain future. A reason which keeps the dimmed light flaming, though it is surrounded by the dark.

Kepo Soal KKN Kebangsaan #3

Hari pemberangkatan tiba. Upacara pelepasan mahasiswa KKN Kebangsaan telah selesai dilaksanakan. Kami bersiap untuk diberangkatkan menjadi beberapa gelombang. Peserta dibagi menjadi 4 gelombang keberangkatan; grup Lingga, grup Karimun, grup Batam, dan grup Bintan. Di empat kepulauan itulah kami akan ditempatkan.

Kami adalah gelombang kedua. Tiket PP menuju dan dari tempat KKN sudah ditanggung oleh universitas penyelenggara. Tetapi kalau ingin wisata sendiri di tengah-tengah waktu KKN, tentu saja menggunakan biaya sendiri.

Sekali lagi aku masih merasa takjub karena aku harus menempuh jalur udara, darat, dan laut untuk mencapai tempat KKN. Dari pulau Bintan ke Kabupaten Karimun di kepulauan Karimun saja butuh waktu 3 jam perjalanan laut. Lalu, kami perlu meneruskan perjalanan ke Desa Lebuh selama satu jam dengan kapal ferry yang sudah disiapkan. Kami kira, kami akan turun di desa tersebut, tapi ternyata kami turun dari ferry di dermaga desa tetangga dan harus naik mobil pick up ber-14 berikut dengan seluruh barang bawaan kami selama sekitar 15 menit. Setelah agak lama tinggal di sana, kami baru tahu jika akses ke Desa lebuh hanya 3 kali sehari di jam-jam tertentu saja dan dengan kapal-kapal tertentu pula.

Nah setelah diterima oleh para pemangku desa, kami terharu karena sudah disiapkan tempat tinggal yang layak dan diberi perkakas rumah tangga layaknya pengantin baru. Kami tinggal di sebuah bekas puskesmas desa yang meskipun kata masyarakat setempat seram, tapi nyaman ditinggali. Well, kami berusaha sebisa mungkin menjaga tempat itu agar terjaga kebersihannya dan kerapihannya. Di desa lain, ada kelompok yang bahkan belum dapat tempat tinggal atau malah kena ribut dengan masyarakatnya. Kami bersyukur desa yang akan kami tempati menyambut kami dengan hangat, layaknya saudara jauh yang baru pulang setelah sekian lama.

Sekali lagi, karena desa ini ada di pulau terpencil yang hanya berjarak 45 menit dari Malaysia, soal transportasi, listrik, sinyal, dan teknologi masih sangat sulit. Listrik, bisa dibilang hany 9 jam per dua hari sekali. Itupun kalau obor di pembangkit listrik sedang mati, bisa tiga hari sekali. Sinyal, asalkan bisa internetan dengan jaringan Edge saja sudah beruntung. Sementara teknologi tercanggih adalah komputer di kantor desa, genset, dan beberapa televisi ber-parabola di rumah-rumah warga. Kulkas, mesin cuci, dan pompa air masih jadi barang mewah. Di desa lain, ada beberapa kelompok yang mendapat fasilitas lengkap layaknya hotel, karena memang mereka ditempatkan di daerah wisata. Tapi kami bersyukur karena bisa menikmati sensasi KKN yang sesungguhnya.

Inilah Indonesia yang masih membutuhkan perhatian dan sentuhan tangan-tangan mereka yang katanya akademisi canggih lulusan kampus ternama. Inilah lahan yang seharusnya digarap para pemuda Indonesia dan tak boleh sampai jatuh ke tangan bangsa asing hanya karena pemuda Indonesia kurang kepedulian terhadap nasib mereka. Biarlah pemerintah sibuk dengan kebijakan mereka, tapi harus ada orang yang juga memperhatikan kehidupan mereka yang ada di pelosok negeri.

Setelah berkenalan dengan warga dan mengamati daerah sekitar, kami mulai merapikan agenda program kerja dengan briefing setiap malam dan menyusun jadwal piket. Karena tema wajib proker kami adalah ekowisata bahari, kami mulai merancang jadwal jalan-jalan sekaligus proyek dokumentasi kelompok. Proker lain yang tak kalah penting adalah pengajaran di sekolah, perayaan 17 Agustus, dan sosialisasi nilai-nilai kebangsaan. Proker ini harus dimanajemen begitu rupa karena akan menjadi konten website sebagai salah satu bentuk laporan kami.

Jangan tanya soal tantangan hidup bersama 13 orang dengan 13 budaya berbeda. Kami seringkali terlibat konflik, tapi layaknya keluarga; akan kami selesaikan secara dewasa. Ada perubahan dalam hidup yang mulai terasa dari masing-masing pribadi kami. Rupanya hukuman push up 20 menit berdampak nyata menjaga kami tetap bersatu di tengah-tengah konflik yang mendera. Selain itu, kami juga saling berbagi resep, tradisi, dan cerita dari rumah masing-masing. Rasanya menyenangkan ketika kamu tahu kamu tidak menanggung beban hidup sendirian di negara ini. Ternyata ada mereka di luar sana yang juga ikut merasakan penderitaan itu tetapi tetap semangat menjalani hidup.

Menjelang akhir kegiatan, kelompok kami mendapatkan kunjungan dari dosen pembimbing kami dan dosen Univ. Negeri Lampung (dosennya Saroh). Selain itu, tentu saja kami menyempatkan liburan sejenak sebelum masa penarikan. Kami jalan-jalan dua kali; sekali bersama pak Kades dan pak Sekdes, sekali bersama kelompok kami sendiri. Fixed, I really miss those moments.

Setelah tepat 30 hari, kami ditarik kembali dari daerah penempatan. Ada beberapa siswa yang sengaja berpamitan sebelum mereka berangkat sekolah, ada beberapa yang meliburkan diri, dan tentunya para warga yang menjadi keluarga kami selagi kami jauh dari rumah masing-masing. Situasinya sangat emosional dan tentunya kami akan sangat rindu dengan kehidupan di sana. Sesampainya kami di Tanjung Pinang, kami mempersiapkan presentasi laporan kegiatan serta penutupan. Tidak banyak yang dilakukan selain menjalani waktu lambat-lambat, karena kemungkinan kami akan berjumpa sedikit saja dan dalam waktu yang lama. Ini pula yang jadi perbedaan besar dengan KKN reguler. Di mana mereka akan berjumpa kelompoknya dengan mudah; sementara kami harus punya waktu khusus untuk sekadar bersua.

Tapi bukankah dengan jarak kita akan saling menjaga kenangan? Dan bukankah dengan rindu kita akan menjaga hubungan?

KKN Kebangsaan, bagaimanapun bentuknya, adalah menemukan Indonesia. Seutuh-utuhnya. Pastikan namamu ada dalam daftar peserta KKN Kebangsaan tahun berikutnya!

Kepo Soal KKN Kebangsaan #2

Setelah terpilih melalui seleksi universitas, apa yang harus dilakukan? Apa yang perlu disiapkan? Bagaimana skema kegiatan KKNK? Di mana kita akan ditempatkan? Bagaimana kita akan mengenal kawan-kawan sekelompok? 

Kita wajib berkoordinasi dengan teman satu universitas dan pihak LP3M atau LP4M di universitas masing-masing. Mereka akan memberitahu prosedur standar meliputi pendanaan hingga pembuatan laporan KKN. Dalam hal ini, Unair memberikan fasilitas pendampingan dari staf untuk perwakilan mahasiswa, tiket pesawat pulang-pergi, dan sejumlah uang saku. Sementara ketika pelaksanaan KKN, universitas penyelenggara dan DIKTI (serta mungkin sponsor) akan membiayai seluruh dana pelatihan, dana program kerja, hingga akomodasi peserta. Kami juga mencari sponsor dan mempersiapkan uang pribadi untuk persiapan dalam kondisi darurat. Berdoa sajalah semoga semua aman terkendali.

Pihak LP4M juga akan mendaftarkan kita ke website resmi KKNK. Di sinilah nanti para mahasiswa universitas penyelenggara akan menghubungi teman-teman sekelompoknya melalui nomor yang tertera di website.

Ajaibnya, seluruh peserta KKNK 2016 sudah terhubung via grup Line beranggotakan 400 lebih mahasiswa. Kami pun saling berbagi informasi, berkenalan, dan beruluk dalam di grup tersebut. Berharap-harap cemas dan menebak-nebak keseruan yang akan terjadi saat saling bertatap muka.

Kelompokku di’satu’kan oleh Saroh, mahasiswa Universitas Negeri Lampung yang sudah lebih dulu di-invite lewat Line oleh mahasiswa UMRAH, universitas penyelenggara KKNK 2016. I was totally excited to meet them in person, knowing that they would live with me for 30 days! Mereka adalah orang-orang ini: Randa dari Univ. Riau; Saroh dari Univ. Negeri Lampung; Resti dari UIN Suska Riau; Ani dari Univ. Negeri Makassar; Rizky dari Univ. Sriwijaya, Palembang; Bang Tasim dari Univ. Syiah Kuala, Aceh; Ranci, Adel, Silpi dari UMRAH, Tanjung Pinang; Rio dari Univ. Negeri Bengkulu; Dea dari Univ. Negeri Jambi; Pebri dari Univ. Negeri Tanjungpura, Pontianak; dan Bang Ian dari Unhas, Makassar. Setelah lengkap dan saling terhubung dalam grup khusus, kami berbagi tugas dan melengkapi keperluan apa saja yang dibutuhkan selama KKNK.

Rata-rata teman-temanku yang mengikuti KKN reguler akan membawa perlengkapan seperti pindah kos-kosan. Rasanya tak mungkin juga membawa barang-barang sebanyak mereka; apalagi bagasi pesawat juga membatasi kuota barang bawaan. Diputuskanlah para mahasiswa dari UMRAH yang membawa sebagian besar perkakas yang agak berat dan sebagian akan meminjam dari warga. Semua ini karena medan yang akan kami lewati lebih berat dan menuntut kami untuk lebih fleksibel. Karena itu banyak dari kami yang membawa tas carrier daripada koper. 

Di tengah keseruan kelompok menyiapkan barang bawaan dan kenalan, datanglah informasi di mana kami akan ditempatkan. Kami paham bahwa daerah 3T memang agak sulit dijangkau dan membutuhkan waktu tempuh yang lama untuk mencapainya. Akhirnya, setelah kami tahu akan ditempatkan di Desa Lebuh, kami segera mencari tahu via internet tentang lokasi, budaya, masyarakat, hingga laporan berita desa itu. Kami belum pernah ke sana dan kami sendiri baru akan bertemu ketika di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Aku merasa aneh karena baru kali ini melakukan pengabdian tanpa survei terlebih dulu. Kami mengumpulkan segal informasi yang bisa dikumpulkan dan mulai menyiapkan diri, saling mengingatkan, saling menyemangati. 

Hingga tibalah kami di Hotel Sunrise City, Tanjung Pinang. Tak terlalu mewah, tapi cukup bagus meski kami harus tidur bertumpuk, berjajar, bersempit-sempitan mengingat seharusnya kami tidur di barak tentara. Awalnya, kami masih berkumpul dengan teman satu universitas, tapi kemudian para TNI membariskan kami untuk apel dan mengelompokkan kami berdasar peleton sesuai kelompok KKN.

Kami akan ditempa secara fisik dan mental selama 3 hari sebelum pemberangkatan KKN. Dijaga dan diawasi oleh TNI. Pagi hari sebelum materi, kami diharuskan mengikuti apel pagi, senam, dan sarapan. Setelahnya kami harus mengikuti pembekalan mental berupa materi-materi kebangsaan dan materi terkait tema KKN. Selama tiga hari itu pula kami akan mengenal, menyusun proker khusus di luar proker wajib, berinteraksi, dan menyesuaikan diri dengan kelompok KKN. Mereka yang akan menemani selama 30 hari.

Saat itu, peletonku termasuk peleton yang paling lelet karena cowoknya pemalas tapi pesolek. Kami sering kena hukum, hingga puncaknya kami harus push up selama 20 menit saat jam 2 pagi karena satu orang terlambat mengumpulkan tugas. Para cewek tak kurang-kurang cerewetnya mengingatkan dan memarahi para cowok yang nyantai setiap saat. Tapi karena kami tak ingin mengorbankan kekompakan kami, hukuman jam 2 pagi itu menjadi bukti solidaritas sekaligus pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Terbukti, kelompok kami mampu mengatasi konflik apapun dengan kepala dingin dan terkondisikan selama di lapangan. Kami saling berbagi sekaligus menjaga rahasia, saling menjaga satu sama lain. Saling mengisi dan saling berkorban. Hingga kami tetap menjadi saudara sepulang KKN.

Meski ada beberapa masalah yang terjadi, and shit always happens, kami tetap optimis bahwa kami mampu melewatinya. Menurutku itu penting mengingat kami hidup bersama dengan 13 kepribadian dan pikiran yang berbeda.

Kepo Soal KKN Kebangsaan #1

Seperti KKN biasanya, tapi yang luar biasa adalah kita akan bertemu dengan rekan-rekan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Ini, kesan pertama yang kudapatkan begitu tau bahwa aku akan mengikuti KKN Kebangsaan 2016.

Ah, tapi baiknya aku bercerita dulu, apa itu KKN Kebangsaan. Inisiator program KKNK adalah para dosen dari Universitas Hassanuddin, Makassar; Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; dan Universitas Andalas, Padang; lalu berkoordinasi di bawah naungan Dirjen DIKTI. Dimulai pada tahun 2014, para inisiator ini mengumpulkan mahasiswa dari berbagai pulau dan suku di Indonesia untuk mengabdi di wilayah-wilayah perbatasan negeri. Agar mahasiswa tak angkuh dengan arogansi kedaerahan, agar mahasiswa mengerti bahwa bangsa Indonesia bukan hanya sekelumit orang di daerahnya saja, agar mahasiswa belajar menghadapi kenyataan yang dirasakan di tengah-tengah masyarakatnya. Buat apa jadi mahasiswa kalau cuma berdiam diri di dalam menara gading yang disebut kampus? Kampus itu salah satu tempat belajar, tapi masyarakat adalah tempat mempraktikkan ilmu yang sudah didapatkan.

Sejak 2016, KKNK diputuskan untuk diadakan sekali setahun setiap bulan Juli-Agustus. Wilayah yang dijadikan target KKN adalah wilayah 3T (Terdepan, Tertinggal, dan Terisolir), di mana pembangunan masih sangat minim dan seringkali tak terjamah pemerintah pusat. Ada pola unik yang diterapkan panitera inti KKNK, jika tahun ini di wilayah barat Indonesia, tahun berikutnya di wilayah timur; begitu seterusnya. Kapan wilayah tengah (Jawa)? Hm, sepertinya Jawa sudah terlalu mainstream dan sudah terlalu banyak kampus yang memperhatikan daerah lokalnya.

Lalu, bagaimana kampus-kampus menyeleksi mahasiswanya? Ada beberapa yang menerapkan sistem pengumpulan berkas dan wawancara. Untuk Unair, biasanya tergantung fakultasnya; dan tetap saja ada persyaratan yang harus dipenuhi. Yakni, harus memiliki IPK di atas 3 dan pengalaman berorganisasi di internal atau eksternal kampus yang dibuktikan dengan sertifikat atau SK. Sedikit bocoran, setiap bulan Mei-Juni, tanyalah ke pihak dekanat. Adakah lowongan untuk KKN Kebangsaan tahun ini? Siapa tahu kamu yang beruntung untuk mendapatkan satu tempat mewakili Unair di KKNK.

Tentang kuota mahasiswa, biasanya memang disesuaikan dengan kemampuan universitas penyelenggara dan tema yang diusung KKNK tahun tersebut. Tahun 2016, Unair memberangkatkan 14 mahasiswa dari FISIP, FEB, FIB, FKM, FST, dan FH dengan tema Ekowisata Bahari. Tahun 2017, rencana temanya belum dibahas, tapi akan dilaksanakan di Universitas Negeri Gorontalo. Bersiaplah menyambutnya! 

How do We Listen?

Stephen R. Covey, dalam bukunya the 7th Habits of Effective People menyatakan bahwa

“We listen to reply, not to understand”

Kita mendengar untuk membalas, bukan untuk mengerti maksud orang lain.

Akhirnya aku paham dari kasus berikut. Suatu hari, beberapa teman dan juniorku sedang membahas salah satu kegiatan rutinan kampus yang cukup krusial. Aku sudah tak mau diundang karena merasa tak berhubungan dan punya sentimen yang cukup negatif atas acara itu. Aku tak mau menciptakan konflik kedua nanti. Tapi, kedua temanku memohon hingga aku segan menolaknya.

Di waktu yang ditentukan, kami berkumpul. Dari awal, aku berusaha tak terlalu ikut campur karena karakter juniorku, entah, memang sangat berinisiatif dan agak sulit menerima pendapat senior. Pun, begitu dengan kedua temanku. Toh, semester depan kami sudah wisuda, terlalu campur tangan akan dilihat sebagai bentuk meremehkan mereka, bukan? Tibalah membahas sesuatu yang sensitif: pelayanan pada senior saat kegiatan tersebut berlangsung.

Aku menyampaikan beberapa kekurangan juniorku dari kacamata senior angkatanku. Aku mendeskripsikan cara mereka menghubungi senior, melakukan briefing senior, hingga menyambut senior ketika hari H; dan itu banyak menimbulkan salah paham dan kekecewaan pada senior. Aku menjelaskan kenapa itu terjadi menurut sudut pandang senior.

Tapi, kemudian salah seorang juniorku membalas dengan melakukan pembelaan atas dasar efekfivitas tindakan mereka. Berdasarkan masalah yang mereka alami, tekanan yang mereka rasakan, dan sudut pandang mereka. Tak kusangka, aku juga langsung menyahut begitu saja dengan membandingkan apa yang dulu dikerjakan angkatanku dengan apa yang mereka kerjakan. Nada dan volume suaraku naik tanpa kusadari. Aku mulai bersikap emosional dan defensif. Aku mengungkapkan itu supaya para juniorku mendapatkan referensi yang lebih efektif ketimbang apa yang mereka lakukan; tapi alih-alih ditangkap sebagai acuan solusi, perbandingan itu malah memicu debat antara kami. Debat mengalir begitu saja antara aku dan beberapa junior, sementara dua temanku yang lain diam, mungkin mereka sudah paham pola pikir mereka dan sudah terlibat debat sebelumnya.

Hingga akhirnya, junior lain mengatakan ini dengan nada yang masih emosional, “Jangan membandingkan. Pilih saja yang paling efektif.” Aku tiba-tiba sadar bahwa kami tidak satu frekuensi dan kami hanya mendengar untuk membalas berdasarkan sudut pandang kami masing-masing, bukan berusaha mengerti dari sudut pandang orang lain. Jika begini terus, tentu tak akan ketemu solusinya. Begitu sadar, aku segera mengakui kesalahan yang kubuat dan menarik diri dari perdebatan itu. Lalu, moderator mengambil alih situasi dan mulai membahas solusi dengan lebih tenang dan adil.

Rupanya Covey benar, hanya sedikit manusia yang berani mendengar untuk mengerti. Listen to understand is much more difficult because we push our ego to let one’s ego intervene us. But, that’s what the real leaders and effective people do to make a solution.

Up ↑